Menatap Sisa Cahaya Bulan dengan Mata Membara
Membaca isyarat
Saat penat yang berlipat
Bimbang mengekang taut bersambut
Mengibas kabut saat tatap tak kasat
Purnama entah dilari ke jalan seberang
Entah memerah berulang berang
Di sini riang luruh berlabuh, hilang timang
Sedang di gelanggang sepi berorang
Merejang segala awang bimbang
Selaksa lara menerjang sebayang-bayang
Selayang pandang
Di antara detak nyawa dan tubuh separuh
Sukmaraga yang lelah rapuh
Meratapi kepiluan retakan tanah merah
Mengiringi air mata yang bersimbah
Puisi duka yang tak pernah berubah
Dari helai-helai sekalian langkah jengah
Selama nafas masih mendesah
Gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Yang Maharamah – Yang Mahamarah
Bulan mengawang garang
Untuk dikenangkan esok-esok siang
Lalu melari jejak sajak lewat semburat mega
Adalah epilog dari berbagai kisah
Nelangsa dalam gumam malam kelam, bagiku
“
Risalah rasa dunia ada karena-Nya
Tanpa ada rasa-Nya
Tiada apa merasai-Nya
.”
lpg-ykt, 2008