Menatap Sisa Cahaya Bulan

Menatap Sisa Cahaya Bulan dengan Mata Membara

Membaca isyarat

Saat penat yang berlipat

Bimbang mengekang taut bersambut

Mengibas kabut saat tatap tak kasat

Purnama entah dilari ke jalan seberang

Entah memerah berulang berang

Di sini riang luruh berlabuh, hilang timang

Sedang di gelanggang sepi berorang

Merejang segala awang bimbang

Selaksa lara menerjang sebayang-bayang

Selayang pandang

Di antara detak nyawa dan tubuh separuh

Sukmaraga yang lelah rapuh

Meratapi kepiluan retakan tanah merah

Mengiringi air mata yang bersimbah

Puisi duka yang tak pernah berubah

Dari helai-helai sekalian langkah jengah

Selama nafas masih mendesah

Gelisah merunut sejarah kota antah berantah

Yang Maharamah – Yang Mahamarah

Bulan mengawang garang

Untuk dikenangkan esok-esok siang

Lalu melari jejak sajak lewat semburat mega

Adalah epilog dari berbagai kisah

Nelangsa dalam gumam malam kelam, bagiku

Risalah rasa dunia ada karena-Nya

Tanpa ada rasa-Nya

Tiada apa merasai-Nya

.”


lpg-ykt, 2008

Ada Nama Tertulis di Sana

Ada Nama Tertulis di Sana
Bersama: Groh, Gunt, Oct, Jesic, n Bom’s

Bulan tak tampak beberapa malam terakhir
Sebab bual-bual tanggal
Di hamparan berdebu
Di tepian yang terlalu
Kutulisi namamu agar ada sesuatu tertinggal
Sebelum kami berpaling langkah
Merejang gamang
Terjang berpasang. Pasang
Debur ombak dan hembus udara
Takkan menghapus yang itu
Luruh di antara beribu
Sajak cinta dan puisi yang tak pernah selesai

Petang di lintasan pekan seumpama
Pantai sunyi cerita bercinta
Saat tereja sajak nelangsa
Tangis atau canda tiada beda
Ratap kebisuan desir pasir tepian laga
Lari menghindar dari arena
Halang embun menyublim duka
Selubung muram buram malam. Selebihnya
Tak akan basah ujung pengharapan bila saja
Tabir menyingkap; badai menggalang
Gelombang digiring bergulung
Terdampar di selangkang karang
Tersisih dari haribaan pertiwi. Sedang
Aku enggan pulang kandang
Singgah segala sanggah meradang
Mencekat mimpi lain lagi yang senggang
Menunggu bila bulan kembali datang
Ramai rumpis. Tapi, aku sendiri tanpa kadang

Mungkin esok akan datang
Menemani rasi bintang sejagad
Sebab bintang renggang mengawang
Kala angin menapak perlahan
Dalam sunyi kedalaman
Lalu aku, tinggal sisa pandang mata
Dan sederet aksara hamparan pasir
:
Ada nama tertulis di sana
Ada hidup yang tak hidup
di sana pula
Parangtritis, Juli 2008

Bukan Cinderella Kemalaman

Bukan Cinderella Kemalaman
: Devi Shita Andriani

Adalah sebuah babad
Dari enslikopedia penghantar lembayung sore
Untuk kubaca isyarat padamu saja bila kau sukar kerjap
Mata berpesan sebagai media simpul dari seutas temali

Akan kubaca isyarat dan tanda hingga tandas
.
Sedari peri berpesan pada si jelita
Isyarat kata kala masa berpamit pada pesta dunia rekaan
Agar tak kau langkahi hari dengan sepatu kaca sekian abad
Sebab akan pecah sebelum masa mendadar
Sebab yang sepasang itu retak memecah segala sangsi
Cerita cinta seberang dimensi dan derita lorong usia
Pecah sudah menjadi pilihan tanpa sisa santapan
Untuk pangeran dan pejuang yang mungkin enggan berbagi

Baru saja kunikmati jelitamu sesiang itu
Dengan tepekur dalam ruang matikutu
Oleh sesuatu yang ditunggu tak balik padamu
Kisah baru yang baru saja tereja kata
Tersisih dari bayang lembayung senja, selanjutnya
Bulan memangkas separuh malam
Yang kabur dari warna gemintang bintang
Sebab lelangit menepis kisahnya sekejap
Kasih terpadam seketika detak takdir menghentak
Rasa dan logika berkolaborasi. Simpan saja
Mungkin saat berikut akan sempat kau rajut
Cerita di rekah tanah. Regang segala bimbang

Pandangmu lengkung menelikung
Matamu sembab terjerembab rintik isak
Yang mengambang di jambangan bimbang
Kutatap mata itu dan kusapa sekian laksa
Di antara depa jumpa masa yang lekas melaju
Pagi pucat pasi; pagi melukis puisi sepi
Adalah tentangmu, perempuan seanggun salju
Sehalus hembus udara. Jenjang mengangkang tak jalang
Rentang kesempurnaan mahakarya yang terpahat gelisah mega-mega kepedihan. Lewat bilah sembilu; tepat menyayat untuk kali ke berapa
Di antara sunyi cahaya merenungi sangsi
Yang berserak di gugusan lanskap panggung drama kali ini
Gemulai gadis terpuruk di hamparan isak
Dan risak mengaburkan kabur malam. Semakin tak jelas barangkali bisa
Kau tapaki babak percintaan shinta .Sebelum sampai ke seberang senja Berikutnya. Setiap hamparan yang kau tapaki adalah cita yang kelak Sampai di penghabisan. Lalu episode yang lain lagi akan mengubah kisah Asmara rama-shinta yang tak akan jadi dongeng semata
April 2008

puisi thun 03-06

Stasiun

Di stasiun ini
Raga-raga lungkrah bersandar
Mencoba gambarkan indahnya hari esok
Bercanda di stasiun sana – sini
Merajut seribu cerita cita

Di ujung rel itu
Itu adalah stasiun terakhirku

Cirebon, 14052003
Ziarah

Di kubur ini aku bersimpuh
Menepi,
Siapa sangka ada bisik serapah
Asap mengepul berjuntai
Jerit lengking:
Ini jangan dimuat di koran nanti akan jadi buah bibir

Lab. Karawitan UNY, 28 Mei 2003


Sendiri

Tiap malam memikul sunyi
Tanpa teman
Dan angin yang menggantung
Di atasnya atap itu berbisik
Kenapa selalu sendiri?

Rembulan muda tampak sedih
Lihatlah!
Air matanya mengucur deras
Hidupnya tersangkut
Di pucuk pepohonan berduri; gundul
Tanpa dahan dan dedaunan

Tiap malam menyendiri
Memikul sunyi tanpa nyali
Lalu KAU dimana
Saat ini ketika aku sendiri?

Metro, 2003
Cerita Malam

Malam temaram
Mega tersilap mendung bergelantung
Aku bengong pikir bingung
Angin malam hembuskan gigil
Semilirnya malam tiupkan nestapa

Malam,
Tubuh goyah rebah
Hati semakin pilu
Gelap dan kelam
Tanpa cela untuk sinar menyapa
Manisnya bibir kecupkan duka

Malam,
Mega kelam sudah tersingkap rembulan merah jambu
Hancurnya hati mulai tertata
Bagai merajut benang sutra ungu
Gejolak hati sirna
Penuh berkah Yang Maha Kuasa

Metro, 2003






Cinta 1 – 5

Dewi Kunti hanya bisa menangis bukannya senda
Ketika Karna sewaktu gerimis di padang Kurusetra
Datang dan melempar tanya
Soal sesal yang kekal berkerak di telinga;
“Wahai Sang Ibu berputra satria utama,
Apakah makna cinta sejati
Jika hanya tersimpan di hati.”

Suryatmaja berlalu ke medan Bharatayuda
Meninggalkan pertanyaan keras bak batu berkarang
Dada sang ibu berdegub seraya
Di tengah pintu
Pandangi senyum Surya yang tinggal bayangan

Metro, 2003


Catatan Malam

Menengok kebun belakang
Dari lubang kunci
Ular belang menelusur gerumbul ilalang
Pemandangan itu terlihat indah
Bagai lukisan tiga dimensi
Penuh misteri

Metro, 2003



Lilin & Hati

Sudah hampir padam
Sebentar lagi pasti padam
Dan situasi kembali sunyi
Tapi jangan kau halangi jalanku dengan kilaumu
Karena kobar hati lebih terang
Lebih dari kobarnya api

Metro, Juni 2003

Jika Kau Tega

Biar saja kelelawar datang sore hari
Itu hatiku mencoba mencari
Yang lama lupa diri
Memang kau lupa
Tapi aku masih menunggu
Membuka pintu
Kapan saja kau pulang

Masih pagi ketika itu
Dingin merasuk dada
Hujan rintik mengelitik
Membuka lamunan jauh menerawang
Lalu aku,
Hatiku terasa tersisihkan

KAU!!!

Biar saja kelelawar tiba sore hari
Mengepakkan sayap lebar-lebar
Itu hatiku yang runtuh
Karena tersirat kabar
Jika kau tega menambah lukaku jadi pilu
Untuk kali ke tiga

11062003

Suara Kesederhanaan
: buat tw ”ungu”

Tiap malam kutulis ucapan kasih
Kukirim lewat embun dan kibasan
Kupu – kupu musim kemarau
Semoga terbuka jiwamu
Jika cinta itu putih suci bunga melati

Lihatlah dinda
Tak ada cerita jika cinta berharga harta
Karena cinta tetes darah
Meneteskan seribu getar
Mengambang di pelimbahan jiwa
Laksana teratai ungu
Berjuntai di taman Kahyangan Cakra Kembang

Mari ke sini dinda
Terima rasa rindu

Metro, 22 Juni 2003


Samudra Hati
buat seseorang yang duduk di sana


Detik…menit…jam di samudra
Tlah kuarungi
Tapi tak ada gelombang menghuyung sampanku
Tak ada semilir angin
Yang dapat menghempas kapal berbendera perang
Menuju pelabuhan-Mu

Pelabuhanmu tak tampak di pelupuk sanubari

Topan badai bergulung nun jauh menerawang
Terbesit di horison jiwa
Untuk menyongsongnya

Selat Sunda, 1 Juli 2003



Jika Angin

Jika angin berhembus ke barat
Aku kirim secarik
Kepada engkau, oh Jakarta Kota Metropolitan
Kapan bundaran HI jadi sepi?...

Jika angin berhembus ke timur
Aku titip tanya sekali
Kepada engkau, oh Jogjakarta beragam budaya
Jika ingin disebut Jawa
Apa harus selalu pakai surjan?...

Jakarta ~ Jogja, 2 Juli 2003

Wadam

Seseorang
Lelaki yang telah disuntik Betina
Menghampiri aku
Tatkala menyepi di tepi Ferry

Merinding bulu roma
Saat kau menyapa
Terbirit aku putih mata

Bagaikan Gerwani
Melempar batu acungkan tangan
Meninggalkan nyeri di hati
Apa maumu?

Putra Remaja, 020703

Korban Bercinta

Bermula Bhisma bersenda lalu bersendawa
hingga terlepas panah dari gendewa
Jadikan Amba meraba pusara melepas sukma
termakan sumpah Bhisma dengan Dewi Gangga

“Aku akan menjemputmu wahai putra Gangga.
Kelak masamu ‘kan tiba
dari busur senopati putri negeri Amarta.”
Hal itu terdengar oleh Dewa dan tersabda

Bhisma tersedu bersujud di samping jasad membeku
Cinta Amba pupus karena budi

Terban, 3 Juli 2003

Progo
:catatan malam penghantar masuk angin

Menunggu penuh haru hingga paruh waktu
Di barisan kosong bangku-bangku yang sesekali
Mengajak cacing dan asam lambung
Mendendang tentang arti kekosongan

Dari jauh,
Deretan besi, jajaran baja penghantar kepulangan
Menelusup dalam pelukan bulan sabit
Semakin lama makin membikin sakit.
Perutku mulai menyusut
Ketika angin mulai menusuk perlahan
Menerbangkan sajak cinta dan puisi
Yang tak akan pernah selesai

Kutatap sosok itu satu-satu
Melintas dalam buram malam
Datang ~ berhenti sejenak ~ lalu pergi lagi
Sepertinya tak pernah menyapa apalagi membawaku ke sana
Setasiun pungkasan, pemberhentian akhir
……………………………………………
; ada perubahan jadwal pemberangkatan karena
kemarin beberapa kali terjadi tabrakan kereta

st. Kutoarjo, 2003

Hanya Bertanya

Tolong jawab, Langit!
Bintang timur yang menggantung itu
Di mana tempat jatuhnya?
Karena memancar dalam ranum malam,
Akan kucari di mana Parikesit,
Satria piningit

Parikesit atau Dewi Sri
Telah lama meninggalkan negeri ini
Engkau tahu!
Hamparan sawah tinggal cerita
Tergusur gedung-gedung menyilaukan mata

Langit , tolong jawab!
Apa Tuhan masih mau temurun
Menyaksikan padi-padi yang meriunduk lesu
Memendam derita sepanjang mangsa?

Jogja, 170703

Dunia Sofie

Duniaku-duniamu
Duniamu duniaku juga,
Dulu
Aku punya sehelai benang sutra
Sayang, telah kusut
Sebelum sempat kurajut
Tapi,
Bubur itu mungkin belum basi
Cepat lekas panasi
Dibumbui lagi;
Bubuhi santan dan gula biar manis
Seperti hari kemarin

Kini tak hanya basi
Karena telah tumpah
Mengguyur kerudung warna ungu
Muara syahdu, sayangku
Piss forever to you

Terban 455, Juli 2003

Risalah Daun

Daun hijau warnanya
Akan kucari jika ada yang tak berwarna
Kunanti ia di seberang senja
Seketika menitis di sela stomata
Menguak fajar silih berganti
Tersapu sinar mentari
Menyingsing di horison mengharu biru
Digiring gelombang bergulung
Terdampar di selangkangan karang
Menyisih dari haribaan ibu pertiwi
Sendiri tanpa arti

Angin pantai mengibas hijaunya
Terbakar nestapa bagaskara
Hingga hijau bergradasi jadi kelabu
Tiada berharga, hanya tersisa ratap
Iri mengerling daun menghijau
Ranting bakau berkaca samudra biru

Bakauheni, 2003
Anggap Saja

Anggap saja mendung akan turun
Menitikkan gerimis atis
Walau belum karuan turun sebab ditolak dukun

Jangan kau anggap rinduku akan terhapus hujan November
Karena masih ada terik mentari

Anggap saja sakitmu akan sembuh
Walau engkau tak tahu obatnya
Karena sehat nikmat dan anugrah

Anggap saja Gunung Merapi akan meletus
Walau tak tahu kapan terjadi
Mungkin ada yang menghendaki

Dan, bukan gunung jika batu-batu di lereng dapat ditambang
Habis!

Metro, November 2003



Suara Hujan
: pbsi uny 01

Aku rindu suara hujan
Gemeritik memecah, mengusir sepi
Tuturkan wahyu terucap
Ada yang akan datang di ujung petang

Aku benci suara hujan
Air menitis dari atas genteng
Berlimbah mengguyur rumput ilalang yang tampak gelisah
Karena tabir tersingkap badai

Aku rindu suara hujan
Ia mengingatkan mendung dan kilat menyambar
Melambai, menanti
Ketika kita harus pulang
Kembali

Metro, 2003

Ihwal Tikus

Tikus-tikus masuk lumbung
Bersantap beras terkuras amblas
Meninggalkan sisa lubang di belakang

Tikus-tikus merambah sawah
Merambas padi rantas di lahan petani
Sisakan tepian-tepian ngeri

Ratu tikus di barisan terdepan
Sebagai teladan
Tikus-tikus gendut berisi
Diasuh, ditimang, dibelai obsesi
Meninggalkan tangis anak negeri
: Mau makan apa mereka nanti

Metro, November 2003

Sehelai Sajak Pamungkas
: tiwi_ungu@yahoo.com

Kutulis untukmu, Yang
Yang tampil beda dari sajak lalu
Yang keluar ketika pulang sembahyang
Setelah kian tenggelam dalam kenangan
Kucoba memulung sepasang-sepasang
Sobekan senyum yang tercecer sepanjang jalan
Jika tak lagi tangan bergandengan
Kaki tak lagi melangkah seiring jalan

Di antara sepasang senyum itu
Kulihat lautan api membara di matamu
Sinarnya mampu membakar kapal di galangan
Teriknya mencubit sakit kaktus haus dan kekeringan

Tak akan kumuntahkan pahit
Ini
Sampai lidah bisa menjerat
Hati
Di sini

Dalam sepi hampa di dada
Masih ada sehelai sajak pamungkas
: nantikan aku hingga ujung purnama

Metro, 281103

Awan Putih Domba

Awan putih domba
Mengintip pemandangan pilu
Di balik pintu rumahku
Hantarkan syair yang kuterima
Ternyata tumpah tanpa sisa

Awan putih domba
Awan yang dijajah terpenjara
Untuk memerahkan darah
Memutus nadi hidup-mati

Awan putih domba di atas di dalam
Kolam merona merah padam
Lewat embun pagi aku pamit
Sayup terdengar suara menjerit
Puisi-puisi luka akan tetap kubaca
Sampai senja gemilang tenggelamkan hampa
Dunia adalah nyawa angin malam
Halangi embun pagi meneteskan duka semalam
Tak akan basah ujung pengharapan

Awan putih domba
Berlari mengejar matahari

Metro, 2003

Menyulam Cahaya

Menyulam cahaya dari dian menyala
Tajam berbinar mengobarkan rasa
Dari sumbu sobekan sutra
Menanti bagaskara menyinari
Berganti hari guna meraih asa

Menyulam cahaya dari dian menyala
Tertata demi selembar dalam prasasti jiwa,
Nanti jika minyak patra dari dian hidupmu
Semakin surut, cahaya terlena
Meredup berkelip,
Biarkan,
Jaga
Siang dan malam, sebab
Ada hidup yang tak hidup dan
Tak ada yang kekal di dunia

Parangtritis, 01012004

Langit Lembayung Menelikung

Langit lembayung menelikung
Dan mendung runtuh berayun
Mengguyur mawar mengumbar wuyung
Mengalir membumbung di pelimbahan, tapi
Jangan sampai menggenangi bungaku yang belum lagi setaman
Biarkan ia diasuh bumi dan kehangatan,
Kuncup bersemi di pelataran hingga ranum mekar berbarengan

Akan kupetik sekalian bunga di taman
Kurangkai dalam satu ikatan,
Lalu kukirim lewat langit lembayung menelikung
Berharap diterima dengan senyum berkulum
Jika kuberi kau:
Mawar merah, aku simpati padamu;
Mawar merah tua, memang diam-diam aku kagum padamu;
Mawar merah jambu, aku sayang sama kamu;
Mawar merah kuncup, artinya cintaku benar-benar tulus nich;
Namun lebih suka kukirim engkau mawar putih kuncup
Sebab, lucu banget dech loe?
Semoga ‘kan lestari dan bersemi
Bagai serangkai bagai mawar merah-putih yang selalu padu
Takkan kuberi kau mawar kuning, sebab aku bukan Butarepan

Dengan tangkai ini dan secarik lirik barat tersurat
: Valentine, U’re always on my mind and in my heart

Jogjakarta, 2004


Album Foto Usang
:Penghantar Kado Ulang Tahun:Tiwi_ungu

Saat lembar pertama dibuka
Dari album foto usang
Haruslah banyak pertumbuhan dan Perkembangan
Perubahan dari sosok,
Semakin utuh dan jelas ujudnya,
Semakin terlihat guratgurat wajahnya
Semakin harmonis warnanya,
Semakin sempurna komposisinya
Hingga sampai lembar berikutnya
Dengan kemilau keperakan
Memancar dari jari manis sebelah kanan,
Gunakan
Untuk memutar jarum jam hidupmu
Dengan sedikit energi
Dari setiap baterai re-charge yang kau punya
Jangan sampai bersimbah air meski water resistant

Biar sampai lembar ini saja
Jangan kau buka lagi rentetan peristiwa yang belum tiba
Isi dengan belai dan rasa
Hingga lembar terakhir dari album foto usang
....
Aku kehabisan kosakata, kosakata tanpa gaya bahasa
Hanya tiga kata yang tersisa dari kamus bahasa
: Selamat Ulang Tahun

Gg. Guru, 26 Januari 2004

Rindu Duka Berkabut

Melangkah dalam remang senja
Langit Jogja kelabu bergayut mendung
Tapi tak turun hujan,
Hanya mencipta kegelapan,
Hanya mencipta suram
Menggiring rindu duka berkabut

Melangkah dalam gelap malam
Mendung menggantung mengungkung Temanggung
Saat separo jalan dari menengok rekan
Menanggalkan rindu duka berkabut
Dari kaki Sindoro yang bertekuk lutut
Bersujud merindu bagaskara menyelimut
Semaisemai tembakau yang belum sempat
merengkuh tanah merah kehitaman,
Gembur mengubur akar-akar merindu
Bertemu

Temanggung, 2004

Alur Hening

Layaknya senja ini, di perempatan jalan
Di antara tetes gerimis mengendus helm-ku
Memaksa bersin mengalirkan asin
; Kenapa tak kau balas sms–smsku
Itu batinku yang kebasahan
Dihembus sepoi angin Januari; hujan gaharu

Layaknya senja ini,
Saat tercoret sajak nelangsa goresan lidah
Mungkin meratapi kebisuan retakan tanah merah;
Sedang apa kau di sana
Sayang,
Sepi tanpa dering

Aku membisu-menung tanpa bahasa
Di antara detak dan lirik
Seirama wajah berandai–Andayani
Puisi duka yang tak pernah berubah
Takkan berubah, seandainya
Paham kalau kau selalu merindu

Hujan membikin hati terendap membeku
Kegalauan murka menjelma luka menyayat jingga senja
Seketika kesunyian menggerayang

Tak tahu ini puisi keberapa
Demi meluangkan waktu mengabsahkan keheningan

Karangmalang, 2004

Rintih Serpihan Jok

Tangan-tangan berkarat mencengkram,
Mungkin engkau ngangkang
Membusung di serpihan jok
Dengan tersedu menekur
Kembali meringkuk memeluk bayang-bayang
Sendiri

Tangan berbisa mensugesti berseronoh,
Senja ini perkenankan duduk
Di serpihan jok menyandarkan letih
Menjemput bual-bual tertinggal
Menyinggahkan impian
Lewat di barat matahari senja
Mengabarkan kemuraman terselubung

Karangmalang, 2004


Sketsa Sosok

Angin hembuskan aroma tubuhmu
Sesekali menyengat sukma – raga yang segera rapuh
Menggelepar melumatkan lembah sunyi
Berangin beliung menyeruak sketsa suram
Membawa bulir-bulir gelora,
Kenapa selalu melahirkan rindu
Pada sketsa sosok Roro Ireng bersenyum
Melampaui gurat-gurat tembok di bilik

Sketsa itu tak begitu kuat melekat
Hingga luruh di antara beribu gemintang
Kurengkuh teguh bibirnya yang ranum,
Kulantak tanpa decak angkuhmu, Kasih
Lewat angin senja menyalakan binar-binar rembulan,
Bidadari malam

Seandainya mungkin, takkan perkenankan
Airmatanya bersimbah tanah,
Menguap menjadi mendung kelabu
Menabur hujan kangen tak berkesudahan

Gondo Kusuman V, 2004


Mendung di Pelarian Musim
12022004

Sungguh tak kubayangkan seketika
Mendung di pelarian musim ini mengerang
Tentang kesaksian yang meringkuk
Bersama senja dari balik pintu
Karena mentari bertikam mendung terkoyak,
Merintih perih
Seiring kumandang adzan Maghrib menyulap penyesalan

Pesonamu luruh dalam kotak akuarium
Ikan koki-moli-gepi mengejek picingkan senyum
Menyaksikan tetesan air mata kesumat
Ketika noktah bertabur karat

Mendung yang berkalang darah
Melukis senja celaka penghantar musim berkabut
Akhiri cumbu nafsu dari helai-helai desah nafas
Memburu
Langkah kelingkaran tali simpul
Mengikat kabut tergelayut mengumpati kutukan hidup

Ruang Dosen Terban 457, 2004



Prelude

Buih-buih berkata lewat ranting tanpa daun
Basah
Dan dari hilir jauh sepenggalah senja tepian kali
Itu
Menenggerkan lumut yang terbenturbentur pualam
Tersangkut gombal bercampur lendut
Tak bergerak tak berdecak
Dan hanya membiarkan ranting
Yang jatuh telungkup dari atas kota tang bising
Menunggu
Di pusaran air tanpa jejak dan sajak
Sembari mengail mikjizat
Menenggelamkan catatan perjalanan
Suram
Dari tawar tanpa rasa mata air mata
Menuju Asin luasnya samudra bertameng karang

Akankah ia mencapai muara
Dan ombak menyambutnya dengan selaksa puisi

Babarsari, Maret 2004

in College
buat Bapak Burhan N.
dan fans-fansku: Pujiati S., Darmiyati Z., Pintamtiyastirin,
Ari K., i Tadz, Siti Nurbaya, dll

Jemari telanjang menjulur
Seirama tinta menari mengukir
Dari balik pintu menjelma sosok maya
Tentang rupa angkara
Tenggelam dalam rawarawa
Tanpa tepi, tanpa sepi

Sesaat tik-tok arloji mengalun
Bisikkan kantuk tak menyadari hari esok
Biarlah,
Selama nafas masih mendesah
Takkan kuremas kertas-kertas berserak
Kupungut lalu lenyap dalam timangan
Bersama siang menyilak pagi yang kepagian

C.08 FBS UNY, April 2004

Kujemput Bulan dengan Keharuan

Sesaat lambaian itu memporak-porandakan
Mimpiku yang belum lagi sempurna
Tersenyum di tengah pintu beratap senja jingga
Bercermin lewat bayang hitam di hadapan meski
Tak mungkin kabur diterpa ocehan angin

Temaram di tepi hingar-bingar terminal kota
Riak membisik syahdu di kebisingan
Meliuk-liuk bersama sibakan kerudung ungu
Wasiat bagi hayat hingga mayat
Lihat! Rasakan!
Kusahut derai senyum itu dengan uraian kata
Dan seuntai puisi dari sunyi kedalaman
Kala menjelang petang di lintasan pekan

Sebelum hari pertama bermula
Sapamu memagut matahari hampir separuh
Lantak tak terlewat
Lihatlah nanti?
Kujemput bulan dengan keharuan
Sebab siang hampir petang

Umbulharjo, April 2004



Bintang Bercinta dengan Kelam Malam

Bintang masih bercinta dengan kelam malam
Saat purnama hilang dari balik tembok pagar
Mungkin berpentas untuk kami dari kegelapan
Selatan kota itu
Horison yang kadang hitam buatku
Belum lagi saat terlena
Tentang cerita bulan dan bintang bercakap
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Sisakan puing pecahan bata merah
Menyembunyikan segala kelam dari sinar bagaskara
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak, sepenggal –
Sepenggal lalu tersebut nama sebuah kota
Dari kemenangan yang terbuang ke seberang
Mencari bintang yang bercinta dengan kelam malam
Bersama purnama berenang di lautan
Hingga berlabuh fajar pagi Bertapis Wawai

ISI, Bantul, April 2004
Sajak Pengharapan:
Untuk hidupku yang satu detik lagi

Aku mungkin mati satu detik lagi
Namun jengkal hidupku siapa tahu
Detak ini menggertak-nyalak hendak lantak
Retak diterjang ihwal dewata Nitikawaca;
Inilah sosok durjana dari hinasahaya

Wahyu takut temurun
Itu bukan malaikat salah mengeja
Catatan suram perjalanan menikung masa silam
Atau pendakian terjal tak berpuncak amal penabur dosa
Kutau mungkin terlalu cepat mencekat tuk sujud
Seuntai harapan tak sudi mencerna doadoa dari sosok
Ornamen yang belum sempat terpahat oleh zikir mengukir
“Niat insun kula Sholat”
Oo, pendosa meracau lewat sajak pengharapan


Titi wanci; mungkin detik ini
Ini hari minggu ini entah bulan depan
Warsa ini windu ini atau renta kala
Itu tak mustahil tereja Asmaulhusna
___
Untung malaikat menarikku ke sana
Nyanyikan pujian asmaradana menjelma
Gema bedug menggemuruh mengharap
Untuk hidupku yang satu detik

Ketep – Borobudur, Mei 2004

Senja di Candi Borobudur

Dari balik stupa aku bercermin pada-Mu
Bercermin relief Rupadatu
Memandang kepala-kepala-Mu yang hilang
Ketika reca itu lenyap dari jangganya

Senja dilahap mendung
Dan memuntahkannya sebagai guyuran hujan
Dari sesenja perjalanan pungkasan
Aku bersujud
Bukan untuk batu-batu itu
Tapi untuk Rabb-ku

Borobudur, 2004


Bacakan Puisi ini Sekali Saja

Bacakan puisi ini sekali saja
Pada suatu waktu kau sedang terlena
Biar dalam hati tapi penuh nurani
Dengan mimik gesture vokal menyalak
Tapi ingat!
Puisi ini bukan untuk deklamasi anak SD
Yang ingusan
Yang belekan
Yang ngising di celana
Yang gratil
Yang dekil bengil bocah udik
Atau anak TK manja semua Ma – ma

Himbauan!
Puisi ini hanya dibaca oleh yang punya jatidiri
Ya, sepertimu yang punya hutan jati
Di Kalimantan Sulawesi Papua atau Sumatra
Barangkali di Aceh diselingi belukar marihuana

Peringatan Pemerintah!
Membaca puisi dapat menyebabkan mulut berbusa, serangan lemah jantung, Tubercholosis, gangguan tenggorokan, dan kehamilan masa pubertas
Ingat!
Puisi dibaca bukan hanya karena ada niat
Tapi karena ada kesempatan
Baca!
Baca?


Terban, 2004

Euforia Dunia suatu Senja

Bilakah fajar tiba
Dan seseorang menggendong bakul sarat
Berhenti di teras sebuah toko
Singgah survei sejenak
Melongok bocah ingusan
Beralas kardus di endus tikus-tikus
Tekur meringkuk dihinggapi lalat Kota
Yang lapar benar

Bocah ini tikus jalanan
Dari selokan yang tergusur ke emperan
Biar lalat gerogoti badan
Akan diterjang dahaga – lapar bersarang di kerongkongan
Yang lupa rasa dunia, akan Tuhanan

Bilakah senja di kebisingan Kota
Dan seseorang menggendong bakul
Sur – plus
Hampir (i)
Ulurkan tangan kanan – anggukan – dan sedikit senyuman
Titipkan pesan akarrumput di persawahan
Saksi Kota kejam nafsu jahanam
….
Sepasang tikus sehabis bercinta
Melata malu-malu menatap mereka yang terpaku
Lalu berlalu mencari jejak lewat semburat mega jingga
Dari lubang angin etalase toko mencerca
: selamat datang euforia dunia,
kami akan menantimu di dunia dalam berita

Terban, Mei 2004



Menjelang Petang

Dari selimut kabut pekat mengintip di perut bukit
Iguana tertatih merayap pada ranting pinus basah peluh
Setelah lelah layani syahwat terik seharian
Tadi
Sekelumit cahaya mercury berkedip menyapa
Bersenyum di tangga – tetangga rantau
Rayakan ujian hidup separuh tempuh

Kaliurang, Juni 2004


Edan!

Itu katamu padaku
Lama mengusang pada sosok tiang listrik
Nancap tak berkesip
Diendus anjing kudis

Sampai batas mana
Kegilaanku bisa menggulaimu
Aku masih menunggu
Ditemani jengkerik dan detak jam retak
Mencekat mimpi yang mungkin bersarang
Di ruang persemaian Kuldi
Menunggu kembali bulan datang

Kaliurang, Juni 2004




Menjelang Petang II

Ada tua renta permisi
Sesaat membungkuk di anak tangga
Matanya galau menatap petang merayap menjelang
Kenapa mesti membungkuk
Ini dunia milikmu, batinku
Kami datang karena rindu dendang malam
Di negeri kami hanya ada dering bising dan raung jalanan
Tegaplah!
Bulan ‘kan menyambut rona senja yang semangkin pudar
Letihmu ditunggu cucu merindu di gubug–Mu
Bawa batu berlumut buah tangan moyangmu
Jaga dengan uban mengakar keperakan
Jangan sampai kembali legam hitam

Meski lumut di batu itu berwarna hijau kuyu
Setidaknya memberi harap
Agar tak terpahat maksiat
Agar tak terinjak kaki-kaki jaman

Kaliurang, Juni 2004
Benalu vs Priyayi Berdasi
: Dia

Ada parasit nempel di pokok beringin
Disambar walet sesekali hampiri kami
Yang sedari tadi bersemadi, tak berucap tak mereda angkara
Bergelayut mega jingga terjangkit sisa terik penghabisan
Di bangku taman yang tampak usang oleh jaman
Tadi terlihat tamu priyayi berdasi teriring bedil-senapan
Sedari orasi bakal pemimpin negeri
Mampir ngisi perut bahkan minum darah dengan cawan revolusi
Di tempat bapak-Nya doeloe ngungsi dari ibu-Nya,
Mungkin terlanggar van Royen entah Renvill entah Agresi
Aku tak mengenal sejarah tanah ini
Aku hanya benalu tak punya harga diri
Di artefak dan monumen arkeolog tempat pasar seni
Para seniman gondrong doyan botol yang bilang dirinya nyeni
Masih lebih Nyeni bahkan Nyastro mereka priyayi berdasi
Yang barusan masuk mercy
Beliau pintar bersyair fatwa pujangga
Beliau lantang deklamasi
Beliau gapah bersilat-acting di hadapan tamutamu penting
Dengan properti para menteri, delegasi, diplomat, Parlemen
Bahkan Mahkamah Agung atau rektor barangkali
Dengan setting memadai: Istora bahkan Istana negara
Untung saja aku hanya parasit yang nempel pada pokok beringin
Tumbuh berakar saling tunjang sejengkal di tanah ini
Kabar-kabari desai angin, kicau burung dan pasangan bercinta
Berbincang masa depan
Tapi kasihan
Aku tak bisa bebas seperti walet terbang bentangkan sayap
Kotori baju priyayi berdasi yang lewat tak permisi

Gedung Agung Jogja, Juni 2004

Tlah Kupahat Sebuah Nama
; bersama Joko, Pur, dan Groh

Tlah kupahat sebuah nama
Lanskap keindahan hakiki di sepanjang bukit pasir
Tepian samudra dalam bisikan debur ombak
Bercerita tentang mata yang terlukis luka senja
Membias gontai tubuh hendak rubuh
Lalu selukis nama lebur bercampur pasir basah
Hancur luluh disapu buih
Merintih:
Kitakan bertemu dalam ragu
Lalu kita menunggu malu
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang

Tlah kupahat sebuah nama
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Lalu berbuah buih memecah riuh
merengkuh matahari
memeluk bulan sabit kesepian
Dan hanya ditemani bintang diam
Yang diam-diam membidik awan kelam
Lalu mengajaknya bercinta dalam kepuraan

Tlah kupahat sebuah nama
Ditemani bintang diam
Menyalak sajak lokal milik rekan
Memekak tak hening oleh kelam malam
Lalu meneriak serak
; tlah kusuntingkan karang dengan pasang!

Parangkusumo, Juni 2004

DIVA I
SR & TA

Ada jalan sarat marka
Yang menuntun kami
memilih tak lari
Yang merindu sora diva
diujung jalan sana
Yang berpenghuni rona jelita
buah karya-Nya

Gombong, Juni 2004

DIVA II

Ada goa tua di ujung jalan sana
Yang sesekali merintis tangis
Lewat rembesan stalagmit netes basahi arca
Hingga bolong tepian muka
Seperti luka menganga ulah lingga yang batu
Diujung pagi sayup mata penjuru kota itu

Gombong, Juni 2004

DIVA III
SR

Dalam beranda
Menjelang datang sewarsa usia
Tengan-tangan mungil menampar wajah boneka
Mirip padanya
Hingga kuyu tetap kaku
Mungkin murka pada Bunda yang lupa setor muka
Atau sekedar rindu nenen dari putting nan unun
Lalu
dikulum bibir mungil
digigit kecil-kecil
dari susu Bunda mungil
oleh geligi kecil
untuk anak,
anak kecil

Gombong, Juni 2004



DIVA IV
TA


Di teras batas tetangga
Tumpukan batubata terbata mengeja kata:
Jangan kaucetak lagi diva-
diva ke dunia
Telapak kakimu bukan surga
Hanya neraka ulah polah mereka

Gombong, Juni 2004



Aku Milik Siapa ?

Kelakar kata menghentak rasa
Menyalak berdesak mengerat pekat
Gendang telinga mendengung
Tersengat lebah madu mendayu
Penuh nuansa menyentuh citra
Berkata:
Aku milik setiap orgasme alam
Jangan engkau mengekang apalagi berburuk sangka

Terban GKV, 2004


Engkau yang Kupilih
: SBY

Bahwa tubuhmu tlah kuhujam berulangkali
Tadi pagi
Dengan sepucuk puisi
Itu
Puisi yang nancap di kedua mata
Dan jantung landung
Mengundang hasrat bersatu
Meski dalam ragu
Merintih di pangkuan ibu yang lama layu
Lalu meredam khayalan imaji
Sampai seratus kegelisahan hari
Yang mungkin nanti
Mengurai khilaf
Mencerna doa dan harap
Berharap ibu tak bergolak
Menarikan selendang api
Menyala menyapa angin
Dan menghanguskanmu jadi abu
Saat senjakala tak lagi menebar jingga
Kemudian Batara Kala memagut tubuh ibu
Dalam bayang mega kelam
Membias resah hujan basah
Berakhir sudah,
Kembali pulang ke rumah

Terban, 5 Juli 2004


Menanti Kedatangan
:Devi Widiasari

Arah angin membawamu kemari
Untukku dan untuk kami
Setelah engkau menebar benih
Mengungkung warna
Pada mata
Hatiku
Pada luka
Mulutku
Meneriak kata
Irama membahana
Mengepulkan asap pilu
Lalu
Muka menjadi rombengan
Mata menjadi pelototan
Seiring petang menjelang
Datang
Engkau urung kirim pesan
Hanya harap menyisa ratap

Aku masih menanti
Kala angin menapak pelan
Dengan putih hitam kepekatan

Umbulharjo, 20 Juli 2004

Putri Malu di Luar Jendela
:tary

Ada kata terburu terucap
Saat pagi beranjak dari kesejukan-Nya
Merubah gigil jadi bengil ulah bocah bengal
Mereka murka rona alam alam yang masih merembun
Hampir basah peluh sepagi ini

Bukan alpa beta lupa lupa pada janji kita kemarin
Aku lupa bukan karena amnesia
Tapi kepala yang tak bisa bersandar pada hening malam
Tadi
Telat meninabokanku hingga fajar menyeruak maki

Putri malu di luar jendela masih lestari
Dibasuh embun embun pertengahan kemarau
Sesekali melambaikan tunjungnya pada kemaluanku
Yang menepi di seberang tembok sembari mencerna kata

Tak ada sisa kosakata yang tereja
Percakapan hanya mencipta gema
Karena kemarin bukan senda
Bukan juga orgasme alam belaka

Ambarrukmo, 26 Juli 2004
Sus Scropha
: kita, kami, dan kalian

I
Mengintip sejenak lewat kaca jendela
Belantara berapologi tentang musim penat
Oleh segerombolan puisi yang lama terperam
II
Kini puisi-puisi membuncah tiap bait tumpah dari celeng-an
Sepenggal terbayar oleh sesobek kertas di atas rerumputan
Lalu terbeli sebuah kisah cinta antara binatang dengan puisi
: kawin lari
III
Binatang hutan yang membawa lari puisi
Itu
Kami songsong bertiga di ujung rimba
Sembari bermonolog tentang jatuh cinta

Ambarrukmo, Agustus 2004



Senandung Putus Cinta (110903)
- Dewi Agustina -

Dering telepon menanti jawab
Di sana
Kata bungkam merayapi kelam malam
Mulut gagu meratapi perpisahan
Dari hari keakraban menusuk perut dan dadaku
Pada cita dan rasa yang mungkin sulit bereaksi
Semenjana rasa pedih menggurah di sembilan
lobang tubuhmu
Belum kita ketahui esok pagi
Mungkin egkau atau aku
Menyusuri cerita di sisi usia
Yang terus berevolusi
Ke lorong sunyi
Oleh belai angin kemarau September ini
Ayo, kita halau musim berdebu tahun berlalu
Dengan senyum bagaskara esok pagi
Biar pijarnya membikin gaharu

Metro Selatan, 11 September 2004

Pacar Kecil di Pertigaan
- mendhess -

Pacar kecil berlari
Berlari meniti matahari
Jatuh di gundukan jerami
Sisa panen gadu sepekan lalu

Pacar kecil,
Kau berpaling pada siang
Amnesia akan semarak underlag
jalan belakang
Kepulangan kita sehabis pergantian
Menggiring sampai pertigaan ruang dan waktu
Lalu sepertiga usia bertemu dalam kelu
Kemudian dan lain sebagainya pun
Kesengsaraan purba terlanjur terpahat
Di tepian jalan
Ditemani canda rekanan dan dendang memabukkan
Dari pelarian pacar kecil kehilangan jejak
Juga sajak,
Menghilang di serpihan mega
Menghalangi sinar-Nya

Metro Selatan, September 2004

Tidur Separuh

Ini bukan tidur
Yang kutiduri
Tapi, kau pun harus berhasrat
Biar tak sekejap istirah
Menurut pejam mata
Terbukalah cakrawala

Perempuan sepetang itu
Tertimbun matahari, tersaput kabut
Berserak. Berkerudung dalam ungu
Di tepian petiduran
Hanya aku dan kamu
Koyak dan tak rapi
Satu-satu atau keduanya
Berwujud tunggal di antara serpih kala hitam
Meranggas siklus terabai napasmu

Mrican, 2004


Pergi Jauh/go-far

Masih basah sekitaran rumah
Hujan hanya menghantar gerah
Kamu juga kami, memenjara diri
Dari rerintik, sedekap dalam pengap

Bercakap dalam risik
Senandung kidung asing
Mengerak kontras merambat pekat
Pepat suara menyublim mata
Yang sedari tadi tertimbun asap

Rintik hujan membasah angan puisiku
Gerah berasosiasi dengan atis,
Dingin malam tak jua reda
Pertanda rembulan tak lagi tergantung
Menerangi buram malam

Kamu masih di sini,
Menanti hujan membanjiri belakang kali
Menanti makan malam yang kemalaman

Papringan, Oktober 2004

Message Delivered
- TA -

Masih sempat kupagut seonggok mimpi
Tadi –
malam
– ini
Bayangan seseorang di seberang
Tersiksa nesta oleh sekawanan,
tapi bukan kawan……
Belum sepekan kutambat biduk
Di dermaga berbatu menerawang pilu
Pandangi ombak penuh tanda tanya
Bergulung mengejar bulan sabit jingga
Terhempas karang memecah riuh,
Mungkin rindu bertemu
Saat tersiar kabar dari titik-
titik kaca
Tanpa tanda baca
Tereja wacana tentang lara
“Aku takkan kembali esok pagi”

Bandarlampung, Oktober 2004

Tentang Bulan
“M”

Sepasang mendung
Saling berebut luruh ke bumi
Mengarakkan kelamnya,
Bulanmu tanggal tua
Langit kelabu, dan
Bulan sabit harap cemas bertabur mega
Dan dari mega mencipta kabut
Teramat nanar, tak lagi berbinar

Seperti semalam,
Di sepertiga malam prasiam
Mendung merambat di balik kedok Betara Kala
Tak jua tanggal sumbat
Meski penuh sujud
Berharap bersambut
Mungkin esok ‘kan datang
Menjemput rasi bintang sejagad
Pada penat melerai kesumat

Papringan, Ramadhan 1425H


Aku Lupa Membaca Firman-Mu

Mulut tersumbat, lafal terbata
Saat kucoba mengeja satu-persatu
Puisi-Mu yang sudah lama
Lapuk dalam iman
Juga segala Alif-bengkong tak lagi berfirman

; Aku ‘kan mencoba esok, di sepertiga malam
sebelum raga tertimbun nisan

Ramadhan 1425 H

Maghrib

Tenggelam di sini
Rerumputan bersujud tertiup angin
Gerimis runtuh demi setitik
Tak lagi kekeringan

Waktu semakin beranjak mendekat
Rengkuh segala itu
Sekejap akan hilang
Sebab matahari, korona memudar
Sebab angin, luruh dipetik mendung
Lalu aku, tinggal sisa

Selagi buku puisi masih bisa dibuka
Akan kuisyaratkan epilog saat buka puasa

Metro, Ramadhan 1425H



Semua Sama; TA

Air di mana-mana sama,
Ia sama mata airnya
Ia sama menuju muara
Mengalir di samudra biru memecah riuh
Berhias buih berkejaran menyapa pasir putih

Ia sama ramah tamahnya,
Mengalir di pegunungan sunyi
Menebar kesejukan dari kecipak dan gemericik
Pada batu yang pilu menunggu sedari hulu;
Riak berliku menyambut senyum paman petani

Ia sama amarahnya,
Mengamuk sebagai badai menghempas
Luluhlantakkan alam dalam bah

Ia juga sama dalam cinta,
Tumpah dari langit sebagai hujan kangen tak berkesudahan
Basah peluh dan desah menggurah sajak kasih


Terminal
-- Rp 10.000 --

Terbenam dalam deru sesore itu
Daratan dibanjiri riak dan peluh
Awal perjalanan yang kelaparan
Di antara sengatan aspal dan sejumput kenangan
Tertinggal dalam rentang waktu
Berserakan sana-sini
Menanti jumpa kembali
Dan aku gontai sebab hari masih lama

Matahari di ubun-ubun
Menyengat terik dedaunan
Hingga terbakar sebagai lembaran-lembaran
Penghantar kepulangan yang masih tanda tanya

Dia di atas sana
Dengan tega menyisakan selembar dalam celana
Terpaut uang di saku
Berlalu
Say good bye to you

Giwangan, 14:50-15:25 09112004



Pesan Cinta

Jika engkau rindu
Nanti, Dinda
Simpan saja
Jangan kau berikan siapa-siapa
Daku datang dari seberang
Membawa sepotong cinta yang kau pesan

Metro., November 04


Puisi Ilusi

Mungkin aku sepi
Malam bisu, siang berkabung
Di koridor mimpi
Saat rembulan tak lagi purnama

Mungkin aku sepi
Oleh engkau, aku asing penuh ilusi:
Menenteng busur di tangan
Dan sepucuk panah menanti tuju
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
“Jangan kau takutkan, Kasih
Panahku hanya secarik puisi
Tak akan menyakiti siapapun, tidak juga
KAU?”

Metro, 2004





Semalam di Pasir Putih

Masih ada nostalgia ranting hijau bakau
Baru saja bersemi
Ketika angin tiba-tiba bertiup
Menghempas segala harap, tinggal ratap
Pada selembar daun jatuh
Tersapu buih, terbaring pedih di pasir putih

Lampung Selatan, 2004

Pedagang Jamu di Geladak Ferry

Geyal-geyol bokong bahenol
Tawarkan isi dalam botol
Mengais kepingan tutup botol
Botol bertaut tutup botol

Selat Sunda, 08:45 10112004



Game Over

Ketika adzan berkumandang dalam liang
Ketika kafan berlapis membalut tubuh kaku
Ketika tanah merah menimbun segala cita dan karsa
Ketika permainan telah paripurna
Dan kita menunggu undian
Untuk menang atau kalah

Metro, Nopember 2004
Buat Kadalis

Di kampung kecil itu
Matahari turun
Dan kita panas
Oleh bara dan terjal pendakian
Yang tiba-tiba berakhir di tepian curam

Lalu kita berjalan lagi
Meniti tangga imaji
Di jalan goa dan batu-batu padas
Semerbak pedupaan
Tinggal sunyi tanpa nyali
Kehilangan hiruk pikuk bus kota
Tontonan adegan jalan yang membosankan

Daun berguguran, berserak
Menambah sampah ke hitam tanah
Dan mata air membuncah
Serupa selokan di kota yang jauh itu
Kehilangan suara gemericik
Menghanyutkan imaji di kekerasan
Desahmu, naik pitam gelombang fals-mu
Yang mengisyaratkan matahari setengah tua
Agar tak membelangkan kakimu
Dari sengat siang bangsat
Musim berapologi

Imogiri, Desember 2004


Bocah Penggembala

Seorang bocah menggembala angin
Di bawah terik, menguning pada bulir padi
Merunduk rindu basah tanah

Si bocah menggiring angin menepi
Biar rumput tak lagi melenguh kepanasan
Yang hanya punya satu sajak tertambat di sengkedan
Gemericik bening sebening riak birahi-Mu

Sepasang manusia saling bertanya
Adakah jalan menuju ke sana
Dari patahan marka
Simpang tiga itu,
Tersesat dalam imageri angin bedinding

Imogiri, Desember 2004



Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah

Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah
Dari atas sini menatap kolor petani
Dan punggung berkilau bercermin siang
Menatap isyarat lewat panca indra

Kita lihat petak sawah, juga sederet gedung
Kita hirup nafas hijau daun, dan hitam tanah
Bukan gedung silau, mall atau baliho
Juga kutang dan cawat
Bergantung di kawat jemuran depan kamarmu

Ada pohon dan rumah tak kokoh
Sama di ujung sana, tempat kita semula
Bedanya, kita sedang bertamasya
Jauh dari sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok

Aku dan kamu,
Sesekali meski melihat ke bawah
Sebab kita berangkat dari sana

Cerme, Desember 2004

Syair Banjir

Bah menunda desah
Gerimis senja meluapkan Lumpur
Mengambang di sekitaran petiduran
Tempat kita hampir bercinta

Sekejap kelam
Tubuhmu hampir tenggelam
Basah di ambang bimbang
Sebelum gelak beranjak memeluk badai
Luruh dalam kubangan

Dan gerah menghempas desah
Seakan mewakili rintih orang seberang
Cuaca berkabung
Kabut menjenguk sepotong kelam
Karena senja
Karena banjir
Hari kita dilanda sangsi pada suatu kali

Grinjing, 27122004


Syair Banjir (2)

Di sini air mengalir. Dan rupanya
Sobekan sampah tersangkut ranting
Dan runtuhkan tambat itu
Yang mencoba hadang kecamuknya
Sementara di luar cuaca tak beranjak surut

Di sini air membanjir. Dan rupanya
Segala yang mengapung itu tak lagi memberi harap
Berleleran dalam ruang
Mengendap perlahan, noktah demi noktah
Larut dalam keruh
Sementara gombal-gombal nyaris basah
Menambat di antara sumbat
Menghadang gelombang;
Menyelamkan letih tepian kali berair-air
Yang mengalir dari nadiku
Menenggelamkan sebagian sel-sel birahiku

Grinjing, 27122004











Rindu yang Purba

Suatu kali aku memeluk gunung
Lebih erat dari lembah. Tak terbatas horison
Yang mengujung

Tak ada kabar olehmu; hanya kebekuan ruas jemari
Dan perdu teh mengibas kabut yang mengasat –
Yang hampir jadi sejarah

Ingin kudaki terjal gunung
Terpisah oleh marga, lewat raga. Terpisah
Oleh bingkai cakrawala
Yang tergambar dari kanvas semesta
Suatu kali aku sarati; bahwa tinggi gunung
Bukan antara yang tak terbaca aksara

Membaca isyarat—saat penat yang berlipat
Gigilan singkat terkubur dalam pedut
Memisah rindu yang purba

Kledung, 2004

Kuldesak Daun Basah
-- Tiwi Andayani --

Akhirnya basah
Bersama genangan lantai
Sejilid album di tepian tidur
Membayang tak kasat

Akhirnya tinggal uwuh
Gelimang peluh di atas daun basah
Lupa terbangun matahari musim kelabu
Bagi pesta ulang tahun
Tanpa tart
Tanpa kado istimewa
-- dering di sana menggetar
dan umpatan kalbu memisah rindu
; kenisbian abadi

Kuldesak daun-daun basah
Menambat perangkat usia
Dalam igauan semenjana, berlabel cinta
Punya kita berdua; membias kabut
Pandang matamu yang jauh

Grinjing, 00:05, 260105

Dream Teather

Serentak aku dengar
Nyanyian gaduh antargelisah
Dalam alunan menggelegar
Detak menggeretak di balik dinding kedap suara
Lantai bisu, ruang berbohong
Padahal pintu masih terkunci

Engkau di lipatan usia, mutasi
Oleh ceracau cuaca juga desah. Bulan digantungkan
Di langit-langit: isyarat encore

Mereka pandai melantun notasinotasi
Dalam hati kita
Mereka pandai melantun nada sumbang
Pada angan-angan lalu
Menyusun not-not sakit yang melululuhlantakkan
Rindu dan kebisuan impian. Tiba-tiba redam,
Mengalun sepi yang baru, sangat baru

Dan itu bukan sinom parijatha
Desahan pedih. Sesuatu yang tak bisa kusetubuhi

Grinjing, 260105


Banjir Sore Hari
-- tiandra –

Ada yang membalur
Di dinding kamar. Tentang segumpal buih
Lari dari kali (mengerat dan menjadi karat)

Antarruang dan luaran banyak buih, sukar menyurut
Sore seperti bukan sore
Genangan seperti linangan air mata kekasih
Pada daun pintu yang lapuk, berbasah-basah berantah
Buih jadah ini,
Kali ini, hanya lumpur dan sisa caci maki

Orang-orang mulai jengah, bersama basah desah menjelajah
Aku mencari kekasih yang tergelar sehari tadi
Basah tanah secercah kasih
Lumpur dan belai bukan seteru
Terpuruk dalam hujan separuh senja
Setitik isak rintihnya patah gemulai
Menyimpan aroma basah,
Banjir sore itu

Grinjing, Februari 2005




Vacuum in Little Poetry (LPJ)

Embun masih basah dan di luar mendung. Mendung
Yang murka semalaman membelit
Kisah sewarsa saling terbaca
Mengurai dari berbagai prosesi
Bukan tinggal gelanggang

Serupa rumbia pun kami menyulut api
Siap berkobar juga siap dipadamkan
Memanas dingin apologi
Menggamit pengap hingga telanjang kata
Sel diranggas setumpuk mekanisme, melankoli arbitrer

‘Mereka’ memberi senyum batu
Malam ini tak memberi ampun sekalipun
Oleh sebuah lakon berbalut bercak
Yang mungkin diwariskan pada mereka-mereka
Lantaran rencana-rencana terus memburu

Menunduk dan ngungun. Tak ada orasi membahana
Dalam semadi, wajah-wajah mengepung
Takluk pada kesepakatan labirin malam
;ditolak (teriring sungging yang ganjil)

Karangmalang, Februari 2005



Taman Berlumut

Sore ini di sebilah puisi
Remang bergantung sepasang mendung
Merayu musim, menggoda tukang puisi
Atas taman berlumut menyongsong romantika senja

Batu betina itu masih terpuruk di sekeliling taman
Tampak lembab dihinggapi lapuk
Bersedeku di setiap penjuru meratapi langit kelabu
Hingga menderas air kali
Mungkin menuai air mata yang muncrat dari kornea
Karena redup senja membutakan angan puisinya

Prelude, vaginamu goa batu
Taman berlumut, bias nikotin
Tempat kami mengurung cinta
Lalu menyemai biji sehabis mangsa
Hanya lumut yang membuat hijau taman ini
Aroma lavender seperti menghardik
Pinggiran kali dan aliran kata yang tereja
Oleh batu yang lama disetubuhi

Kyai Langgeng, 120305

Pedhalangan

Aku bukan Kamajaya, kasih sejati Dewi Ratih
Aku bukan Bathara Guru, penguasa cinta bermahkota Uma
Tidak juga Salya, bersanding Setyawati dari masa yang terbakar

Tapi mungkin,
Aku juga Resi Talkanda, karma wuyung Amba yang terpanah asmara
Aku juga Abiyasa, dalam buruk rupa persunting sekar kedaton
Aku juga Janaka, juru rias mempelai Banowati yang urung
bersanding
Aku juga Bratasena, asih-asuh menyusui Abimanyu
Aku juga Burisrawa, pencari kisah Bratajaya meski kalah segala rupa
Aku juga Antareja, penjilat tapak kaki senja yang tersia-sia
Aku juga Antasena, berbudi batu pengarung seatero bahari
Aku juga Parikesit, satria piningit pewaris kaca benggala
Aku juga Ramawijaya, dalam medan waktu merindu penuh cemburu
Aku juga Laksmana yang menukil kalbu dalam keperjakaan

Lakon telah paripurna, dalang mematok gunungan
Kelir hampir digulung,
Blencong telah padam, segala meredam

Begitu juga aku, telah membantah gelisah
Di antara gugur bunga. Tak sampai mekar saat jelang fajar
Bunga hampir mati pada jiwa yang membatu
; Kasih, sepotong bulan mengawang di penghabisan malam
tanda musim gugur hampir tiba

Grinjing, 17 Maret 2005//02:01

Malam Cekam
:PIS

Menyapa tak kasat
Menegur dengkur
Mencacatkan mata paruh pejam
Dengan keburaman malam
Menebar aroma pedupaan semenjana

Lelaki sukma
Melintasi sepertiga malam
Menyusuri sungai manusia
Diiringi gending lengang dan mantram
Kekudusan abadi yang dicetak buatmu
Dengan kecamuk yang mengebiri
Aliran testosteron; tunjung metafisika
Memimpi tidurmu
Dari gemericik riak menambat
Bersenandung kidung nafas landung
Dan desah membelai hijau-Nya
Dan memunggungkan padamu
Tentang naluri
Tentang nyali
Tentang cekam
Cekam yang benar-benar menikam

Grinjing, 17 Maret 2005

Siang Terbungkus Mendung

Siang kelabu
Siang terbungkus mendung
Hari meranggas rendeng
Hari-hari sepi kekes
Dari jauh,
Onggokan mega berarak-arak
Runtuh memanah dalam tubuh
Dari atas
Jalanan menggenang, mendung menggiring bimbang
Pada jalanan yang semakin aking,
Malaikat terlena, tertidur di balik selimut
Sebentar terjaga (mendung masih menggantung)

Matahari kehujanan, berteduh di balik awan
Menutup tirai langit
Mematikan saklar binar
Berharap jelang petang
Senantiasa menyongsong remang, perlahan tapi pasti
Membuncah senja kemerahan
Dan juga bersama angin
Menggiring rindu ketika kabut berangsur pudar

Grinjing, April 2005


Menyimak Puisi Tuhan

Simaklah hujan nyanyikan pujian
Membaca syair jenazah, bukan berkafan
Beku badan, tangan kaku sedeku
Tak tahu akan menulis apa

Simaklah hujan, puisi-puisi tuhan telah terurai
Seiring rerintik bertumbuk
Atas deras, jauh di seberang ruang
Tertimbun sisa waktu, sekejap embun di atas nisan
Menghimpit dalam pengab yang berat. Menimbun
Bingkai foto, kemarin tertampang dalam album
Sepanjang kenangan tinggal hikayat

Senandung panjat-Mu,
Dari dalam peti tak tedengar lagi
Isak berantak, jerit memanggil atas-Nya
Hanya tinggal meja dan dupa
Mengabadikan sesembahan

Simaklah hujan
Pekik mencabik cakrawala
Ketika iring-iringan hampir diberangkatkan
Penghormatan terakhir diagungkan

Semua pasti selesai
Perpisahan pasti kejadian

Gedongkuning, 070405

Romantisasi Senja

1)
lagu-lagu memekak nyalak
olehmu, inilah rindu yang tak jua
layu; daun-daun kering diranggas musim
dan sungai-sungai malu mengalir

lagu-lagu rindu mengesampingkan kantuk
insomnia dini hari

tidurkan pejam, sayang, pejamkan rasa

2)
lirik-lirik melirik rona, kasihku
padamu; bunga-bunga mekar, masih wangi semerbak
dan berbunga manca warna

lirik-lirik romantisasi mengirim kumbara
tresna – selaksa beethoven gandrung

wujud ganda bermakna tunggal,
mari bercinta menggapai firdaus

(fatamorgana meradang saat singgasana
saling mengutup: perpisahan abadi)

Grinjing, 08042005
17: 17




Amuk Ombak
- catatan untuk mamak -

Amuk ombak datang menyerang
Dengan buih putih perak
“Hantam aku sebelum engkau keruh
Terik begitu jalang
Bimbang mengekang dari segala penjuru.”


Riak telah bercampur dengan pasir
Hingga ada kepiting bermesraan di taman seloka
Dikelilingi aporisma kaki langit
Mengail mimpi rembulan kasmaran
Dari sejarah yang mati rasa
Sebab begitu lama perjalanan cinta
Di antara keduanya


Angin laut menggiringmu mendarat
Kuselami kejantanan lewat payudara dari pasir
Pahatan khusus atas-Mu
Saat pejam berjamaah, gaduh malam buta
Mengabar kisah dan kesah
Pedih tebing longsor atau arga gonjang-ganjing


Terik basah peluh
Memanggang ekspositori
Anakmu lanang tak kuasa meratap
Segala mula kenangan masa kecil menambat
Sebuah samudra bernama rumah
Berombak gemuruh galak
Membuat paha dan punggungku terbakar akas
Sebuah prolog: persembahan dan cita-cita


Apa yang dapat kau banggakan selain semat di kepala
Perjuangan untuk pengabdian? Ombak itu tengah bersajak
Sebab asah, asih, dan kasih abadi baru kularung
Di pantai kumal, terbayang kaki langit kecilku
Melayang burung rantau di kejauhan nusa
Terbang jauh menyeberangi samudra, membelah bukit pasir
Dan ombak membawaku ke sini

Ombak itu adalah Ibuku!

Parangkusumo, April 2005


Mati Sunyi

Daun gugur pagi jelang siang
Jatuh telungkup di atas rumput jalang
Layu, luka terbakar fana
Hilang bentuk, pudar warna

Ia terbaring binasa
Meratap iklim yang mewabah nestapa
Dan pagi lari mengejar kalamangsa
Bak engkau yang enggan berbagi

Mati dari matinya, distorsi mati sunyi
Riuh bertudung matahari kesiangan
Kamuflase musim meniup sukma

Selagi kering menggarang stomata
Cukup beri ia istirah
Kita kan berbagi setelah ajal memanggil
: persistirahatan (kala masih lama)

C10.103 UNY, 10:05. 26042005

Hidup untuk Sebatang Rokok
: anhay

Pedut melilit-lilit
Tapi jua tak turun hujan
Hanya gerah yang merejang ranah puisi
Penyair baru, baru saja berfatwa
Membuncah lewat lidah

Abu yang kau tabur barusan
Memahat resah seisi rumah
Puntungnya mematung, prasasti tepi kali

Seberang dinding masih saja bising
Nyanyian atau lengking gitar tiada beda
Senantiasa memekak di palung rungu
Bermakna kognate di selubung malam
Menyelubung kepul dari moncong sang utopis
: kasihani ’dia’ yang coba meregang segala rasa

Asap membumbung rambah jengah
Kelabu mengukir bayang semu
Elegi setengah hidup, rekanmu
Hayatnya tinggal setengah jengkal
Dengan senyum nanar seakan dipaksakan
Terpuruk di sudut memecah ngilu
Hari-hari semangkin meretakkan kepalanya

Grinjing, 27 April 2005

malam gajahwong
– MEMOAR TELENGRIA –

simaklah dengkur arus
yang belum lama pulas
sebagai bunga sedap malam
yang semerbak sarat sajak
menepis birahi di remujung usia
siang pengantar kumbang kelana

ketika sejurus angin
saling menebas tangkainya,
benang sari gugur tak bersisa
petanda kita terakhir kali bisa bersyair
kau pun tampak kuyu
lantaran sepasukan arus membunuhmu

riak, oleh bening gemericik desahku
riak, songsong mimpinya
terjuntai di aliran ini
reroncenya bertempuran ke muara
galangkan sejurus gelombang
labuhkan sepasang bunga
yang belum sempat mekar di taman giriloka

satu satu kelopaknya mengikis batu-batu
melarung abu, langit kelabu
ketika sesaat kenangan tenggelam di tepian ria

Kledok, 02:32, 11 Mei 2005
A Rock The Day’s
: Daru

seorang pejantan gontai, mabuk oleh alunan
menggetar dari membran, seperti tetesan keringat
terengah mengiringi aku yang bersimbah darah
segala irama membahana dihentakkan ketika bulan separuh
marah di tengah gelanggang. ruang pun bergaung
oleh tangan-tangan yang enggan disungkemkan

aku mabuk akan bayang-bayang bertumpuk
(alunan terhenti sebelum lakon usai)
antara detak dan gertak di pergantian babak
gontaiku di antara liuk koreografi
tiruan tarian mengejek kedwimanusiaan
meraih lelah dari lakon sekian berproses
bakal disimakkan, perayaan kami waktu lusa
rujukan sejarah kelahiran berulang
dalam mabuk yang tangguh

Karangmalang, 17052005

Insomnia

Malam menguap
Binatang malam berdendang
Tentang lagu kesepian
Menekurkan diri dari imaji sejatinya puisi
Puisi ilusi menjelang pagi:
Kasih, sebagian hari menjenuhkan lakumu
Separuh kesalnya bercadar kefanaan
Barangkali penanda akan hidup yang lebih baru
Sebagai lukisan di dinding keluar sejadi-jadinya
Menjelma sosok hidup: penabur senantiasa
Membelai dan menapaki setiap mili tentangmu

Syair Tuhan tersiar di seberang ruang
Mengejek mungkin juga mengajak sebujur tubuh rubuh
Dan wajahku terpekur menatap mata
Yang membuyarkan igauan
Dalam kantuk terantuk di petiduran
Dalam sisa waktu mengalun rasa jemu

Dan lukisan di dinding
Masih menggantung dingin
Sedingin aliran sungai yang tak bosan-bosan
Menghanyutkan mimpi lelakon malam
Ingin bermimpi saat pejam mata
: gemericik riak masih berisik seperti derit batang bambu
kontras dengan deklamasi puisi-Mu

Grinjing, 02:40 18 Mei 2005

Mengukur Jalan

Barangkali jalan semakin jauh
Sebatas pandang, horison membentang tanpa haru biru
Dari sini kita menerawang
Seekor burung gagak menunggu mangsa
Sepasang muda teronggok di tepi jalan

Kita istirah dari jarak yang sama
Lalu melongok dari jurang yang sama
Hampir paripurna. Pelarian kita
Di sana…kita tadi bermula
Deretan cahaya menusuk pandang
Perjalanan mengikut arah angin ke selatan
Terdampar di tikungan percintaan

Udara di atas dan di bawah berebut
Kini kurasa ketinggian tak terbatas ukara
Sejenak lupa tugas yang sempat tertunda
Beranjak dari kesemrawutan bawah sana
Detik ke menit melintas padas
Sedang aku dan kasihku pernah menjalani hidup
Saat ini, saat remang menjamah gundah
Terlampau parah memanggang romantisme
Dari jurang kahyangan
Dan kau jalan terjal bukit malam, di tebingnya
Mendaki curam hati

Sesungguhnya kita mengukur jarak, siang
Dan malam

Gunungkidul, Juni 2005
Bila Bulan Kembali
– UN –

Bulan dalam hatimu kembali berbinar
Di antara deretan bangku berkarat
Di basuh malam sarat makna

Ria menyanding membawa ceritera. Kami jadi petutur
Dan bulan tersenyum hambar, hampir bersinggung dua sudut
Dalam rona mengembun dingin. Engkau
Tenggelam oleh serapah, begitu sayu dan lugu

Di meja ini kembali engkau bertaruh. Bulan tanpa cercah
Berselang di janggamu menghardik balik. Dia pun beranjak;
Pengharapan kian benderang bertabur bintang
Pandang bulan kemarin
Panggil purnama padamu
Segala mimpi bisa terjadi
: Hari baru berganti
akan ada lagi bulan baru

Bila bulan kembali esok malam dan langit menitip kerdip bintang
Selubungi awan putih, lindungi dalam pelukmu
Dan kenangkan dia dalam persidangan istimewa
Memoar Karangmalang membikin kampung melambung,
Melesat bintang jatuh membelah cakrawala
Lalu para pengiring ke mana perginya
Bulanmu terperosok dalam black hole menganga

Burjo, 080605

Ambang Fajar

Lelapkan rasa di bantaran sungi ini
Riaknya akan menggiring sajakmu
Ke pusaran kedung sarang buaya
Oposisi biner sepasang tulang rawan
Di antara hening dini hari
Sungi yang bening pelukis imaji

Alunan kosmis menyimakkan dendang
Tubuh kering lekang
Penyair telungkup di ambang
Seperti kucing kedinginan
Tinggal atis tak pasti
Mengantar secarik puisi
Untuk sublimasi mimpi

“Inilah kala seraut muka
enggan tiba saat lelap
melukis peta di permukaan bantal,” igau penyair ingusan

Sungai mengering
Hilir mati sumber
Aku dijerat syahwat
Betapa raga terasa papa

Mungkin mimpi
Atau entah istilahnya
Enggan berbagi; fantasi sepi

Grinjing, Juni 2005
02:30





Abimanyu

Aku kuncara
Di tengah medan perang
Di padang Kurusetra
Hajan panah seakan terhenti
(beberapa menembus pusara)

Dalam remang petang
Di tengah kungkungan
Kusaksikan tangisan sekaligus cacian
Mana kawan mana lawan
Seperti menghantarku ke haribaan Ibu Pertiwi

Grinjing, Juni 2005


Komplikasi

Dia sedang meregang kembali
Sekawanan enzim
Di sekujur rumen, asam lambung, dan amylase
Bersel jamak gerogoti hati
Tapi sampai kapan kau ajak isi perut berdendang
Tentang lagu kekosongan
Ketika aku hampir saja terbuai
Sedang kekasih bersambut sehati

Di aliran darah yang hampir tak berwarna
Tinggal kunang-kunang melukis mata
Dan bintang-bintang melintasi kepala
Membelah separuh tubuh
Yang kini telah rapuh
Selebihnya adalah jantung
Dan paru-paru tak beraturan mereka koyak
Sedang aku mual oleh bualan

Padahal sudah kuberi kau separuh hati
Tapi masih saja kau mencuri jantungku

Grinjing, 23:40, 19 Juni 2005
Pendongeng Malam = Nyamuk

Pendongeng malam tak pernah tidur, Kasih
Sedari tadi ia menganyam kata-kata
Menjaring mimpi dari angan terbuang
Yang membiarkan alam pulas dari kecamuk
Mengusir bising serangga dengan tepuk tangan

Dengarlah denging nyamuk jalang
Gemuk penuh akal busuk
Mencabik-cabik kulai tubuhmu
-- Takkan kubiarkan ia menggigitmu

Rembulan membelai dingin malam
Alam tertidur pulas
Bertabur bintang dan membentang jagat raya
Sedang di sini redup dari bilik, penat sekarat

Hampir padam lampu itu
Pendongeng malam mendekati daun pintu
Nyamuk datang mengetuk
Menghatur salam kepada alam
Embun baru saja membekukan sayapnya
Dari seberang sungai sebuah negeri dia berkunjung
Mengitari kumbara tiada bertepi
Pendongeng setia terus mengahantui
Mimpi-mimpi, hanya sebuah mimpi

Kita tak boleh mimpi di negeri kita sendiri

Grinjing, Juni 2005

Bekal Sebelum Perpisahan

Kasihku hilang
Seutas senyum dan kecup
Tuntas sudah

Menyisa bibir kelu
Yang kau pagut
Terluka
Selanjutnya air mata berderai
Tak tahu ia akan jatuh ke mana
Mungkin ke gundukan tanah merah

Grinjing, Juni 2005


Kulonprogo Akhir Juni
- RTY -

Aku kenali liku-liku
Garis persilangan penjuru timur kotamu
Hiruk pikuk di tengah Alun-alun tua
Pemuda berkejaran ke ambang arena
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya
Menggebrak nusantara

Aku perhatikan
Tugu atau prasasti namanya
Menghempas sanggul lukar kebaya
Di kampung pribumi
Tumpah darah dan aliri bantaran sungai
Untuk buangan mereka
“Ini adalah kota di mana engkau dilahirkan
di perbatasan, bangun dengan keringat dan hati suci
gelar kerja hidup matimu.”

Aku tapaki tangga tepi samudramu
Ketika kutatap kapal nelayan hanya merapat
Tak berlayar di antara rasi bintang
Ombak mengamuk di kedalaman samudra
Dan bulan mati di pelelangan
Selalu seperti hari berlalu
Nelayan sangsi memilih kuali berbalik
Dapur tak berasap







Di sini aku termangu
Menatap genangan hijau di bawah pandang
Kampung yang mencair
Sawah pun berubah bah
Sekawanan kampung tenggelam dalam bungkam
Sebab tak lebih lantang dan perkasa
Dari seonggok padas bertanda tangan

Tapi, Sayang
Cintaku takkan tenggelam

Juni, 2005

Sajak Sebelum Beranjak

Pantai menyeringai, terik siang ini menjambak
Seorang lelaki bercinta pada muara
Tapi samudra lebih menjorok pada daratan
Lantas pasir menghempas sampah
Dan menguburnya dalam-dalam
Dari situ tangga-tangga bersenggasana
Menjaring bahasa grafiti
Ayat jahil itu tereja suatu aksara
Di sebuah menara bernama cinta

Siang ini tak lagi ada caci maki
Tak ada kutub yang saling bersinggungan
Kat-kata menjadi pertalian makna
Sekalipun tali pancang kapal terpelanting sesekali
Tapi puisi sama kasihnya
Yang mengkohesikan katamu dan kataku
Sampai samudra kata mengering
Sebelum senja menuntunmu kembali

Jika cepat engkau beranjak
Sepasang bercinta bisa merangkai kata bermakna
Yang teronce pada sebait puisi

Glagah, Juni 2005


Tak Jelas Tuju

Sampai ujung mana jalan ini
Menyimpang pada rambu pertigaan
Pinggiran kota kecil itu
Bisikan ombak tak menusuk seisi karna
Karena hanya desing angin perbukitan
Di jalan lintas deru-buru
Bus antarkota antarprovinsi
Jadi bising
Kehilangan konsentrasi pada debur pantai, bisikan pasir
Yang mendesir seperti rambut kekasih
Sedang jalan tak ada ujung
Melaju tak jelas tuju

Kulonprogo, Juni 2005
Baron van Java

Ombak pantai
Hati tinggal sebutir pasir
Jangan sampai kecil hati
Kita ada karena kebesaran hati

Ombak berkejar gencar
Hadang laju perahu
Diterjang dengan dada lapang
Teriring tangis yang tersayang
Ketika Yang Mahasiang sembunyi di balik bukit
Lekas bentangkan layar
Angkat sauh
Agar senja yang temaram
Tak terhadang pasang gelombang

Sudah saatnya kita beranjak
Menuju biduk yang kita sewa
Hanya ini yang kita punya
Mungkin nanti bisa bermimpi
Kapal induk di belakang hari
Milik kita pribad

Gunungkidul, 2005
Warisan

Bunga kantil ujung kampung
Membuka lembaran petang
Ketika angin mmbuyarkan angan tentang bunga-bunga
Dan hitungan langkah di jalan setapak
Pekuburan tua itu
Berlarian angin pagi dan sore
Menghembus tanah merah yang menanti hari esok
Untuk siapa akan diwariskan

Tanah waris tinggal pertanda
Batu nisan menghias liang
Hilang
Rata dengan tanah dan pondasi
Disangga dari bawah
Oleh tulang-belulang yang kini jengah
Dan menguburkan mereka dalam diam

Metro, Juli 2005
Pasar Malam, Pandangan Malam

Atas nama kesepian, terbang bersama
Semburat hawa terang dari tepian tanah lapang
Di sana
Di bawah lampu pasar malam
Syair ini masih berkelana dengan kepak sayap
Ketika rembulan menjanjikan kehidupan
Dan kemarau pertengahan Juli
Membikin mlarat sebagian kota
Bumi terluka cakaran nasib
Melayang sosok kelas teri
Tanggal pertengahan, hati setengah lapang
Lubang hampir digali
Impian terlipat lembaran tahun
Hampir tiba masa tanam sebelum panen
Kapan bisa kubungkam jeritan kaki lima
Obral sandang dan kesenangan
Lampu pasar malam terbang berkejaran
Membakar lara, rengekan merajalela

Metro, Juli 2005
Syair Getir suatu Ketika

Syair getir ini
Lahir
Ketika layar kata tak lagi mengembang
Mengirim kabar dari surat cinta tanpa prangko balasan

Purnama berangsur pudar
Mega berarak menggugah resah
Ketika dendang malam mulai jengah
Mengiring lara hati
Hampir tuli oleh serangan kidung asmaradana

Syair ini lahir
Di rumah kata
Ketika kita, aku dan kamu
Terbang sana -- sini
Mencari bayang-bayang yang lari

Metro, Juli 2005
Cerita Perempatan Jalan

Dalam hitungan detik sambut tujumu,
Kekasih
Kapan kita terakhir terpisah? Hanya tangis lama
Waktu itu hanya basah pipimu menghujani tanah air
Di luar hanya ada malam anggarakasih
Hujan tangis baru saja pamit
Datang kemari. Datang kemari
Bawa tangismu sekali sja
Hanya gaung dari dinding gedung

Tinggal setengah jengkal engkau berlari
Sisakan keringat dan letih untukmu yang kini lumpuh
Sapa saja raga kering ini
Untuk tekat menapak angkara kemarau salah mangsa
Elegi terpanggang oleh panas ketiga
Hilang dalam periodisasi sunyi
Bersama alur laju langkahmu

Deru bergemuruh
Mungkin di sana menjerit tanpa rekan
Mencari sumber suara-suara asmara
Di antara dengkur bersambut
Berebut hidup di tempat berantah
Paripurna membelah hari-hari yang tak lama lagi

Jalanmu masih panjang sampai seberang
Galang hadang rintang
Bawa sepikul cita dan cinta
Untukku saja

Metro, Agustus 2005
Akhir dari Bulan Murung

Menyisir cahaya terang
Berlalu ke rontokan bintang
Sembarang bersinar
Di terawang jalang mati tanggal
Bulan murung
Merintih dalam pedih
Lebih perih dibanding sayat sembilu
Tajam bahasa puisi

Tanah membasah
Debu memancing cerita
Tapi kata tak terjaring pragmatik
Bulan bersembunyi di kerudung kelabu
Menunggu rekan hendak menghantam
Tampak murung dominasi sisa gerimis
Beulan dan bintang kelam
Kembali tenggelam dalam pelukan malam

Mungkin pagi akan menyeramkan
Sebab malam
Beringsut semakin pekat
Angin sesekali menyibak tabir
Kemana akan dibawa lari
Tapi jangan kau bawa lari puisi cintaku

Terban 455, September 2005
Penjaga Rumah Cinta

Kembali rengek yang manja, membuncah nadi
Pertengahan malam, pagar kuburan dan kemilau batu nisan
Engkau pun berlalu dari pelukan, berpaling pulang

Rumah siapa di sana
Penjaga rumah cinta
Di hamparan ilalang
Risik gelisah
Terbangun dari mimpi memandang sepertiga malam
Kesepian sementara. Fajar pagi menggelepar, terpercik muka siapa
Menyentuh hati tandus
Dehidrasi kecaman musim
Dan perlahan menghantar ke peraduan
Seperti kata-katamu sebelum musim kering menjenguk
Hari-hari berbalut luka
Oleh ranum buah dadamu
Memerciki tanah gersang menjadi sajak terpendam

Berapa lama lagi
Bila jalan tak lagi menikung
Akan kusongsong rumah berpenghuni belahan jiwa
Jiwa yang papa semoga diteduhi
Di bawah atap, di bawah jendela
Angin menyapa wajah hari tak berperangai
Sejengkal dari batas lagkah
Jarak antara kamu dan aku
(sendiri mencaci sampai pagi kembali)

Terban, September 2005
Purple Rose

Adegan tangis, kuncup tersipu
Tersapu
Membanjir jambangan
Kelabu, bukan pot
Hanya pispot dari kubangan bernama paru-paru

Ungu atasmu jibaku oleh bisu cintamu
Sesaat
Mawar-mawar itu kupetiki satu persatu
Berpasang dengan puntung dari moncong
Pembuangan akhir
Yang semerbak di lekang waktu

Tiada bungaku
Tiada kuncup ungu di ruang perhitungan
Seluruh tangkai menjadi kawat tembaga
Serupa antrian di sepanjang rentang yang jalang
Lalu mereka lumpuh
Terbakar sebatang-sebatang, dari cinta
Yang tercecer di jalanan
Sebelum kuncup mekar berbagi wangi
Trotoar tempat aku barusan berpijak
Kehilangan jejak
Seketika terhenti membelah kebohongan

Pada sebuah asbak yang ditumbuhi bunga-bunga
Tak akan pernah layu
Meski bunga berkelopak tapi tak merebak, tak juga bersajak
itu hanya bunga plastik

Klaten, 27092005Drama Sebabak
EA1

Kalian membara di selingkung puisi
Alienasi waktu
Cibir selubung hari
Vokal eksodus wajah-wajah baru
Ekspresi tak semestinya
Drama komedi yang mudah terpahami
Tak seperti bahasa puisi
Setelah teriakan demi teriakan membahana semesta gelanggang

Memang aku salah
Tuli oleh bisikan atau telepati jaman
Saat puisi tumbuh di kata hati
Serumpun belukar kuterjang dengan parang kata
Dari sela rentang waktu dan tirai bambu
Yang terhempas di ujung penantian
Begitulah, dering beriring, rindu dan curiga bersatu
Mengendap dalam kerapuhan batu
Sementara tanda baca dari bias cahaya
Memparafrase sebuah makna paling sederhana

Bahasa rona samarkan sisa tangis atau senda
Oleh siapa? Tiba-tiba isi kepala terurai
Ribuan puisi berjatuhan oleh prahara beberapa hari

September, 2005


Jurit Malam
idl&ds

Dari alur kali
Sedari siang yang meriang, dan mereka lupa pribadinya
Di jalan batu, pematang, dan arus
Berpenghuni sekawanan rekan tak kasat
Datang memberi isyarat
Di jurang nurani
Melamun rembulan
Memojok dara seorang diri
Khayalmu kosong. Tak merejam kata
Tinggalah raga yang jatuh di kungkungan
Tapi igauan mengalahkan panggilan
Lalu berpasang mata tertuju padamu, ayat kursi turut menyambut

Yang sakral itu
Senantiasa mencipta keangkuhan
Dari sekeliling, beribu bulan sabit membabat kisahmu
Ayat-ayat bersahut dan berorang-orang datang
Dzikir tiada akhir, mantram merejam
Selongsong sajak mendeklamasikan iman yang ringan
Jeritan angin menggelepar bayang
Kematian senang padamu
Menempel di kegalauan hati

Ketakutan melukiskan pemandangan ngeri
Imajinasi dini hari yang hangus terbakar jerit
Mereka kembali datang dan ceracau semakin kacau
Ia berkisah tentang buih yang membawanya hanyut
Dan kami pun berkenalan, tapi hanya ilusi
Segelas air terpercik sebuah nama
Dan kamu lupa, padahal baru saja kalian bersatu dalam pilu

Babarsari, 2005Memoar Blue Screen
: groh/teew

Maka itulah warna yang terpasung dari umpatan
Di awal musim. Langit di luar tak pernah membiru
Baru sesaat bola mataku juling karena dering
Setelah mendung dan rerintik istirah sejenak

Kupandangi lagi manik cahaya sebuah wajah
Di penghujung tahun yang basah
Penampilan biru menyilaukan sepasang mata, tak terpahami

Ajarkan aku akan hanya
Warna-warna
Bergantilah, dia rindu yang lain
Hanya hujatan menyita waktu
Retina membatu, sudah habis sabar
Lelah lepas cabar
Saat kita menanti tak pasti
Mungkin tak akan mesti purna-sempurna

Kalau saja wajah membiru itu secarik puisi
Tentu bertuliskan bahasa keindahan
Sebab, semakin tak tereja. Tak lagi bertanda
Pun makian, seperti angin yang kita bawa. Menghembus
Hempas dalam pandangan

Gayam, Desember 2005
Hingga Jika Teh, Hingga Jingga

Aku biarkan sepoi angin
Meniup kaca jendela
Menuangkan isi gelas
Senja kecewa
Gerimis tak kembali
Geram menyala yang jingga
Mentari berlari dari singgasananya

Sayang, ada kelesuan
Merambah marah, memecah sepi sesaat
Tapi jengah mengajaknya beradu kata
Ajak bersajak
Ajak jejak pendapat
Segala sesuatunya menjadi benar-benar ramai
Gemeretak, menahan nafas
Sesak menjejak
Di luar ramai rekan. Di dalam mendung tak berkeputusan
Kian membatasi pandang. Langit retak pada retina
Lalu metahari runtuh terseret dalam halimun pekat
Seperti ujaran dari bibirmu; apalagi lancing
Pada sobekan sajak pemberian, seperti retakan gempa
Pada kedalaman hati. Tak ada yang dapat dipahami

Ketika ada pelukan di penghujung malam dan isak berapi
Termangu tanpa pengadilan batin
Semua seakan membuncah ranah puisi
Menyulut kesumat (hanya diam). Tapi, aku juga berjelaga

Terban 455, Desember 2005
Masih Belum Juga…

Sudah bedug subuh
Bola mata merajalela
Mencatat tiap rintik hujan di atap
Pada kata yang masih buram
Menanti fajar datang menghampiri mentari

Langit tetap legam
Oleh segumpal harapan
Agar ia mau terpejam
Karena malam belum padam
Terang benderang di cabikan sajak
Di tengah kungkungan arwah yang kini berlarian
Ditikam isyarat tuhan
Dengan luka mata sang penyair

Hingar-bingar hampir terdengar
Cerita yang itu-itu saja
Kemacetan, pengemis, pengamen, dan lalu lalang
Kataku tak lagi berakal lagi
Entah…
Di ujung kata-kata
Detak arloji menjelma tarian angkara
Di selubung malam, tadi
Bagi seberkas sinar yang tertanangkap kornea
Tak mampu terpahami oleh kegilaanku
Yang kini tinggal terjaga

Terban, 17122005
04:20
Arbitrase Pinang pasang
-amree-

Rembulan terkencing di pelukan
Desah menghempas, ombak beradu karang di lautan
Dan, tak ada yang peduli
Dari serpihan papan; dipaku sebagai dinding sepasang
Sampai menggelepar dalam. Dalam…

Engkau lahir tak genap
Sebab kau pinang bunga mayang ke ranjang bambu
Di balik kelambu salju sebagai taburan bintang
Dari sana mimpimu mengarung
Susuri samudra, menuai badai, langit bergemuruh
Yang berasonansi dengan getaran kalbu
Entah siapa melempar sauh; raih kemudi ke dermaga

Seperti juga hidup mendendang desah
Harmoni sekejap kolaborasi. Pelayaran belum sampai amuk ombak
(masih mahaluas)
Ada yang memasang gelombang pada tiang pancang
Bahtera baru saja bongkar jangkar
Lalu kau terbangun dari mimpi
Dan kau telusuri panjang dermaga
Mengisahkan benih dengan musikalisasi
Seribu notasi tak terpahami

Pantai masih jauh, teman.
Dari daratan sini kami menerawang
Kehilangan kaki langit puncak layar

Yogyakarta, 23 Januari 2006
03.18
Purnama Merah Jambu

Seberkas sinar menerobos tirai
Ia berbagi kisah dan desah
Pada dinding basah senyap disekap tanya
Berapa kali kita bercinta?

Purnama membuncah tanah merah, sebab terlalu angkuh
Gelapnya menggelapkan akal puisiku
Kata-kata semakin tak beraturan menjelma bintang sombong
Tak ada baris kata tereja. Hilang tanpa rupa aksara

Purnama merah jambu mengirim kado buatku
Sebuah lukisan tentang malam yang itu-itu saja
Kadang terang kadang mendung
Sepi bintang sepi puisi
Seperti bulan ini, aku mati metafora
Tak tertulis sajak melankoli
Ketika imajinasi dan fantasi sepi
Di hadapanku purnama terpantul di cermin
Sungguh angkuh tak seperti kekasih
Yang tadi habis berkasih, terpuruk di belakang pintu
Membenamkan mimpi. Sedang aku masih bermata jalang
Semalaman merangkai puisi sekadarnya
Buat kekasih sepasang yang bertukar cinta

Kupetik setangkai bunga mimpi
Akan kupaketkan cinta dan rindu buatmu
Tahun depan. Ketika kita tak lagi sama-sama punya mimpi

Terban, 02:00, 14 Februari 2005Cipta Hening

Desah dalam dan liuk tengah malam
Lereng longsor dalam meditasi telaga sunyi
Sedang berpasang di seberang sedang meregang
Ranjang menggelinjang
Dendang katak berkubang
Saling terjang, saling tumpang

Tenggelam di balik selimut
Ada sesuatu yang berserak
Seperti kapstok, lelah menyangga nestapa
Sehelai demi sehelai berjuntai
Jatuh, lebur pada batu-batu itu tubuh
Tinggal decak cicak memekak ruang mimpi
Yang melelapkan aku, kau, juga mereka
Sampai lupa rumah hati diri sendiri
Sebelum esok pagi menyisir turun kembali

Malam sempurna hening
Yang mencipta lelangit dan sorga buat mereka
Mungkin neraka bagi kami

Kaliurang, Maret 2006
Bukan Tapi, Hanya Karena

Daun pintu enggan terbuka
Kamar berjelaga
Intonasi rendah penuh gairah
Malam sedingin tak kuharapkan
Bukan tangis pilu kehilangan air mata
Yang terbendung dua sungai semuara
Anak yang hilang
Dari kerangkeng
Tatkala diberi sedikit jarak dan ruang dari semang
Tidak buat merangkai angka dan huruf
Tapi, hanya notasi ganjil di gigil malam

Udara yang mendidih; sedang di luar halimun turun
Dan peluh beradu peluh
Sekelumit kata, decit kursi derit
Erang yang jalang
Memanggil langgam malam
Dari segala gelombang hawa dan suasana
Sisa asap pengap
Puntung mematung dalam asbak
Gelas berbekas dengus
Bukan seperti basa-basi biasa

Segalanya berkecimpung
Suara itu bahkan tambah syahdu
Aliran posmo
Sebuah sungai menggiring gumpalan rindu
Hingga muara kata membentang puisi
Lautan mengangkang tubuh lusuh
Milik kita sama karenya-Nya

Kaliurang, Maret 2006
Mati Listrik

Malam gusar
Luput dari tegangan Sang Mahastroom
Sebujur pohon menindihnya kesal
Rerontok daun hangus puas menampar-nampar
Sedang sedemikian sunyi gelanggang
Sekalipun sekejap mencari memori
Di luar begini, mana kepala mana kaki
Gelap mengakap seisi cakrawala
Bergejolak suara angin
Aku kembali melukis mata kucing
Hingga gelap langit kelam
Embun menantang bulan bersarang
Sebagai permainan penghujan
Tapi ada gerah di tiup waktu berlalu

Gerimis membawanya ke sana
Lantas aku amblas tanpa nyala, juga nyali
Dan kusimpan bulan dalam pelukan hujan

Karangmalang, Maret 2006
Pasukan Berani Mati
:tukang becak alun-alun

Senja kelana menyerbu sebaris harap
Kaki telanjang, kaos oblong basah peluh
Mulut mengerucut tawarkan keluh
Riuh dan hanya riuh dijeritkan. Selebihnya merintih
Pengayuh tua merendah tangguh
Ia senantiasa hidup dari pedih
Ditatap mereka satu-satu sambil angluh
Bumi enggan menyempatkan ruang
Sementara ajakan dan rayuan
Mesih kalah lantang sedan lalu-lalang

Makna tak lebih sebuah anggukan
Mungkin sekedar puiitis atau sarkasme tak peduli
Demikian, terlena oleh hura-hura pengembara

Kratonku tak lebih seperti rumah singgah bagi mereka
Jiwa-jiwa pasrah, tapi tak menyerah kalah
Kegaduhan yang hampir serupa, sebelum dan sesudahnya

2006
Sajak Ulang Tahun Kita
: 11 Mei

Bias senja di penghujung hari paling tepi
Rona jingga di langit gedung tua kota lama
Sebabak skenario tuhan menggiring kita
Bahwa tak selamanya bisa bersama
Di sepanjang jalan, alun-alun atau tiap sudut kota
Biar saja kau kenang esok siang
Jika langit tiba-tiba menggelinjang lantas hilang
Dan kita saling pandang dari jarak berbeda

Di sebuah taman
Lampu mercury terang di awang-awang
Pohon ranggas menyiluet bangunan peninggalan
Mungkin kita tak lagi bisa ke sana
Menyaksikan geliatnya, lalu lalang, tapak kaki kuda
Yang siap mengantarkan kita ke peraduan paling mulia
Singgasana-Nya
Lalu kita terpaku di antara beringin dipermainkan angin
Perlahan hembusan berhati nyaman menyibak tiap helai rambutmu
Dan senja memerahkannya seperti turis itu

Kita tapaki senja untuk kali ketiga
Sekawanan pengamen, pengemis, gelandangan kecil
Mencoba menopang pada jalang
Jalanan ditumbuhi paku bumi yang keji
Kemana ia akan mengalamatkan kaki
Sekeping-sekeping melayang untuk sebuah piring
Agar tak selalu berdendang kosong, begitu juga hati kita

Kota tua tempat menjalin suka dan gulana
Berabad-abad memahat budaya mengukir cinta
Menulis puisi dan ceritera pada kanvas,
tembok pagar atau kursi taman
Tempat ia berakar. Sajak cinta menerjemahkan semerbak polusi
Yang bising suara, jengah dicerna hingga aku kamu
Tak bosan berseteru di benteng jati diri

Aku ingin menyemarakkan sajak di trotoar
Yang dipenuhi tikus dan kecoa
Sambil sesekali mengenang ramah-tamah sambil menjamah
Gemah ripah yang hampir rapuh dan separuhnya roboh
Sampai sajakku terjatuh dalam sejarah
Sebab puisi cinta kita tak akan lagi bisa tumbuh di sini
Sampai jumpa di bait puisi yang lain

Terban GK V, 2006
Lanskap

Pemandangan yang itu itu saja
Sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Horison yang kadang hitam buatku
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya menggebrak nusantara

Tugu atau prasasti namanya menghempas di kampung pribumi
Tanah resah bersimbah darah
Banjir darah, jadi bunga seloka
Di kepingan sejarah dan pematang sawah
Darah di gurat-gurat tanah merah
Telah tumpah menjadi buih yang lahir dan hadir
Tumpah darah aliri bantaran Code
Dan diberi tanda, derita juga kefanaannya
Untuk buangan mereka
(anak kecil itu mungkin lupa bahwa yang dikencingi adalah
aliran darah pahlawan)

Lembah Code, 2006