Ada Nama Tertulis di Sana
Bersama: Groh, Gunt, Oct, Jesic, n Bom’s
Bulan tak tampak beberapa malam terakhir
Sebab bual-bual tanggal
Di hamparan berdebu
Di tepian yang terlalu
Kutulisi namamu agar ada sesuatu tertinggal
Sebelum kami berpaling langkah
Merejang gamang
Terjang berpasang. Pasang
Debur ombak dan hembus udara
Takkan menghapus yang itu
Luruh di antara beribu
Sajak cinta dan puisi yang tak pernah selesai
Petang di lintasan pekan seumpama
Pantai sunyi cerita bercinta
Saat tereja sajak nelangsa
Tangis atau canda tiada beda
Ratap kebisuan desir pasir tepian laga
Lari menghindar dari arena
Halang embun menyublim duka
Selubung muram buram malam. Selebihnya
Tak akan basah ujung pengharapan bila saja
Tabir menyingkap; badai menggalang
Gelombang digiring bergulung
Terdampar di selangkang karang
Tersisih dari haribaan pertiwi. Sedang
Aku enggan pulang kandang
Singgah segala sanggah meradang
Mencekat mimpi lain lagi yang senggang
Menunggu bila bulan kembali datang
Ramai rumpis. Tapi, aku sendiri tanpa kadang
Mungkin esok akan datang
Menemani rasi bintang sejagad
Sebab bintang renggang mengawang
Kala angin menapak perlahan
Dalam sunyi kedalaman
Lalu aku, tinggal sisa pandang mata
Dan sederet aksara hamparan pasir
:
Ada nama tertulis di sana
Ada hidup yang tak hidup
di sana pula
Parangtritis, Juli 2008
Arsip Blog
Bukan Cinderella Kemalaman
Bukan Cinderella Kemalaman
: Devi Shita Andriani
Adalah sebuah babad
Dari enslikopedia penghantar lembayung sore
Untuk kubaca isyarat padamu saja bila kau sukar kerjap
Mata berpesan sebagai media simpul dari seutas temali
Akan kubaca isyarat dan tanda hingga tandas
.
Sedari peri berpesan pada si jelita
Isyarat kata kala masa berpamit pada pesta dunia rekaan
Agar tak kau langkahi hari dengan sepatu kaca sekian abad
Sebab akan pecah sebelum masa mendadar
Sebab yang sepasang itu retak memecah segala sangsi
Cerita cinta seberang dimensi dan derita lorong usia
Pecah sudah menjadi pilihan tanpa sisa santapan
Untuk pangeran dan pejuang yang mungkin enggan berbagi
Baru saja kunikmati jelitamu sesiang itu
Dengan tepekur dalam ruang matikutu
Oleh sesuatu yang ditunggu tak balik padamu
Kisah baru yang baru saja tereja kata
Tersisih dari bayang lembayung senja, selanjutnya
Bulan memangkas separuh malam
Yang kabur dari warna gemintang bintang
Sebab lelangit menepis kisahnya sekejap
Kasih terpadam seketika detak takdir menghentak
Rasa dan logika berkolaborasi. Simpan saja
Mungkin saat berikut akan sempat kau rajut
Cerita di rekah tanah. Regang segala bimbang
Pandangmu lengkung menelikung
Matamu sembab terjerembab rintik isak
Yang mengambang di jambangan bimbang
Kutatap mata itu dan kusapa sekian laksa
Di antara depa jumpa masa yang lekas melaju
Pagi pucat pasi; pagi melukis puisi sepi
Adalah tentangmu, perempuan seanggun salju
Sehalus hembus udara. Jenjang mengangkang tak jalang
Rentang kesempurnaan mahakarya yang terpahat gelisah mega-mega kepedihan. Lewat bilah sembilu; tepat menyayat untuk kali ke berapa
Di antara sunyi cahaya merenungi sangsi
Yang berserak di gugusan lanskap panggung drama kali ini
Gemulai gadis terpuruk di hamparan isak
Dan risak mengaburkan kabur malam. Semakin tak jelas barangkali bisa
Kau tapaki babak percintaan shinta .Sebelum sampai ke seberang senja Berikutnya. Setiap hamparan yang kau tapaki adalah cita yang kelak Sampai di penghabisan. Lalu episode yang lain lagi akan mengubah kisah Asmara rama-shinta yang tak akan jadi dongeng semata
April 2008
: Devi Shita Andriani
Adalah sebuah babad
Dari enslikopedia penghantar lembayung sore
Untuk kubaca isyarat padamu saja bila kau sukar kerjap
Mata berpesan sebagai media simpul dari seutas temali
Akan kubaca isyarat dan tanda hingga tandas
.
Sedari peri berpesan pada si jelita
Isyarat kata kala masa berpamit pada pesta dunia rekaan
Agar tak kau langkahi hari dengan sepatu kaca sekian abad
Sebab akan pecah sebelum masa mendadar
Sebab yang sepasang itu retak memecah segala sangsi
Cerita cinta seberang dimensi dan derita lorong usia
Pecah sudah menjadi pilihan tanpa sisa santapan
Untuk pangeran dan pejuang yang mungkin enggan berbagi
Baru saja kunikmati jelitamu sesiang itu
Dengan tepekur dalam ruang matikutu
Oleh sesuatu yang ditunggu tak balik padamu
Kisah baru yang baru saja tereja kata
Tersisih dari bayang lembayung senja, selanjutnya
Bulan memangkas separuh malam
Yang kabur dari warna gemintang bintang
Sebab lelangit menepis kisahnya sekejap
Kasih terpadam seketika detak takdir menghentak
Rasa dan logika berkolaborasi. Simpan saja
Mungkin saat berikut akan sempat kau rajut
Cerita di rekah tanah. Regang segala bimbang
Pandangmu lengkung menelikung
Matamu sembab terjerembab rintik isak
Yang mengambang di jambangan bimbang
Kutatap mata itu dan kusapa sekian laksa
Di antara depa jumpa masa yang lekas melaju
Pagi pucat pasi; pagi melukis puisi sepi
Adalah tentangmu, perempuan seanggun salju
Sehalus hembus udara. Jenjang mengangkang tak jalang
Rentang kesempurnaan mahakarya yang terpahat gelisah mega-mega kepedihan. Lewat bilah sembilu; tepat menyayat untuk kali ke berapa
Di antara sunyi cahaya merenungi sangsi
Yang berserak di gugusan lanskap panggung drama kali ini
Gemulai gadis terpuruk di hamparan isak
Dan risak mengaburkan kabur malam. Semakin tak jelas barangkali bisa
Kau tapaki babak percintaan shinta .Sebelum sampai ke seberang senja Berikutnya. Setiap hamparan yang kau tapaki adalah cita yang kelak Sampai di penghabisan. Lalu episode yang lain lagi akan mengubah kisah Asmara rama-shinta yang tak akan jadi dongeng semata
April 2008
puisi thun 03-06
Stasiun
Di stasiun ini
Raga-raga lungkrah bersandar
Mencoba gambarkan indahnya hari esok
Bercanda di stasiun sana – sini
Merajut seribu cerita cita
…
Di ujung rel itu
Itu adalah stasiun terakhirku
Cirebon, 14052003
Ziarah
Di kubur ini aku bersimpuh
Menepi,
Siapa sangka ada bisik serapah
Asap mengepul berjuntai
Jerit lengking:
Ini jangan dimuat di koran nanti akan jadi buah bibir
Lab. Karawitan UNY, 28 Mei 2003
Sendiri
Tiap malam memikul sunyi
Tanpa teman
Dan angin yang menggantung
Di atasnya atap itu berbisik
Kenapa selalu sendiri?
Rembulan muda tampak sedih
Lihatlah!
Air matanya mengucur deras
Hidupnya tersangkut
Di pucuk pepohonan berduri; gundul
Tanpa dahan dan dedaunan
Tiap malam menyendiri
Memikul sunyi tanpa nyali
Lalu KAU dimana
Saat ini ketika aku sendiri?
Metro, 2003
Cerita Malam
Malam temaram
Mega tersilap mendung bergelantung
Aku bengong pikir bingung
Angin malam hembuskan gigil
Semilirnya malam tiupkan nestapa
Malam,
Tubuh goyah rebah
Hati semakin pilu
Gelap dan kelam
Tanpa cela untuk sinar menyapa
Manisnya bibir kecupkan duka
Malam,
Mega kelam sudah tersingkap rembulan merah jambu
Hancurnya hati mulai tertata
Bagai merajut benang sutra ungu
Gejolak hati sirna
Penuh berkah Yang Maha Kuasa
Metro, 2003
Cinta 1 – 5
Dewi Kunti hanya bisa menangis bukannya senda
Ketika Karna sewaktu gerimis di padang Kurusetra
Datang dan melempar tanya
Soal sesal yang kekal berkerak di telinga;
“Wahai Sang Ibu berputra satria utama,
Apakah makna cinta sejati
Jika hanya tersimpan di hati.”
Suryatmaja berlalu ke medan Bharatayuda
Meninggalkan pertanyaan keras bak batu berkarang
Dada sang ibu berdegub seraya
Di tengah pintu
Pandangi senyum Surya yang tinggal bayangan
Metro, 2003
Catatan Malam
Menengok kebun belakang
Dari lubang kunci
Ular belang menelusur gerumbul ilalang
Pemandangan itu terlihat indah
Bagai lukisan tiga dimensi
Penuh misteri
Metro, 2003
Lilin & Hati
Sudah hampir padam
Sebentar lagi pasti padam
Dan situasi kembali sunyi
Tapi jangan kau halangi jalanku dengan kilaumu
Karena kobar hati lebih terang
Lebih dari kobarnya api
Metro, Juni 2003
Jika Kau Tega
Biar saja kelelawar datang sore hari
Itu hatiku mencoba mencari
Yang lama lupa diri
Memang kau lupa
Tapi aku masih menunggu
Membuka pintu
Kapan saja kau pulang
Masih pagi ketika itu
Dingin merasuk dada
Hujan rintik mengelitik
Membuka lamunan jauh menerawang
Lalu aku,
Hatiku terasa tersisihkan
KAU!!!
Biar saja kelelawar tiba sore hari
Mengepakkan sayap lebar-lebar
Itu hatiku yang runtuh
Karena tersirat kabar
Jika kau tega menambah lukaku jadi pilu
Untuk kali ke tiga
11062003
Suara Kesederhanaan
: buat tw ”ungu”
Tiap malam kutulis ucapan kasih
Kukirim lewat embun dan kibasan
Kupu – kupu musim kemarau
Semoga terbuka jiwamu
Jika cinta itu putih suci bunga melati
Lihatlah dinda
Tak ada cerita jika cinta berharga harta
Karena cinta tetes darah
Meneteskan seribu getar
Mengambang di pelimbahan jiwa
Laksana teratai ungu
Berjuntai di taman Kahyangan Cakra Kembang
Mari ke sini dinda
Terima rasa rindu
Metro, 22 Juni 2003
Samudra Hati
buat seseorang yang duduk di sana
Detik…menit…jam di samudra
Tlah kuarungi
Tapi tak ada gelombang menghuyung sampanku
Tak ada semilir angin
Yang dapat menghempas kapal berbendera perang
Menuju pelabuhan-Mu
Pelabuhanmu tak tampak di pelupuk sanubari
Topan badai bergulung nun jauh menerawang
Terbesit di horison jiwa
Untuk menyongsongnya
Selat Sunda, 1 Juli 2003
Jika Angin
Jika angin berhembus ke barat
Aku kirim secarik
Kepada engkau, oh Jakarta Kota Metropolitan
Kapan bundaran HI jadi sepi?...
Jika angin berhembus ke timur
Aku titip tanya sekali
Kepada engkau, oh Jogjakarta beragam budaya
Jika ingin disebut Jawa
Apa harus selalu pakai surjan?...
Jakarta ~ Jogja, 2 Juli 2003
Wadam
Seseorang
Lelaki yang telah disuntik Betina
Menghampiri aku
Tatkala menyepi di tepi Ferry
Merinding bulu roma
Saat kau menyapa
Terbirit aku putih mata
Bagaikan Gerwani
Melempar batu acungkan tangan
Meninggalkan nyeri di hati
Apa maumu?
Putra Remaja, 020703
Korban Bercinta
Bermula Bhisma bersenda lalu bersendawa
hingga terlepas panah dari gendewa
Jadikan Amba meraba pusara melepas sukma
termakan sumpah Bhisma dengan Dewi Gangga
“Aku akan menjemputmu wahai putra Gangga.
Kelak masamu ‘kan tiba
dari busur senopati putri negeri Amarta.”
Hal itu terdengar oleh Dewa dan tersabda
Bhisma tersedu bersujud di samping jasad membeku
Cinta Amba pupus karena budi
Terban, 3 Juli 2003
Progo
:catatan malam penghantar masuk angin
Menunggu penuh haru hingga paruh waktu
Di barisan kosong bangku-bangku yang sesekali
Mengajak cacing dan asam lambung
Mendendang tentang arti kekosongan
Dari jauh,
Deretan besi, jajaran baja penghantar kepulangan
Menelusup dalam pelukan bulan sabit
Semakin lama makin membikin sakit.
Perutku mulai menyusut
Ketika angin mulai menusuk perlahan
Menerbangkan sajak cinta dan puisi
Yang tak akan pernah selesai
Kutatap sosok itu satu-satu
Melintas dalam buram malam
Datang ~ berhenti sejenak ~ lalu pergi lagi
Sepertinya tak pernah menyapa apalagi membawaku ke sana
Setasiun pungkasan, pemberhentian akhir
……………………………………………
; ada perubahan jadwal pemberangkatan karena
kemarin beberapa kali terjadi tabrakan kereta
st. Kutoarjo, 2003
Hanya Bertanya
Tolong jawab, Langit!
Bintang timur yang menggantung itu
Di mana tempat jatuhnya?
Karena memancar dalam ranum malam,
Akan kucari di mana Parikesit,
Satria piningit
Parikesit atau Dewi Sri
Telah lama meninggalkan negeri ini
Engkau tahu!
Hamparan sawah tinggal cerita
Tergusur gedung-gedung menyilaukan mata
Langit , tolong jawab!
Apa Tuhan masih mau temurun
Menyaksikan padi-padi yang meriunduk lesu
Memendam derita sepanjang mangsa?
Jogja, 170703
Dunia Sofie
Duniaku-duniamu
Duniamu duniaku juga,
Dulu
Aku punya sehelai benang sutra
Sayang, telah kusut
Sebelum sempat kurajut
Tapi,
Bubur itu mungkin belum basi
Cepat lekas panasi
Dibumbui lagi;
Bubuhi santan dan gula biar manis
Seperti hari kemarin
Kini tak hanya basi
Karena telah tumpah
Mengguyur kerudung warna ungu
Muara syahdu, sayangku
Piss forever to you
Terban 455, Juli 2003
Risalah Daun
Daun hijau warnanya
Akan kucari jika ada yang tak berwarna
Kunanti ia di seberang senja
Seketika menitis di sela stomata
Menguak fajar silih berganti
Tersapu sinar mentari
Menyingsing di horison mengharu biru
Digiring gelombang bergulung
Terdampar di selangkangan karang
Menyisih dari haribaan ibu pertiwi
Sendiri tanpa arti
Angin pantai mengibas hijaunya
Terbakar nestapa bagaskara
Hingga hijau bergradasi jadi kelabu
Tiada berharga, hanya tersisa ratap
Iri mengerling daun menghijau
Ranting bakau berkaca samudra biru
Bakauheni, 2003
Anggap Saja
Anggap saja mendung akan turun
Menitikkan gerimis atis
Walau belum karuan turun sebab ditolak dukun
Jangan kau anggap rinduku akan terhapus hujan November
Karena masih ada terik mentari
Anggap saja sakitmu akan sembuh
Walau engkau tak tahu obatnya
Karena sehat nikmat dan anugrah
Anggap saja Gunung Merapi akan meletus
Walau tak tahu kapan terjadi
Mungkin ada yang menghendaki
Dan, bukan gunung jika batu-batu di lereng dapat ditambang
Habis!
Metro, November 2003
Suara Hujan
: pbsi uny 01
Aku rindu suara hujan
Gemeritik memecah, mengusir sepi
Tuturkan wahyu terucap
Ada yang akan datang di ujung petang
Aku benci suara hujan
Air menitis dari atas genteng
Berlimbah mengguyur rumput ilalang yang tampak gelisah
Karena tabir tersingkap badai
Aku rindu suara hujan
Ia mengingatkan mendung dan kilat menyambar
Melambai, menanti
Ketika kita harus pulang
Kembali
Metro, 2003
Ihwal Tikus
Tikus-tikus masuk lumbung
Bersantap beras terkuras amblas
Meninggalkan sisa lubang di belakang
Tikus-tikus merambah sawah
Merambas padi rantas di lahan petani
Sisakan tepian-tepian ngeri
Ratu tikus di barisan terdepan
Sebagai teladan
Tikus-tikus gendut berisi
Diasuh, ditimang, dibelai obsesi
Meninggalkan tangis anak negeri
: Mau makan apa mereka nanti
Metro, November 2003
Sehelai Sajak Pamungkas
: tiwi_ungu@yahoo.com
Kutulis untukmu, Yang
Yang tampil beda dari sajak lalu
Yang keluar ketika pulang sembahyang
Setelah kian tenggelam dalam kenangan
Kucoba memulung sepasang-sepasang
Sobekan senyum yang tercecer sepanjang jalan
Jika tak lagi tangan bergandengan
Kaki tak lagi melangkah seiring jalan
Di antara sepasang senyum itu
Kulihat lautan api membara di matamu
Sinarnya mampu membakar kapal di galangan
Teriknya mencubit sakit kaktus haus dan kekeringan
Tak akan kumuntahkan pahit
Ini
Sampai lidah bisa menjerat
Hati
Di sini
Dalam sepi hampa di dada
Masih ada sehelai sajak pamungkas
: nantikan aku hingga ujung purnama
Metro, 281103
Awan Putih Domba
Awan putih domba
Mengintip pemandangan pilu
Di balik pintu rumahku
Hantarkan syair yang kuterima
Ternyata tumpah tanpa sisa
Awan putih domba
Awan yang dijajah terpenjara
Untuk memerahkan darah
Memutus nadi hidup-mati
Awan putih domba di atas di dalam
Kolam merona merah padam
Lewat embun pagi aku pamit
Sayup terdengar suara menjerit
Puisi-puisi luka akan tetap kubaca
Sampai senja gemilang tenggelamkan hampa
Dunia adalah nyawa angin malam
Halangi embun pagi meneteskan duka semalam
Tak akan basah ujung pengharapan
Awan putih domba
Berlari mengejar matahari
Metro, 2003
Menyulam Cahaya
Menyulam cahaya dari dian menyala
Tajam berbinar mengobarkan rasa
Dari sumbu sobekan sutra
Menanti bagaskara menyinari
Berganti hari guna meraih asa
Menyulam cahaya dari dian menyala
Tertata demi selembar dalam prasasti jiwa,
Nanti jika minyak patra dari dian hidupmu
Semakin surut, cahaya terlena
Meredup berkelip,
Biarkan,
Jaga
Siang dan malam, sebab
Ada hidup yang tak hidup dan
Tak ada yang kekal di dunia
Parangtritis, 01012004
Langit Lembayung Menelikung
Langit lembayung menelikung
Dan mendung runtuh berayun
Mengguyur mawar mengumbar wuyung
Mengalir membumbung di pelimbahan, tapi
Jangan sampai menggenangi bungaku yang belum lagi setaman
Biarkan ia diasuh bumi dan kehangatan,
Kuncup bersemi di pelataran hingga ranum mekar berbarengan
Akan kupetik sekalian bunga di taman
Kurangkai dalam satu ikatan,
Lalu kukirim lewat langit lembayung menelikung
Berharap diterima dengan senyum berkulum
Jika kuberi kau:
Mawar merah, aku simpati padamu;
Mawar merah tua, memang diam-diam aku kagum padamu;
Mawar merah jambu, aku sayang sama kamu;
Mawar merah kuncup, artinya cintaku benar-benar tulus nich;
Namun lebih suka kukirim engkau mawar putih kuncup
Sebab, lucu banget dech loe?
Semoga ‘kan lestari dan bersemi
Bagai serangkai bagai mawar merah-putih yang selalu padu
Takkan kuberi kau mawar kuning, sebab aku bukan Butarepan
…
Dengan tangkai ini dan secarik lirik barat tersurat
: Valentine, U’re always on my mind and in my heart
Jogjakarta, 2004
Album Foto Usang
:Penghantar Kado Ulang Tahun:Tiwi_ungu
Saat lembar pertama dibuka
Dari album foto usang
Haruslah banyak pertumbuhan dan Perkembangan
Perubahan dari sosok,
Semakin utuh dan jelas ujudnya,
Semakin terlihat guratgurat wajahnya
Semakin harmonis warnanya,
Semakin sempurna komposisinya
Hingga sampai lembar berikutnya
Dengan kemilau keperakan
Memancar dari jari manis sebelah kanan,
Gunakan
Untuk memutar jarum jam hidupmu
Dengan sedikit energi
Dari setiap baterai re-charge yang kau punya
Jangan sampai bersimbah air meski water resistant
Biar sampai lembar ini saja
Jangan kau buka lagi rentetan peristiwa yang belum tiba
Isi dengan belai dan rasa
Hingga lembar terakhir dari album foto usang
....
Aku kehabisan kosakata, kosakata tanpa gaya bahasa
Hanya tiga kata yang tersisa dari kamus bahasa
: Selamat Ulang Tahun
Gg. Guru, 26 Januari 2004
Rindu Duka Berkabut
Melangkah dalam remang senja
Langit Jogja kelabu bergayut mendung
Tapi tak turun hujan,
Hanya mencipta kegelapan,
Hanya mencipta suram
Menggiring rindu duka berkabut
Melangkah dalam gelap malam
Mendung menggantung mengungkung Temanggung
Saat separo jalan dari menengok rekan
Menanggalkan rindu duka berkabut
Dari kaki Sindoro yang bertekuk lutut
Bersujud merindu bagaskara menyelimut
Semaisemai tembakau yang belum sempat
merengkuh tanah merah kehitaman,
Gembur mengubur akar-akar merindu
Bertemu
Temanggung, 2004
Alur Hening
Layaknya senja ini, di perempatan jalan
Di antara tetes gerimis mengendus helm-ku
Memaksa bersin mengalirkan asin
; Kenapa tak kau balas sms–smsku
Itu batinku yang kebasahan
Dihembus sepoi angin Januari; hujan gaharu
Layaknya senja ini,
Saat tercoret sajak nelangsa goresan lidah
Mungkin meratapi kebisuan retakan tanah merah;
Sedang apa kau di sana
Sayang,
Sepi tanpa dering
Aku membisu-menung tanpa bahasa
Di antara detak dan lirik
Seirama wajah berandai–Andayani
Puisi duka yang tak pernah berubah
Takkan berubah, seandainya
Paham kalau kau selalu merindu
Hujan membikin hati terendap membeku
Kegalauan murka menjelma luka menyayat jingga senja
Seketika kesunyian menggerayang
…
Tak tahu ini puisi keberapa
Demi meluangkan waktu mengabsahkan keheningan
Karangmalang, 2004
Rintih Serpihan Jok
Tangan-tangan berkarat mencengkram,
Mungkin engkau ngangkang
Membusung di serpihan jok
Dengan tersedu menekur
Kembali meringkuk memeluk bayang-bayang
Sendiri
Tangan berbisa mensugesti berseronoh,
Senja ini perkenankan duduk
Di serpihan jok menyandarkan letih
Menjemput bual-bual tertinggal
Menyinggahkan impian
Lewat di barat matahari senja
Mengabarkan kemuraman terselubung
Karangmalang, 2004
Sketsa Sosok
Angin hembuskan aroma tubuhmu
Sesekali menyengat sukma – raga yang segera rapuh
Menggelepar melumatkan lembah sunyi
Berangin beliung menyeruak sketsa suram
Membawa bulir-bulir gelora,
Kenapa selalu melahirkan rindu
Pada sketsa sosok Roro Ireng bersenyum
Melampaui gurat-gurat tembok di bilik
Sketsa itu tak begitu kuat melekat
Hingga luruh di antara beribu gemintang
Kurengkuh teguh bibirnya yang ranum,
Kulantak tanpa decak angkuhmu, Kasih
Lewat angin senja menyalakan binar-binar rembulan,
Bidadari malam
Seandainya mungkin, takkan perkenankan
Airmatanya bersimbah tanah,
Menguap menjadi mendung kelabu
Menabur hujan kangen tak berkesudahan
Gondo Kusuman V, 2004
Mendung di Pelarian Musim
12022004
Sungguh tak kubayangkan seketika
Mendung di pelarian musim ini mengerang
Tentang kesaksian yang meringkuk
Bersama senja dari balik pintu
Karena mentari bertikam mendung terkoyak,
Merintih perih
Seiring kumandang adzan Maghrib menyulap penyesalan
Pesonamu luruh dalam kotak akuarium
Ikan koki-moli-gepi mengejek picingkan senyum
Menyaksikan tetesan air mata kesumat
Ketika noktah bertabur karat
Mendung yang berkalang darah
Melukis senja celaka penghantar musim berkabut
Akhiri cumbu nafsu dari helai-helai desah nafas
Memburu
Langkah kelingkaran tali simpul
Mengikat kabut tergelayut mengumpati kutukan hidup
Ruang Dosen Terban 457, 2004
Prelude
Buih-buih berkata lewat ranting tanpa daun
Basah
Dan dari hilir jauh sepenggalah senja tepian kali
Itu
Menenggerkan lumut yang terbenturbentur pualam
Tersangkut gombal bercampur lendut
Tak bergerak tak berdecak
Dan hanya membiarkan ranting
Yang jatuh telungkup dari atas kota tang bising
Menunggu
Di pusaran air tanpa jejak dan sajak
Sembari mengail mikjizat
Menenggelamkan catatan perjalanan
Suram
Dari tawar tanpa rasa mata air mata
Menuju Asin luasnya samudra bertameng karang
Akankah ia mencapai muara
Dan ombak menyambutnya dengan selaksa puisi
Babarsari, Maret 2004
in College
buat Bapak Burhan N.
dan fans-fansku: Pujiati S., Darmiyati Z., Pintamtiyastirin,
Ari K., i Tadz, Siti Nurbaya, dll
Jemari telanjang menjulur
Seirama tinta menari mengukir
Dari balik pintu menjelma sosok maya
Tentang rupa angkara
Tenggelam dalam rawarawa
Tanpa tepi, tanpa sepi
Sesaat tik-tok arloji mengalun
Bisikkan kantuk tak menyadari hari esok
Biarlah,
Selama nafas masih mendesah
Takkan kuremas kertas-kertas berserak
Kupungut lalu lenyap dalam timangan
Bersama siang menyilak pagi yang kepagian
C.08 FBS UNY, April 2004
Kujemput Bulan dengan Keharuan
Sesaat lambaian itu memporak-porandakan
Mimpiku yang belum lagi sempurna
Tersenyum di tengah pintu beratap senja jingga
Bercermin lewat bayang hitam di hadapan meski
Tak mungkin kabur diterpa ocehan angin
Temaram di tepi hingar-bingar terminal kota
Riak membisik syahdu di kebisingan
Meliuk-liuk bersama sibakan kerudung ungu
Wasiat bagi hayat hingga mayat
Lihat! Rasakan!
Kusahut derai senyum itu dengan uraian kata
Dan seuntai puisi dari sunyi kedalaman
Kala menjelang petang di lintasan pekan
Sebelum hari pertama bermula
Sapamu memagut matahari hampir separuh
Lantak tak terlewat
Lihatlah nanti?
Kujemput bulan dengan keharuan
Sebab siang hampir petang
Umbulharjo, April 2004
Bintang Bercinta dengan Kelam Malam
Bintang masih bercinta dengan kelam malam
Saat purnama hilang dari balik tembok pagar
Mungkin berpentas untuk kami dari kegelapan
Selatan kota itu
Horison yang kadang hitam buatku
Belum lagi saat terlena
Tentang cerita bulan dan bintang bercakap
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Sisakan puing pecahan bata merah
Menyembunyikan segala kelam dari sinar bagaskara
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak, sepenggal –
Sepenggal lalu tersebut nama sebuah kota
Dari kemenangan yang terbuang ke seberang
Mencari bintang yang bercinta dengan kelam malam
Bersama purnama berenang di lautan
Hingga berlabuh fajar pagi Bertapis Wawai
ISI, Bantul, April 2004
Sajak Pengharapan:
Untuk hidupku yang satu detik lagi
Aku mungkin mati satu detik lagi
Namun jengkal hidupku siapa tahu
Detak ini menggertak-nyalak hendak lantak
Retak diterjang ihwal dewata Nitikawaca;
Inilah sosok durjana dari hinasahaya
Wahyu takut temurun
Itu bukan malaikat salah mengeja
Catatan suram perjalanan menikung masa silam
Atau pendakian terjal tak berpuncak amal penabur dosa
Kutau mungkin terlalu cepat mencekat tuk sujud
Seuntai harapan tak sudi mencerna doadoa dari sosok
Ornamen yang belum sempat terpahat oleh zikir mengukir
“Niat insun kula Sholat”
Oo, pendosa meracau lewat sajak pengharapan
Titi wanci; mungkin detik ini
Ini hari minggu ini entah bulan depan
Warsa ini windu ini atau renta kala
Itu tak mustahil tereja Asmaulhusna
___
Untung malaikat menarikku ke sana
Nyanyikan pujian asmaradana menjelma
Gema bedug menggemuruh mengharap
Untuk hidupku yang satu detik
Ketep – Borobudur, Mei 2004
Senja di Candi Borobudur
Dari balik stupa aku bercermin pada-Mu
Bercermin relief Rupadatu
Memandang kepala-kepala-Mu yang hilang
Ketika reca itu lenyap dari jangganya
Senja dilahap mendung
Dan memuntahkannya sebagai guyuran hujan
Dari sesenja perjalanan pungkasan
Aku bersujud
Bukan untuk batu-batu itu
Tapi untuk Rabb-ku
Borobudur, 2004
Bacakan Puisi ini Sekali Saja
Bacakan puisi ini sekali saja
Pada suatu waktu kau sedang terlena
Biar dalam hati tapi penuh nurani
Dengan mimik gesture vokal menyalak
Tapi ingat!
Puisi ini bukan untuk deklamasi anak SD
Yang ingusan
Yang belekan
Yang ngising di celana
Yang gratil
Yang dekil bengil bocah udik
Atau anak TK manja semua Ma – ma
Himbauan!
Puisi ini hanya dibaca oleh yang punya jatidiri
Ya, sepertimu yang punya hutan jati
Di Kalimantan Sulawesi Papua atau Sumatra
Barangkali di Aceh diselingi belukar marihuana
Peringatan Pemerintah!
Membaca puisi dapat menyebabkan mulut berbusa, serangan lemah jantung, Tubercholosis, gangguan tenggorokan, dan kehamilan masa pubertas
Ingat!
Puisi dibaca bukan hanya karena ada niat
Tapi karena ada kesempatan
Baca!
Baca?
Terban, 2004
Euforia Dunia suatu Senja
Bilakah fajar tiba
Dan seseorang menggendong bakul sarat
Berhenti di teras sebuah toko
Singgah survei sejenak
Melongok bocah ingusan
Beralas kardus di endus tikus-tikus
Tekur meringkuk dihinggapi lalat Kota
Yang lapar benar
Bocah ini tikus jalanan
Dari selokan yang tergusur ke emperan
Biar lalat gerogoti badan
Akan diterjang dahaga – lapar bersarang di kerongkongan
Yang lupa rasa dunia, akan Tuhanan
Bilakah senja di kebisingan Kota
Dan seseorang menggendong bakul
Sur – plus
Hampir (i)
Ulurkan tangan kanan – anggukan – dan sedikit senyuman
Titipkan pesan akarrumput di persawahan
Saksi Kota kejam nafsu jahanam
….
Sepasang tikus sehabis bercinta
Melata malu-malu menatap mereka yang terpaku
Lalu berlalu mencari jejak lewat semburat mega jingga
Dari lubang angin etalase toko mencerca
: selamat datang euforia dunia,
kami akan menantimu di dunia dalam berita
Terban, Mei 2004
Menjelang Petang
Dari selimut kabut pekat mengintip di perut bukit
Iguana tertatih merayap pada ranting pinus basah peluh
Setelah lelah layani syahwat terik seharian
Tadi
Sekelumit cahaya mercury berkedip menyapa
Bersenyum di tangga – tetangga rantau
Rayakan ujian hidup separuh tempuh
Kaliurang, Juni 2004
Edan!
Itu katamu padaku
Lama mengusang pada sosok tiang listrik
Nancap tak berkesip
Diendus anjing kudis
Sampai batas mana
Kegilaanku bisa menggulaimu
Aku masih menunggu
Ditemani jengkerik dan detak jam retak
Mencekat mimpi yang mungkin bersarang
Di ruang persemaian Kuldi
Menunggu kembali bulan datang
Kaliurang, Juni 2004
Menjelang Petang II
Ada tua renta permisi
Sesaat membungkuk di anak tangga
Matanya galau menatap petang merayap menjelang
Kenapa mesti membungkuk
Ini dunia milikmu, batinku
Kami datang karena rindu dendang malam
Di negeri kami hanya ada dering bising dan raung jalanan
Tegaplah!
Bulan ‘kan menyambut rona senja yang semangkin pudar
Letihmu ditunggu cucu merindu di gubug–Mu
Bawa batu berlumut buah tangan moyangmu
Jaga dengan uban mengakar keperakan
Jangan sampai kembali legam hitam
Meski lumut di batu itu berwarna hijau kuyu
Setidaknya memberi harap
Agar tak terpahat maksiat
Agar tak terinjak kaki-kaki jaman
Kaliurang, Juni 2004
Benalu vs Priyayi Berdasi
: Dia
Ada parasit nempel di pokok beringin
Disambar walet sesekali hampiri kami
Yang sedari tadi bersemadi, tak berucap tak mereda angkara
Bergelayut mega jingga terjangkit sisa terik penghabisan
Di bangku taman yang tampak usang oleh jaman
Tadi terlihat tamu priyayi berdasi teriring bedil-senapan
Sedari orasi bakal pemimpin negeri
Mampir ngisi perut bahkan minum darah dengan cawan revolusi
Di tempat bapak-Nya doeloe ngungsi dari ibu-Nya,
Mungkin terlanggar van Royen entah Renvill entah Agresi
Aku tak mengenal sejarah tanah ini
Aku hanya benalu tak punya harga diri
Di artefak dan monumen arkeolog tempat pasar seni
Para seniman gondrong doyan botol yang bilang dirinya nyeni
Masih lebih Nyeni bahkan Nyastro mereka priyayi berdasi
Yang barusan masuk mercy
Beliau pintar bersyair fatwa pujangga
Beliau lantang deklamasi
Beliau gapah bersilat-acting di hadapan tamutamu penting
Dengan properti para menteri, delegasi, diplomat, Parlemen
Bahkan Mahkamah Agung atau rektor barangkali
Dengan setting memadai: Istora bahkan Istana negara
Untung saja aku hanya parasit yang nempel pada pokok beringin
Tumbuh berakar saling tunjang sejengkal di tanah ini
Kabar-kabari desai angin, kicau burung dan pasangan bercinta
Berbincang masa depan
Tapi kasihan
Aku tak bisa bebas seperti walet terbang bentangkan sayap
Kotori baju priyayi berdasi yang lewat tak permisi
Gedung Agung Jogja, Juni 2004
Tlah Kupahat Sebuah Nama
; bersama Joko, Pur, dan Groh
Tlah kupahat sebuah nama
Lanskap keindahan hakiki di sepanjang bukit pasir
Tepian samudra dalam bisikan debur ombak
Bercerita tentang mata yang terlukis luka senja
Membias gontai tubuh hendak rubuh
Lalu selukis nama lebur bercampur pasir basah
Hancur luluh disapu buih
Merintih:
Kitakan bertemu dalam ragu
Lalu kita menunggu malu
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Tlah kupahat sebuah nama
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Lalu berbuah buih memecah riuh
merengkuh matahari
memeluk bulan sabit kesepian
Dan hanya ditemani bintang diam
Yang diam-diam membidik awan kelam
Lalu mengajaknya bercinta dalam kepuraan
Tlah kupahat sebuah nama
Ditemani bintang diam
Menyalak sajak lokal milik rekan
Memekak tak hening oleh kelam malam
Lalu meneriak serak
; tlah kusuntingkan karang dengan pasang!
Parangkusumo, Juni 2004
DIVA I
SR & TA
Ada jalan sarat marka
Yang menuntun kami
memilih tak lari
Yang merindu sora diva
diujung jalan sana
Yang berpenghuni rona jelita
buah karya-Nya
Gombong, Juni 2004
DIVA II
Ada goa tua di ujung jalan sana
Yang sesekali merintis tangis
Lewat rembesan stalagmit netes basahi arca
Hingga bolong tepian muka
Seperti luka menganga ulah lingga yang batu
Diujung pagi sayup mata penjuru kota itu
Gombong, Juni 2004
DIVA III
SR
Dalam beranda
Menjelang datang sewarsa usia
Tengan-tangan mungil menampar wajah boneka
Mirip padanya
Hingga kuyu tetap kaku
Mungkin murka pada Bunda yang lupa setor muka
Atau sekedar rindu nenen dari putting nan unun
Lalu
dikulum bibir mungil
digigit kecil-kecil
dari susu Bunda mungil
oleh geligi kecil
untuk anak,
anak kecil
Gombong, Juni 2004
DIVA IV
TA
Di teras batas tetangga
Tumpukan batubata terbata mengeja kata:
Jangan kaucetak lagi diva-
diva ke dunia
Telapak kakimu bukan surga
Hanya neraka ulah polah mereka
Gombong, Juni 2004
Aku Milik Siapa ?
Kelakar kata menghentak rasa
Menyalak berdesak mengerat pekat
Gendang telinga mendengung
Tersengat lebah madu mendayu
Penuh nuansa menyentuh citra
Berkata:
Aku milik setiap orgasme alam
Jangan engkau mengekang apalagi berburuk sangka
Terban GKV, 2004
Engkau yang Kupilih
: SBY
Bahwa tubuhmu tlah kuhujam berulangkali
Tadi pagi
Dengan sepucuk puisi
Itu
Puisi yang nancap di kedua mata
Dan jantung landung
Mengundang hasrat bersatu
Meski dalam ragu
Merintih di pangkuan ibu yang lama layu
Lalu meredam khayalan imaji
Sampai seratus kegelisahan hari
Yang mungkin nanti
Mengurai khilaf
Mencerna doa dan harap
Berharap ibu tak bergolak
Menarikan selendang api
Menyala menyapa angin
Dan menghanguskanmu jadi abu
Saat senjakala tak lagi menebar jingga
Kemudian Batara Kala memagut tubuh ibu
Dalam bayang mega kelam
Membias resah hujan basah
Berakhir sudah,
Kembali pulang ke rumah
Terban, 5 Juli 2004
Menanti Kedatangan
:Devi Widiasari
Arah angin membawamu kemari
Untukku dan untuk kami
Setelah engkau menebar benih
Mengungkung warna
Pada mata
Hatiku
Pada luka
Mulutku
Meneriak kata
Irama membahana
Mengepulkan asap pilu
Lalu
Muka menjadi rombengan
Mata menjadi pelototan
Seiring petang menjelang
Datang
Engkau urung kirim pesan
Hanya harap menyisa ratap
Aku masih menanti
Kala angin menapak pelan
Dengan putih hitam kepekatan
Umbulharjo, 20 Juli 2004
Putri Malu di Luar Jendela
:tary
Ada kata terburu terucap
Saat pagi beranjak dari kesejukan-Nya
Merubah gigil jadi bengil ulah bocah bengal
Mereka murka rona alam alam yang masih merembun
Hampir basah peluh sepagi ini
Bukan alpa beta lupa lupa pada janji kita kemarin
Aku lupa bukan karena amnesia
Tapi kepala yang tak bisa bersandar pada hening malam
Tadi
Telat meninabokanku hingga fajar menyeruak maki
Putri malu di luar jendela masih lestari
Dibasuh embun embun pertengahan kemarau
Sesekali melambaikan tunjungnya pada kemaluanku
Yang menepi di seberang tembok sembari mencerna kata
Tak ada sisa kosakata yang tereja
Percakapan hanya mencipta gema
Karena kemarin bukan senda
Bukan juga orgasme alam belaka
Ambarrukmo, 26 Juli 2004
Sus Scropha
: kita, kami, dan kalian
I
Mengintip sejenak lewat kaca jendela
Belantara berapologi tentang musim penat
Oleh segerombolan puisi yang lama terperam
II
Kini puisi-puisi membuncah tiap bait tumpah dari celeng-an
Sepenggal terbayar oleh sesobek kertas di atas rerumputan
Lalu terbeli sebuah kisah cinta antara binatang dengan puisi
: kawin lari
III
Binatang hutan yang membawa lari puisi
Itu
Kami songsong bertiga di ujung rimba
Sembari bermonolog tentang jatuh cinta
Ambarrukmo, Agustus 2004
Senandung Putus Cinta (110903)
- Dewi Agustina -
Dering telepon menanti jawab
Di sana
Kata bungkam merayapi kelam malam
Mulut gagu meratapi perpisahan
Dari hari keakraban menusuk perut dan dadaku
Pada cita dan rasa yang mungkin sulit bereaksi
Semenjana rasa pedih menggurah di sembilan
lobang tubuhmu
Belum kita ketahui esok pagi
Mungkin egkau atau aku
Menyusuri cerita di sisi usia
Yang terus berevolusi
Ke lorong sunyi
Oleh belai angin kemarau September ini
Ayo, kita halau musim berdebu tahun berlalu
Dengan senyum bagaskara esok pagi
Biar pijarnya membikin gaharu
Metro Selatan, 11 September 2004
Pacar Kecil di Pertigaan
- mendhess -
Pacar kecil berlari
Berlari meniti matahari
Jatuh di gundukan jerami
Sisa panen gadu sepekan lalu
Pacar kecil,
Kau berpaling pada siang
Amnesia akan semarak underlag
jalan belakang
Kepulangan kita sehabis pergantian
Menggiring sampai pertigaan ruang dan waktu
Lalu sepertiga usia bertemu dalam kelu
Kemudian dan lain sebagainya pun
Kesengsaraan purba terlanjur terpahat
Di tepian jalan
Ditemani canda rekanan dan dendang memabukkan
Dari pelarian pacar kecil kehilangan jejak
Juga sajak,
Menghilang di serpihan mega
Menghalangi sinar-Nya
Metro Selatan, September 2004
Tidur Separuh
Ini bukan tidur
Yang kutiduri
Tapi, kau pun harus berhasrat
Biar tak sekejap istirah
Menurut pejam mata
Terbukalah cakrawala
Perempuan sepetang itu
Tertimbun matahari, tersaput kabut
Berserak. Berkerudung dalam ungu
Di tepian petiduran
Hanya aku dan kamu
Koyak dan tak rapi
Satu-satu atau keduanya
Berwujud tunggal di antara serpih kala hitam
Meranggas siklus terabai napasmu
Mrican, 2004
Pergi Jauh/go-far
Masih basah sekitaran rumah
Hujan hanya menghantar gerah
Kamu juga kami, memenjara diri
Dari rerintik, sedekap dalam pengap
Bercakap dalam risik
Senandung kidung asing
Mengerak kontras merambat pekat
Pepat suara menyublim mata
Yang sedari tadi tertimbun asap
Rintik hujan membasah angan puisiku
Gerah berasosiasi dengan atis,
Dingin malam tak jua reda
Pertanda rembulan tak lagi tergantung
Menerangi buram malam
Kamu masih di sini,
Menanti hujan membanjiri belakang kali
Menanti makan malam yang kemalaman
Papringan, Oktober 2004
Message Delivered
- TA -
Masih sempat kupagut seonggok mimpi
Tadi –
malam
– ini
Bayangan seseorang di seberang
Tersiksa nesta oleh sekawanan,
tapi bukan kawan……
Belum sepekan kutambat biduk
Di dermaga berbatu menerawang pilu
Pandangi ombak penuh tanda tanya
Bergulung mengejar bulan sabit jingga
Terhempas karang memecah riuh,
Mungkin rindu bertemu
Saat tersiar kabar dari titik-
titik kaca
Tanpa tanda baca
Tereja wacana tentang lara
“Aku takkan kembali esok pagi”
Bandarlampung, Oktober 2004
Tentang Bulan
“M”
Sepasang mendung
Saling berebut luruh ke bumi
Mengarakkan kelamnya,
Bulanmu tanggal tua
Langit kelabu, dan
Bulan sabit harap cemas bertabur mega
Dan dari mega mencipta kabut
Teramat nanar, tak lagi berbinar
Seperti semalam,
Di sepertiga malam prasiam
Mendung merambat di balik kedok Betara Kala
Tak jua tanggal sumbat
Meski penuh sujud
Berharap bersambut
Mungkin esok ‘kan datang
Menjemput rasi bintang sejagad
Pada penat melerai kesumat
Papringan, Ramadhan 1425H
Aku Lupa Membaca Firman-Mu
Mulut tersumbat, lafal terbata
Saat kucoba mengeja satu-persatu
Puisi-Mu yang sudah lama
Lapuk dalam iman
Juga segala Alif-bengkong tak lagi berfirman
; Aku ‘kan mencoba esok, di sepertiga malam
sebelum raga tertimbun nisan
Ramadhan 1425 H
Maghrib
Tenggelam di sini
Rerumputan bersujud tertiup angin
Gerimis runtuh demi setitik
Tak lagi kekeringan
Waktu semakin beranjak mendekat
Rengkuh segala itu
Sekejap akan hilang
Sebab matahari, korona memudar
Sebab angin, luruh dipetik mendung
Lalu aku, tinggal sisa
Selagi buku puisi masih bisa dibuka
Akan kuisyaratkan epilog saat buka puasa
Metro, Ramadhan 1425H
Semua Sama; TA
Air di mana-mana sama,
Ia sama mata airnya
Ia sama menuju muara
Mengalir di samudra biru memecah riuh
Berhias buih berkejaran menyapa pasir putih
Ia sama ramah tamahnya,
Mengalir di pegunungan sunyi
Menebar kesejukan dari kecipak dan gemericik
Pada batu yang pilu menunggu sedari hulu;
Riak berliku menyambut senyum paman petani
Ia sama amarahnya,
Mengamuk sebagai badai menghempas
Luluhlantakkan alam dalam bah
Ia juga sama dalam cinta,
Tumpah dari langit sebagai hujan kangen tak berkesudahan
Basah peluh dan desah menggurah sajak kasih
Terminal
-- Rp 10.000 --
Terbenam dalam deru sesore itu
Daratan dibanjiri riak dan peluh
Awal perjalanan yang kelaparan
Di antara sengatan aspal dan sejumput kenangan
Tertinggal dalam rentang waktu
Berserakan sana-sini
Menanti jumpa kembali
Dan aku gontai sebab hari masih lama
Matahari di ubun-ubun
Menyengat terik dedaunan
Hingga terbakar sebagai lembaran-lembaran
Penghantar kepulangan yang masih tanda tanya
Dia di atas sana
Dengan tega menyisakan selembar dalam celana
Terpaut uang di saku
Berlalu
Say good bye to you
Giwangan, 14:50-15:25 09112004
Pesan Cinta
Jika engkau rindu
Nanti, Dinda
Simpan saja
Jangan kau berikan siapa-siapa
Daku datang dari seberang
Membawa sepotong cinta yang kau pesan
Metro., November 04
Puisi Ilusi
Mungkin aku sepi
Malam bisu, siang berkabung
Di koridor mimpi
Saat rembulan tak lagi purnama
Mungkin aku sepi
Oleh engkau, aku asing penuh ilusi:
Menenteng busur di tangan
Dan sepucuk panah menanti tuju
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
“Jangan kau takutkan, Kasih
Panahku hanya secarik puisi
Tak akan menyakiti siapapun, tidak juga
KAU?”
Metro, 2004
Semalam di Pasir Putih
Masih ada nostalgia ranting hijau bakau
Baru saja bersemi
Ketika angin tiba-tiba bertiup
Menghempas segala harap, tinggal ratap
Pada selembar daun jatuh
Tersapu buih, terbaring pedih di pasir putih
Lampung Selatan, 2004
Pedagang Jamu di Geladak Ferry
Geyal-geyol bokong bahenol
Tawarkan isi dalam botol
Mengais kepingan tutup botol
Botol bertaut tutup botol
Selat Sunda, 08:45 10112004
Game Over
Ketika adzan berkumandang dalam liang
Ketika kafan berlapis membalut tubuh kaku
Ketika tanah merah menimbun segala cita dan karsa
Ketika permainan telah paripurna
Dan kita menunggu undian
Untuk menang atau kalah
Metro, Nopember 2004
Buat Kadalis
Di kampung kecil itu
Matahari turun
Dan kita panas
Oleh bara dan terjal pendakian
Yang tiba-tiba berakhir di tepian curam
Lalu kita berjalan lagi
Meniti tangga imaji
Di jalan goa dan batu-batu padas
Semerbak pedupaan
Tinggal sunyi tanpa nyali
Kehilangan hiruk pikuk bus kota
Tontonan adegan jalan yang membosankan
Daun berguguran, berserak
Menambah sampah ke hitam tanah
Dan mata air membuncah
Serupa selokan di kota yang jauh itu
Kehilangan suara gemericik
Menghanyutkan imaji di kekerasan
Desahmu, naik pitam gelombang fals-mu
Yang mengisyaratkan matahari setengah tua
Agar tak membelangkan kakimu
Dari sengat siang bangsat
Musim berapologi
Imogiri, Desember 2004
Bocah Penggembala
Seorang bocah menggembala angin
Di bawah terik, menguning pada bulir padi
Merunduk rindu basah tanah
Si bocah menggiring angin menepi
Biar rumput tak lagi melenguh kepanasan
Yang hanya punya satu sajak tertambat di sengkedan
Gemericik bening sebening riak birahi-Mu
Sepasang manusia saling bertanya
Adakah jalan menuju ke sana
Dari patahan marka
Simpang tiga itu,
Tersesat dalam imageri angin bedinding
Imogiri, Desember 2004
Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah
Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah
Dari atas sini menatap kolor petani
Dan punggung berkilau bercermin siang
Menatap isyarat lewat panca indra
Kita lihat petak sawah, juga sederet gedung
Kita hirup nafas hijau daun, dan hitam tanah
Bukan gedung silau, mall atau baliho
Juga kutang dan cawat
Bergantung di kawat jemuran depan kamarmu
Ada pohon dan rumah tak kokoh
Sama di ujung sana, tempat kita semula
Bedanya, kita sedang bertamasya
Jauh dari sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Aku dan kamu,
Sesekali meski melihat ke bawah
Sebab kita berangkat dari sana
Cerme, Desember 2004
Syair Banjir
Bah menunda desah
Gerimis senja meluapkan Lumpur
Mengambang di sekitaran petiduran
Tempat kita hampir bercinta
Sekejap kelam
Tubuhmu hampir tenggelam
Basah di ambang bimbang
Sebelum gelak beranjak memeluk badai
Luruh dalam kubangan
Dan gerah menghempas desah
Seakan mewakili rintih orang seberang
Cuaca berkabung
Kabut menjenguk sepotong kelam
Karena senja
Karena banjir
Hari kita dilanda sangsi pada suatu kali
Grinjing, 27122004
Syair Banjir (2)
Di sini air mengalir. Dan rupanya
Sobekan sampah tersangkut ranting
Dan runtuhkan tambat itu
Yang mencoba hadang kecamuknya
Sementara di luar cuaca tak beranjak surut
Di sini air membanjir. Dan rupanya
Segala yang mengapung itu tak lagi memberi harap
Berleleran dalam ruang
Mengendap perlahan, noktah demi noktah
Larut dalam keruh
Sementara gombal-gombal nyaris basah
Menambat di antara sumbat
Menghadang gelombang;
Menyelamkan letih tepian kali berair-air
Yang mengalir dari nadiku
Menenggelamkan sebagian sel-sel birahiku
Grinjing, 27122004
Rindu yang Purba
Suatu kali aku memeluk gunung
Lebih erat dari lembah. Tak terbatas horison
Yang mengujung
Tak ada kabar olehmu; hanya kebekuan ruas jemari
Dan perdu teh mengibas kabut yang mengasat –
Yang hampir jadi sejarah
Ingin kudaki terjal gunung
Terpisah oleh marga, lewat raga. Terpisah
Oleh bingkai cakrawala
Yang tergambar dari kanvas semesta
Suatu kali aku sarati; bahwa tinggi gunung
Bukan antara yang tak terbaca aksara
Membaca isyarat—saat penat yang berlipat
Gigilan singkat terkubur dalam pedut
Memisah rindu yang purba
Kledung, 2004
Kuldesak Daun Basah
-- Tiwi Andayani --
Akhirnya basah
Bersama genangan lantai
Sejilid album di tepian tidur
Membayang tak kasat
Akhirnya tinggal uwuh
Gelimang peluh di atas daun basah
Lupa terbangun matahari musim kelabu
Bagi pesta ulang tahun
Tanpa tart
Tanpa kado istimewa
-- dering di sana menggetar
dan umpatan kalbu memisah rindu
; kenisbian abadi
Kuldesak daun-daun basah
Menambat perangkat usia
Dalam igauan semenjana, berlabel cinta
Punya kita berdua; membias kabut
Pandang matamu yang jauh
Grinjing, 00:05, 260105
Dream Teather
Serentak aku dengar
Nyanyian gaduh antargelisah
Dalam alunan menggelegar
Detak menggeretak di balik dinding kedap suara
Lantai bisu, ruang berbohong
Padahal pintu masih terkunci
Engkau di lipatan usia, mutasi
Oleh ceracau cuaca juga desah. Bulan digantungkan
Di langit-langit: isyarat encore
Mereka pandai melantun notasinotasi
Dalam hati kita
Mereka pandai melantun nada sumbang
Pada angan-angan lalu
Menyusun not-not sakit yang melululuhlantakkan
Rindu dan kebisuan impian. Tiba-tiba redam,
Mengalun sepi yang baru, sangat baru
Dan itu bukan sinom parijatha
Desahan pedih. Sesuatu yang tak bisa kusetubuhi
Grinjing, 260105
Banjir Sore Hari
-- tiandra –
Ada yang membalur
Di dinding kamar. Tentang segumpal buih
Lari dari kali (mengerat dan menjadi karat)
Antarruang dan luaran banyak buih, sukar menyurut
Sore seperti bukan sore
Genangan seperti linangan air mata kekasih
Pada daun pintu yang lapuk, berbasah-basah berantah
Buih jadah ini,
Kali ini, hanya lumpur dan sisa caci maki
Orang-orang mulai jengah, bersama basah desah menjelajah
Aku mencari kekasih yang tergelar sehari tadi
Basah tanah secercah kasih
Lumpur dan belai bukan seteru
Terpuruk dalam hujan separuh senja
Setitik isak rintihnya patah gemulai
Menyimpan aroma basah,
Banjir sore itu
Grinjing, Februari 2005
Vacuum in Little Poetry (LPJ)
Embun masih basah dan di luar mendung. Mendung
Yang murka semalaman membelit
Kisah sewarsa saling terbaca
Mengurai dari berbagai prosesi
Bukan tinggal gelanggang
Serupa rumbia pun kami menyulut api
Siap berkobar juga siap dipadamkan
Memanas dingin apologi
Menggamit pengap hingga telanjang kata
Sel diranggas setumpuk mekanisme, melankoli arbitrer
‘Mereka’ memberi senyum batu
Malam ini tak memberi ampun sekalipun
Oleh sebuah lakon berbalut bercak
Yang mungkin diwariskan pada mereka-mereka
Lantaran rencana-rencana terus memburu
Menunduk dan ngungun. Tak ada orasi membahana
Dalam semadi, wajah-wajah mengepung
Takluk pada kesepakatan labirin malam
;ditolak (teriring sungging yang ganjil)
Karangmalang, Februari 2005
Taman Berlumut
Sore ini di sebilah puisi
Remang bergantung sepasang mendung
Merayu musim, menggoda tukang puisi
Atas taman berlumut menyongsong romantika senja
Batu betina itu masih terpuruk di sekeliling taman
Tampak lembab dihinggapi lapuk
Bersedeku di setiap penjuru meratapi langit kelabu
Hingga menderas air kali
Mungkin menuai air mata yang muncrat dari kornea
Karena redup senja membutakan angan puisinya
Prelude, vaginamu goa batu
Taman berlumut, bias nikotin
Tempat kami mengurung cinta
Lalu menyemai biji sehabis mangsa
Hanya lumut yang membuat hijau taman ini
Aroma lavender seperti menghardik
Pinggiran kali dan aliran kata yang tereja
Oleh batu yang lama disetubuhi
Kyai Langgeng, 120305
Pedhalangan
Aku bukan Kamajaya, kasih sejati Dewi Ratih
Aku bukan Bathara Guru, penguasa cinta bermahkota Uma
Tidak juga Salya, bersanding Setyawati dari masa yang terbakar
Tapi mungkin,
Aku juga Resi Talkanda, karma wuyung Amba yang terpanah asmara
Aku juga Abiyasa, dalam buruk rupa persunting sekar kedaton
Aku juga Janaka, juru rias mempelai Banowati yang urung
bersanding
Aku juga Bratasena, asih-asuh menyusui Abimanyu
Aku juga Burisrawa, pencari kisah Bratajaya meski kalah segala rupa
Aku juga Antareja, penjilat tapak kaki senja yang tersia-sia
Aku juga Antasena, berbudi batu pengarung seatero bahari
Aku juga Parikesit, satria piningit pewaris kaca benggala
Aku juga Ramawijaya, dalam medan waktu merindu penuh cemburu
Aku juga Laksmana yang menukil kalbu dalam keperjakaan
…
Lakon telah paripurna, dalang mematok gunungan
Kelir hampir digulung,
Blencong telah padam, segala meredam
Begitu juga aku, telah membantah gelisah
Di antara gugur bunga. Tak sampai mekar saat jelang fajar
Bunga hampir mati pada jiwa yang membatu
; Kasih, sepotong bulan mengawang di penghabisan malam
tanda musim gugur hampir tiba
Grinjing, 17 Maret 2005//02:01
Malam Cekam
:PIS
Menyapa tak kasat
Menegur dengkur
Mencacatkan mata paruh pejam
Dengan keburaman malam
Menebar aroma pedupaan semenjana
Lelaki sukma
Melintasi sepertiga malam
Menyusuri sungai manusia
Diiringi gending lengang dan mantram
Kekudusan abadi yang dicetak buatmu
Dengan kecamuk yang mengebiri
Aliran testosteron; tunjung metafisika
Memimpi tidurmu
Dari gemericik riak menambat
Bersenandung kidung nafas landung
Dan desah membelai hijau-Nya
Dan memunggungkan padamu
Tentang naluri
Tentang nyali
Tentang cekam
Cekam yang benar-benar menikam
Grinjing, 17 Maret 2005
Siang Terbungkus Mendung
Siang kelabu
Siang terbungkus mendung
Hari meranggas rendeng
Hari-hari sepi kekes
Dari jauh,
Onggokan mega berarak-arak
Runtuh memanah dalam tubuh
Dari atas
Jalanan menggenang, mendung menggiring bimbang
Pada jalanan yang semakin aking,
Malaikat terlena, tertidur di balik selimut
Sebentar terjaga (mendung masih menggantung)
Matahari kehujanan, berteduh di balik awan
Menutup tirai langit
Mematikan saklar binar
Berharap jelang petang
Senantiasa menyongsong remang, perlahan tapi pasti
Membuncah senja kemerahan
Dan juga bersama angin
Menggiring rindu ketika kabut berangsur pudar
Grinjing, April 2005
Menyimak Puisi Tuhan
Simaklah hujan nyanyikan pujian
Membaca syair jenazah, bukan berkafan
Beku badan, tangan kaku sedeku
Tak tahu akan menulis apa
Simaklah hujan, puisi-puisi tuhan telah terurai
Seiring rerintik bertumbuk
Atas deras, jauh di seberang ruang
Tertimbun sisa waktu, sekejap embun di atas nisan
Menghimpit dalam pengab yang berat. Menimbun
Bingkai foto, kemarin tertampang dalam album
Sepanjang kenangan tinggal hikayat
Senandung panjat-Mu,
Dari dalam peti tak tedengar lagi
Isak berantak, jerit memanggil atas-Nya
Hanya tinggal meja dan dupa
Mengabadikan sesembahan
Simaklah hujan
Pekik mencabik cakrawala
Ketika iring-iringan hampir diberangkatkan
Penghormatan terakhir diagungkan
Semua pasti selesai
Perpisahan pasti kejadian
Gedongkuning, 070405
Romantisasi Senja
1)
lagu-lagu memekak nyalak
olehmu, inilah rindu yang tak jua
layu; daun-daun kering diranggas musim
dan sungai-sungai malu mengalir
lagu-lagu rindu mengesampingkan kantuk
insomnia dini hari
tidurkan pejam, sayang, pejamkan rasa
2)
lirik-lirik melirik rona, kasihku
padamu; bunga-bunga mekar, masih wangi semerbak
dan berbunga manca warna
lirik-lirik romantisasi mengirim kumbara
tresna – selaksa beethoven gandrung
wujud ganda bermakna tunggal,
mari bercinta menggapai firdaus
(fatamorgana meradang saat singgasana
saling mengutup: perpisahan abadi)
Grinjing, 08042005
17: 17
Amuk Ombak
- catatan untuk mamak -
Amuk ombak datang menyerang
Dengan buih putih perak
“Hantam aku sebelum engkau keruh
Terik begitu jalang
Bimbang mengekang dari segala penjuru.”
Riak telah bercampur dengan pasir
Hingga ada kepiting bermesraan di taman seloka
Dikelilingi aporisma kaki langit
Mengail mimpi rembulan kasmaran
Dari sejarah yang mati rasa
Sebab begitu lama perjalanan cinta
Di antara keduanya
Angin laut menggiringmu mendarat
Kuselami kejantanan lewat payudara dari pasir
Pahatan khusus atas-Mu
Saat pejam berjamaah, gaduh malam buta
Mengabar kisah dan kesah
Pedih tebing longsor atau arga gonjang-ganjing
Terik basah peluh
Memanggang ekspositori
Anakmu lanang tak kuasa meratap
Segala mula kenangan masa kecil menambat
Sebuah samudra bernama rumah
Berombak gemuruh galak
Membuat paha dan punggungku terbakar akas
Sebuah prolog: persembahan dan cita-cita
Apa yang dapat kau banggakan selain semat di kepala
Perjuangan untuk pengabdian? Ombak itu tengah bersajak
Sebab asah, asih, dan kasih abadi baru kularung
Di pantai kumal, terbayang kaki langit kecilku
Melayang burung rantau di kejauhan nusa
Terbang jauh menyeberangi samudra, membelah bukit pasir
Dan ombak membawaku ke sini
Ombak itu adalah Ibuku!
Parangkusumo, April 2005
Mati Sunyi
Daun gugur pagi jelang siang
Jatuh telungkup di atas rumput jalang
Layu, luka terbakar fana
Hilang bentuk, pudar warna
Ia terbaring binasa
Meratap iklim yang mewabah nestapa
Dan pagi lari mengejar kalamangsa
Bak engkau yang enggan berbagi
Mati dari matinya, distorsi mati sunyi
Riuh bertudung matahari kesiangan
Kamuflase musim meniup sukma
Selagi kering menggarang stomata
Cukup beri ia istirah
Kita kan berbagi setelah ajal memanggil
: persistirahatan (kala masih lama)
C10.103 UNY, 10:05. 26042005
Hidup untuk Sebatang Rokok
: anhay
Pedut melilit-lilit
Tapi jua tak turun hujan
Hanya gerah yang merejang ranah puisi
Penyair baru, baru saja berfatwa
Membuncah lewat lidah
Abu yang kau tabur barusan
Memahat resah seisi rumah
Puntungnya mematung, prasasti tepi kali
Seberang dinding masih saja bising
Nyanyian atau lengking gitar tiada beda
Senantiasa memekak di palung rungu
Bermakna kognate di selubung malam
Menyelubung kepul dari moncong sang utopis
: kasihani ’dia’ yang coba meregang segala rasa
Asap membumbung rambah jengah
Kelabu mengukir bayang semu
Elegi setengah hidup, rekanmu
Hayatnya tinggal setengah jengkal
Dengan senyum nanar seakan dipaksakan
Terpuruk di sudut memecah ngilu
Hari-hari semangkin meretakkan kepalanya
Grinjing, 27 April 2005
malam gajahwong
– MEMOAR TELENGRIA –
simaklah dengkur arus
yang belum lama pulas
sebagai bunga sedap malam
yang semerbak sarat sajak
menepis birahi di remujung usia
siang pengantar kumbang kelana
ketika sejurus angin
saling menebas tangkainya,
benang sari gugur tak bersisa
petanda kita terakhir kali bisa bersyair
kau pun tampak kuyu
lantaran sepasukan arus membunuhmu
riak, oleh bening gemericik desahku
riak, songsong mimpinya
terjuntai di aliran ini
reroncenya bertempuran ke muara
galangkan sejurus gelombang
labuhkan sepasang bunga
yang belum sempat mekar di taman giriloka
satu satu kelopaknya mengikis batu-batu
melarung abu, langit kelabu
ketika sesaat kenangan tenggelam di tepian ria
Kledok, 02:32, 11 Mei 2005
A Rock The Day’s
: Daru
seorang pejantan gontai, mabuk oleh alunan
menggetar dari membran, seperti tetesan keringat
terengah mengiringi aku yang bersimbah darah
segala irama membahana dihentakkan ketika bulan separuh
marah di tengah gelanggang. ruang pun bergaung
oleh tangan-tangan yang enggan disungkemkan
aku mabuk akan bayang-bayang bertumpuk
(alunan terhenti sebelum lakon usai)
antara detak dan gertak di pergantian babak
gontaiku di antara liuk koreografi
tiruan tarian mengejek kedwimanusiaan
meraih lelah dari lakon sekian berproses
bakal disimakkan, perayaan kami waktu lusa
rujukan sejarah kelahiran berulang
dalam mabuk yang tangguh
Karangmalang, 17052005
Insomnia
Malam menguap
Binatang malam berdendang
Tentang lagu kesepian
Menekurkan diri dari imaji sejatinya puisi
Puisi ilusi menjelang pagi:
Kasih, sebagian hari menjenuhkan lakumu
Separuh kesalnya bercadar kefanaan
Barangkali penanda akan hidup yang lebih baru
Sebagai lukisan di dinding keluar sejadi-jadinya
Menjelma sosok hidup: penabur senantiasa
Membelai dan menapaki setiap mili tentangmu
Syair Tuhan tersiar di seberang ruang
Mengejek mungkin juga mengajak sebujur tubuh rubuh
Dan wajahku terpekur menatap mata
Yang membuyarkan igauan
Dalam kantuk terantuk di petiduran
Dalam sisa waktu mengalun rasa jemu
Dan lukisan di dinding
Masih menggantung dingin
Sedingin aliran sungai yang tak bosan-bosan
Menghanyutkan mimpi lelakon malam
Ingin bermimpi saat pejam mata
: gemericik riak masih berisik seperti derit batang bambu
kontras dengan deklamasi puisi-Mu
Grinjing, 02:40 18 Mei 2005
Mengukur Jalan
Barangkali jalan semakin jauh
Sebatas pandang, horison membentang tanpa haru biru
Dari sini kita menerawang
Seekor burung gagak menunggu mangsa
Sepasang muda teronggok di tepi jalan
Kita istirah dari jarak yang sama
Lalu melongok dari jurang yang sama
Hampir paripurna. Pelarian kita
Di sana…kita tadi bermula
Deretan cahaya menusuk pandang
Perjalanan mengikut arah angin ke selatan
Terdampar di tikungan percintaan
Udara di atas dan di bawah berebut
Kini kurasa ketinggian tak terbatas ukara
Sejenak lupa tugas yang sempat tertunda
Beranjak dari kesemrawutan bawah sana
Detik ke menit melintas padas
Sedang aku dan kasihku pernah menjalani hidup
Saat ini, saat remang menjamah gundah
Terlampau parah memanggang romantisme
Dari jurang kahyangan
Dan kau jalan terjal bukit malam, di tebingnya
Mendaki curam hati
Sesungguhnya kita mengukur jarak, siang
Dan malam
Gunungkidul, Juni 2005
Bila Bulan Kembali
– UN –
Bulan dalam hatimu kembali berbinar
Di antara deretan bangku berkarat
Di basuh malam sarat makna
Ria menyanding membawa ceritera. Kami jadi petutur
Dan bulan tersenyum hambar, hampir bersinggung dua sudut
Dalam rona mengembun dingin. Engkau
Tenggelam oleh serapah, begitu sayu dan lugu
Di meja ini kembali engkau bertaruh. Bulan tanpa cercah
Berselang di janggamu menghardik balik. Dia pun beranjak;
Pengharapan kian benderang bertabur bintang
Pandang bulan kemarin
Panggil purnama padamu
Segala mimpi bisa terjadi
: Hari baru berganti
akan ada lagi bulan baru
Bila bulan kembali esok malam dan langit menitip kerdip bintang
Selubungi awan putih, lindungi dalam pelukmu
Dan kenangkan dia dalam persidangan istimewa
Memoar Karangmalang membikin kampung melambung,
Melesat bintang jatuh membelah cakrawala
Lalu para pengiring ke mana perginya
Bulanmu terperosok dalam black hole menganga
Burjo, 080605
Ambang Fajar
Lelapkan rasa di bantaran sungi ini
Riaknya akan menggiring sajakmu
Ke pusaran kedung sarang buaya
Oposisi biner sepasang tulang rawan
Di antara hening dini hari
Sungi yang bening pelukis imaji
Alunan kosmis menyimakkan dendang
Tubuh kering lekang
Penyair telungkup di ambang
Seperti kucing kedinginan
Tinggal atis tak pasti
Mengantar secarik puisi
Untuk sublimasi mimpi
“Inilah kala seraut muka
enggan tiba saat lelap
melukis peta di permukaan bantal,” igau penyair ingusan
Sungai mengering
Hilir mati sumber
Aku dijerat syahwat
Betapa raga terasa papa
Mungkin mimpi
Atau entah istilahnya
Enggan berbagi; fantasi sepi
Grinjing, Juni 2005
02:30
Abimanyu
Aku kuncara
Di tengah medan perang
Di padang Kurusetra
Hajan panah seakan terhenti
(beberapa menembus pusara)
Dalam remang petang
Di tengah kungkungan
Kusaksikan tangisan sekaligus cacian
Mana kawan mana lawan
Seperti menghantarku ke haribaan Ibu Pertiwi
Grinjing, Juni 2005
Komplikasi
Dia sedang meregang kembali
Sekawanan enzim
Di sekujur rumen, asam lambung, dan amylase
Bersel jamak gerogoti hati
Tapi sampai kapan kau ajak isi perut berdendang
Tentang lagu kekosongan
Ketika aku hampir saja terbuai
Sedang kekasih bersambut sehati
Di aliran darah yang hampir tak berwarna
Tinggal kunang-kunang melukis mata
Dan bintang-bintang melintasi kepala
Membelah separuh tubuh
Yang kini telah rapuh
Selebihnya adalah jantung
Dan paru-paru tak beraturan mereka koyak
Sedang aku mual oleh bualan
Padahal sudah kuberi kau separuh hati
Tapi masih saja kau mencuri jantungku
Grinjing, 23:40, 19 Juni 2005
Pendongeng Malam = Nyamuk
Pendongeng malam tak pernah tidur, Kasih
Sedari tadi ia menganyam kata-kata
Menjaring mimpi dari angan terbuang
Yang membiarkan alam pulas dari kecamuk
Mengusir bising serangga dengan tepuk tangan
Dengarlah denging nyamuk jalang
Gemuk penuh akal busuk
Mencabik-cabik kulai tubuhmu
-- Takkan kubiarkan ia menggigitmu
Rembulan membelai dingin malam
Alam tertidur pulas
Bertabur bintang dan membentang jagat raya
Sedang di sini redup dari bilik, penat sekarat
Hampir padam lampu itu
Pendongeng malam mendekati daun pintu
Nyamuk datang mengetuk
Menghatur salam kepada alam
Embun baru saja membekukan sayapnya
Dari seberang sungai sebuah negeri dia berkunjung
Mengitari kumbara tiada bertepi
Pendongeng setia terus mengahantui
Mimpi-mimpi, hanya sebuah mimpi
Kita tak boleh mimpi di negeri kita sendiri
Grinjing, Juni 2005
Bekal Sebelum Perpisahan
Kasihku hilang
Seutas senyum dan kecup
Tuntas sudah
Menyisa bibir kelu
Yang kau pagut
Terluka
Selanjutnya air mata berderai
Tak tahu ia akan jatuh ke mana
Mungkin ke gundukan tanah merah
Grinjing, Juni 2005
Kulonprogo Akhir Juni
- RTY -
Aku kenali liku-liku
Garis persilangan penjuru timur kotamu
Hiruk pikuk di tengah Alun-alun tua
Pemuda berkejaran ke ambang arena
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya
Menggebrak nusantara
Aku perhatikan
Tugu atau prasasti namanya
Menghempas sanggul lukar kebaya
Di kampung pribumi
Tumpah darah dan aliri bantaran sungai
Untuk buangan mereka
“Ini adalah kota di mana engkau dilahirkan
di perbatasan, bangun dengan keringat dan hati suci
gelar kerja hidup matimu.”
Aku tapaki tangga tepi samudramu
Ketika kutatap kapal nelayan hanya merapat
Tak berlayar di antara rasi bintang
Ombak mengamuk di kedalaman samudra
Dan bulan mati di pelelangan
Selalu seperti hari berlalu
Nelayan sangsi memilih kuali berbalik
Dapur tak berasap
Di sini aku termangu
Menatap genangan hijau di bawah pandang
Kampung yang mencair
Sawah pun berubah bah
Sekawanan kampung tenggelam dalam bungkam
Sebab tak lebih lantang dan perkasa
Dari seonggok padas bertanda tangan
Tapi, Sayang
Cintaku takkan tenggelam
Juni, 2005
Sajak Sebelum Beranjak
Pantai menyeringai, terik siang ini menjambak
Seorang lelaki bercinta pada muara
Tapi samudra lebih menjorok pada daratan
Lantas pasir menghempas sampah
Dan menguburnya dalam-dalam
Dari situ tangga-tangga bersenggasana
Menjaring bahasa grafiti
Ayat jahil itu tereja suatu aksara
Di sebuah menara bernama cinta
Siang ini tak lagi ada caci maki
Tak ada kutub yang saling bersinggungan
Kat-kata menjadi pertalian makna
Sekalipun tali pancang kapal terpelanting sesekali
Tapi puisi sama kasihnya
Yang mengkohesikan katamu dan kataku
Sampai samudra kata mengering
Sebelum senja menuntunmu kembali
Jika cepat engkau beranjak
Sepasang bercinta bisa merangkai kata bermakna
Yang teronce pada sebait puisi
Glagah, Juni 2005
Tak Jelas Tuju
Sampai ujung mana jalan ini
Menyimpang pada rambu pertigaan
Pinggiran kota kecil itu
Bisikan ombak tak menusuk seisi karna
Karena hanya desing angin perbukitan
Di jalan lintas deru-buru
Bus antarkota antarprovinsi
Jadi bising
Kehilangan konsentrasi pada debur pantai, bisikan pasir
Yang mendesir seperti rambut kekasih
Sedang jalan tak ada ujung
Melaju tak jelas tuju
Kulonprogo, Juni 2005
Baron van Java
Ombak pantai
Hati tinggal sebutir pasir
Jangan sampai kecil hati
Kita ada karena kebesaran hati
Ombak berkejar gencar
Hadang laju perahu
Diterjang dengan dada lapang
Teriring tangis yang tersayang
Ketika Yang Mahasiang sembunyi di balik bukit
Lekas bentangkan layar
Angkat sauh
Agar senja yang temaram
Tak terhadang pasang gelombang
Sudah saatnya kita beranjak
Menuju biduk yang kita sewa
Hanya ini yang kita punya
Mungkin nanti bisa bermimpi
Kapal induk di belakang hari
Milik kita pribad
Gunungkidul, 2005
Warisan
Bunga kantil ujung kampung
Membuka lembaran petang
Ketika angin mmbuyarkan angan tentang bunga-bunga
Dan hitungan langkah di jalan setapak
Pekuburan tua itu
Berlarian angin pagi dan sore
Menghembus tanah merah yang menanti hari esok
Untuk siapa akan diwariskan
Tanah waris tinggal pertanda
Batu nisan menghias liang
Hilang
Rata dengan tanah dan pondasi
Disangga dari bawah
Oleh tulang-belulang yang kini jengah
Dan menguburkan mereka dalam diam
Metro, Juli 2005
Pasar Malam, Pandangan Malam
Atas nama kesepian, terbang bersama
Semburat hawa terang dari tepian tanah lapang
Di sana
Di bawah lampu pasar malam
Syair ini masih berkelana dengan kepak sayap
Ketika rembulan menjanjikan kehidupan
Dan kemarau pertengahan Juli
Membikin mlarat sebagian kota
Bumi terluka cakaran nasib
Melayang sosok kelas teri
Tanggal pertengahan, hati setengah lapang
Lubang hampir digali
Impian terlipat lembaran tahun
Hampir tiba masa tanam sebelum panen
Kapan bisa kubungkam jeritan kaki lima
Obral sandang dan kesenangan
Lampu pasar malam terbang berkejaran
Membakar lara, rengekan merajalela
Metro, Juli 2005
Syair Getir suatu Ketika
Syair getir ini
Lahir
Ketika layar kata tak lagi mengembang
Mengirim kabar dari surat cinta tanpa prangko balasan
Purnama berangsur pudar
Mega berarak menggugah resah
Ketika dendang malam mulai jengah
Mengiring lara hati
Hampir tuli oleh serangan kidung asmaradana
Syair ini lahir
Di rumah kata
Ketika kita, aku dan kamu
Terbang sana -- sini
Mencari bayang-bayang yang lari
Metro, Juli 2005
Cerita Perempatan Jalan
Dalam hitungan detik sambut tujumu,
Kekasih
Kapan kita terakhir terpisah? Hanya tangis lama
Waktu itu hanya basah pipimu menghujani tanah air
Di luar hanya ada malam anggarakasih
Hujan tangis baru saja pamit
Datang kemari. Datang kemari
Bawa tangismu sekali sja
Hanya gaung dari dinding gedung
Tinggal setengah jengkal engkau berlari
Sisakan keringat dan letih untukmu yang kini lumpuh
Sapa saja raga kering ini
Untuk tekat menapak angkara kemarau salah mangsa
Elegi terpanggang oleh panas ketiga
Hilang dalam periodisasi sunyi
Bersama alur laju langkahmu
Deru bergemuruh
Mungkin di sana menjerit tanpa rekan
Mencari sumber suara-suara asmara
Di antara dengkur bersambut
Berebut hidup di tempat berantah
Paripurna membelah hari-hari yang tak lama lagi
Jalanmu masih panjang sampai seberang
Galang hadang rintang
Bawa sepikul cita dan cinta
Untukku saja
Metro, Agustus 2005
Akhir dari Bulan Murung
Menyisir cahaya terang
Berlalu ke rontokan bintang
Sembarang bersinar
Di terawang jalang mati tanggal
Bulan murung
Merintih dalam pedih
Lebih perih dibanding sayat sembilu
Tajam bahasa puisi
Tanah membasah
Debu memancing cerita
Tapi kata tak terjaring pragmatik
Bulan bersembunyi di kerudung kelabu
Menunggu rekan hendak menghantam
Tampak murung dominasi sisa gerimis
Beulan dan bintang kelam
Kembali tenggelam dalam pelukan malam
Mungkin pagi akan menyeramkan
Sebab malam
Beringsut semakin pekat
Angin sesekali menyibak tabir
Kemana akan dibawa lari
Tapi jangan kau bawa lari puisi cintaku
Terban 455, September 2005
Penjaga Rumah Cinta
Kembali rengek yang manja, membuncah nadi
Pertengahan malam, pagar kuburan dan kemilau batu nisan
Engkau pun berlalu dari pelukan, berpaling pulang
Rumah siapa di sana
Penjaga rumah cinta
Di hamparan ilalang
Risik gelisah
Terbangun dari mimpi memandang sepertiga malam
Kesepian sementara. Fajar pagi menggelepar, terpercik muka siapa
Menyentuh hati tandus
Dehidrasi kecaman musim
Dan perlahan menghantar ke peraduan
Seperti kata-katamu sebelum musim kering menjenguk
Hari-hari berbalut luka
Oleh ranum buah dadamu
Memerciki tanah gersang menjadi sajak terpendam
Berapa lama lagi
Bila jalan tak lagi menikung
Akan kusongsong rumah berpenghuni belahan jiwa
Jiwa yang papa semoga diteduhi
Di bawah atap, di bawah jendela
Angin menyapa wajah hari tak berperangai
Sejengkal dari batas lagkah
Jarak antara kamu dan aku
(sendiri mencaci sampai pagi kembali)
Terban, September 2005
Purple Rose
Adegan tangis, kuncup tersipu
Tersapu
Membanjir jambangan
Kelabu, bukan pot
Hanya pispot dari kubangan bernama paru-paru
Ungu atasmu jibaku oleh bisu cintamu
Sesaat
Mawar-mawar itu kupetiki satu persatu
Berpasang dengan puntung dari moncong
Pembuangan akhir
Yang semerbak di lekang waktu
Tiada bungaku
Tiada kuncup ungu di ruang perhitungan
Seluruh tangkai menjadi kawat tembaga
Serupa antrian di sepanjang rentang yang jalang
Lalu mereka lumpuh
Terbakar sebatang-sebatang, dari cinta
Yang tercecer di jalanan
Sebelum kuncup mekar berbagi wangi
Trotoar tempat aku barusan berpijak
Kehilangan jejak
Seketika terhenti membelah kebohongan
Pada sebuah asbak yang ditumbuhi bunga-bunga
Tak akan pernah layu
Meski bunga berkelopak tapi tak merebak, tak juga bersajak
itu hanya bunga plastik
Klaten, 27092005Drama Sebabak
EA1
Kalian membara di selingkung puisi
Alienasi waktu
Cibir selubung hari
Vokal eksodus wajah-wajah baru
Ekspresi tak semestinya
Drama komedi yang mudah terpahami
Tak seperti bahasa puisi
Setelah teriakan demi teriakan membahana semesta gelanggang
Memang aku salah
Tuli oleh bisikan atau telepati jaman
Saat puisi tumbuh di kata hati
Serumpun belukar kuterjang dengan parang kata
Dari sela rentang waktu dan tirai bambu
Yang terhempas di ujung penantian
Begitulah, dering beriring, rindu dan curiga bersatu
Mengendap dalam kerapuhan batu
Sementara tanda baca dari bias cahaya
Memparafrase sebuah makna paling sederhana
Bahasa rona samarkan sisa tangis atau senda
Oleh siapa? Tiba-tiba isi kepala terurai
Ribuan puisi berjatuhan oleh prahara beberapa hari
September, 2005
Jurit Malam
idl&ds
Dari alur kali
Sedari siang yang meriang, dan mereka lupa pribadinya
Di jalan batu, pematang, dan arus
Berpenghuni sekawanan rekan tak kasat
Datang memberi isyarat
Di jurang nurani
Melamun rembulan
Memojok dara seorang diri
Khayalmu kosong. Tak merejam kata
Tinggalah raga yang jatuh di kungkungan
Tapi igauan mengalahkan panggilan
Lalu berpasang mata tertuju padamu, ayat kursi turut menyambut
Yang sakral itu
Senantiasa mencipta keangkuhan
Dari sekeliling, beribu bulan sabit membabat kisahmu
Ayat-ayat bersahut dan berorang-orang datang
Dzikir tiada akhir, mantram merejam
Selongsong sajak mendeklamasikan iman yang ringan
Jeritan angin menggelepar bayang
Kematian senang padamu
Menempel di kegalauan hati
Ketakutan melukiskan pemandangan ngeri
Imajinasi dini hari yang hangus terbakar jerit
Mereka kembali datang dan ceracau semakin kacau
Ia berkisah tentang buih yang membawanya hanyut
Dan kami pun berkenalan, tapi hanya ilusi
Segelas air terpercik sebuah nama
Dan kamu lupa, padahal baru saja kalian bersatu dalam pilu
Babarsari, 2005Memoar Blue Screen
: groh/teew
Maka itulah warna yang terpasung dari umpatan
Di awal musim. Langit di luar tak pernah membiru
Baru sesaat bola mataku juling karena dering
Setelah mendung dan rerintik istirah sejenak
Kupandangi lagi manik cahaya sebuah wajah
Di penghujung tahun yang basah
Penampilan biru menyilaukan sepasang mata, tak terpahami
Ajarkan aku akan hanya
Warna-warna
Bergantilah, dia rindu yang lain
Hanya hujatan menyita waktu
Retina membatu, sudah habis sabar
Lelah lepas cabar
Saat kita menanti tak pasti
Mungkin tak akan mesti purna-sempurna
Kalau saja wajah membiru itu secarik puisi
Tentu bertuliskan bahasa keindahan
Sebab, semakin tak tereja. Tak lagi bertanda
Pun makian, seperti angin yang kita bawa. Menghembus
Hempas dalam pandangan
Gayam, Desember 2005
Hingga Jika Teh, Hingga Jingga
Aku biarkan sepoi angin
Meniup kaca jendela
Menuangkan isi gelas
Senja kecewa
Gerimis tak kembali
Geram menyala yang jingga
Mentari berlari dari singgasananya
Sayang, ada kelesuan
Merambah marah, memecah sepi sesaat
Tapi jengah mengajaknya beradu kata
Ajak bersajak
Ajak jejak pendapat
Segala sesuatunya menjadi benar-benar ramai
Gemeretak, menahan nafas
Sesak menjejak
Di luar ramai rekan. Di dalam mendung tak berkeputusan
Kian membatasi pandang. Langit retak pada retina
Lalu metahari runtuh terseret dalam halimun pekat
Seperti ujaran dari bibirmu; apalagi lancing
Pada sobekan sajak pemberian, seperti retakan gempa
Pada kedalaman hati. Tak ada yang dapat dipahami
Ketika ada pelukan di penghujung malam dan isak berapi
Termangu tanpa pengadilan batin
Semua seakan membuncah ranah puisi
Menyulut kesumat (hanya diam). Tapi, aku juga berjelaga
Terban 455, Desember 2005
Masih Belum Juga…
Sudah bedug subuh
Bola mata merajalela
Mencatat tiap rintik hujan di atap
Pada kata yang masih buram
Menanti fajar datang menghampiri mentari
Langit tetap legam
Oleh segumpal harapan
Agar ia mau terpejam
Karena malam belum padam
Terang benderang di cabikan sajak
Di tengah kungkungan arwah yang kini berlarian
Ditikam isyarat tuhan
Dengan luka mata sang penyair
Hingar-bingar hampir terdengar
Cerita yang itu-itu saja
Kemacetan, pengemis, pengamen, dan lalu lalang
Kataku tak lagi berakal lagi
Entah…
Di ujung kata-kata
Detak arloji menjelma tarian angkara
Di selubung malam, tadi
Bagi seberkas sinar yang tertanangkap kornea
Tak mampu terpahami oleh kegilaanku
Yang kini tinggal terjaga
Terban, 17122005
04:20
Arbitrase Pinang pasang
-amree-
Rembulan terkencing di pelukan
Desah menghempas, ombak beradu karang di lautan
Dan, tak ada yang peduli
Dari serpihan papan; dipaku sebagai dinding sepasang
Sampai menggelepar dalam. Dalam…
Engkau lahir tak genap
Sebab kau pinang bunga mayang ke ranjang bambu
Di balik kelambu salju sebagai taburan bintang
Dari sana mimpimu mengarung
Susuri samudra, menuai badai, langit bergemuruh
Yang berasonansi dengan getaran kalbu
Entah siapa melempar sauh; raih kemudi ke dermaga
Seperti juga hidup mendendang desah
Harmoni sekejap kolaborasi. Pelayaran belum sampai amuk ombak
(masih mahaluas)
Ada yang memasang gelombang pada tiang pancang
Bahtera baru saja bongkar jangkar
Lalu kau terbangun dari mimpi
Dan kau telusuri panjang dermaga
Mengisahkan benih dengan musikalisasi
Seribu notasi tak terpahami
Pantai masih jauh, teman.
Dari daratan sini kami menerawang
Kehilangan kaki langit puncak layar
Yogyakarta, 23 Januari 2006
03.18
Purnama Merah Jambu
Seberkas sinar menerobos tirai
Ia berbagi kisah dan desah
Pada dinding basah senyap disekap tanya
Berapa kali kita bercinta?
Purnama membuncah tanah merah, sebab terlalu angkuh
Gelapnya menggelapkan akal puisiku
Kata-kata semakin tak beraturan menjelma bintang sombong
Tak ada baris kata tereja. Hilang tanpa rupa aksara
Purnama merah jambu mengirim kado buatku
Sebuah lukisan tentang malam yang itu-itu saja
Kadang terang kadang mendung
Sepi bintang sepi puisi
Seperti bulan ini, aku mati metafora
Tak tertulis sajak melankoli
Ketika imajinasi dan fantasi sepi
Di hadapanku purnama terpantul di cermin
Sungguh angkuh tak seperti kekasih
Yang tadi habis berkasih, terpuruk di belakang pintu
Membenamkan mimpi. Sedang aku masih bermata jalang
Semalaman merangkai puisi sekadarnya
Buat kekasih sepasang yang bertukar cinta
Kupetik setangkai bunga mimpi
Akan kupaketkan cinta dan rindu buatmu
Tahun depan. Ketika kita tak lagi sama-sama punya mimpi
Terban, 02:00, 14 Februari 2005Cipta Hening
Desah dalam dan liuk tengah malam
Lereng longsor dalam meditasi telaga sunyi
Sedang berpasang di seberang sedang meregang
Ranjang menggelinjang
Dendang katak berkubang
Saling terjang, saling tumpang
Tenggelam di balik selimut
Ada sesuatu yang berserak
Seperti kapstok, lelah menyangga nestapa
Sehelai demi sehelai berjuntai
Jatuh, lebur pada batu-batu itu tubuh
Tinggal decak cicak memekak ruang mimpi
Yang melelapkan aku, kau, juga mereka
Sampai lupa rumah hati diri sendiri
Sebelum esok pagi menyisir turun kembali
Malam sempurna hening
Yang mencipta lelangit dan sorga buat mereka
Mungkin neraka bagi kami
Kaliurang, Maret 2006
Bukan Tapi, Hanya Karena
Daun pintu enggan terbuka
Kamar berjelaga
Intonasi rendah penuh gairah
Malam sedingin tak kuharapkan
Bukan tangis pilu kehilangan air mata
Yang terbendung dua sungai semuara
Anak yang hilang
Dari kerangkeng
Tatkala diberi sedikit jarak dan ruang dari semang
Tidak buat merangkai angka dan huruf
Tapi, hanya notasi ganjil di gigil malam
Udara yang mendidih; sedang di luar halimun turun
Dan peluh beradu peluh
Sekelumit kata, decit kursi derit
Erang yang jalang
Memanggil langgam malam
Dari segala gelombang hawa dan suasana
Sisa asap pengap
Puntung mematung dalam asbak
Gelas berbekas dengus
Bukan seperti basa-basi biasa
Segalanya berkecimpung
Suara itu bahkan tambah syahdu
Aliran posmo
Sebuah sungai menggiring gumpalan rindu
Hingga muara kata membentang puisi
Lautan mengangkang tubuh lusuh
Milik kita sama karenya-Nya
Kaliurang, Maret 2006
Mati Listrik
Malam gusar
Luput dari tegangan Sang Mahastroom
Sebujur pohon menindihnya kesal
Rerontok daun hangus puas menampar-nampar
Sedang sedemikian sunyi gelanggang
Sekalipun sekejap mencari memori
Di luar begini, mana kepala mana kaki
Gelap mengakap seisi cakrawala
Bergejolak suara angin
Aku kembali melukis mata kucing
Hingga gelap langit kelam
Embun menantang bulan bersarang
Sebagai permainan penghujan
Tapi ada gerah di tiup waktu berlalu
Gerimis membawanya ke sana
Lantas aku amblas tanpa nyala, juga nyali
Dan kusimpan bulan dalam pelukan hujan
Karangmalang, Maret 2006
Pasukan Berani Mati
:tukang becak alun-alun
Senja kelana menyerbu sebaris harap
Kaki telanjang, kaos oblong basah peluh
Mulut mengerucut tawarkan keluh
Riuh dan hanya riuh dijeritkan. Selebihnya merintih
Pengayuh tua merendah tangguh
Ia senantiasa hidup dari pedih
Ditatap mereka satu-satu sambil angluh
Bumi enggan menyempatkan ruang
Sementara ajakan dan rayuan
Mesih kalah lantang sedan lalu-lalang
Makna tak lebih sebuah anggukan
Mungkin sekedar puiitis atau sarkasme tak peduli
Demikian, terlena oleh hura-hura pengembara
Kratonku tak lebih seperti rumah singgah bagi mereka
Jiwa-jiwa pasrah, tapi tak menyerah kalah
Kegaduhan yang hampir serupa, sebelum dan sesudahnya
2006
Sajak Ulang Tahun Kita
: 11 Mei
Bias senja di penghujung hari paling tepi
Rona jingga di langit gedung tua kota lama
Sebabak skenario tuhan menggiring kita
Bahwa tak selamanya bisa bersama
Di sepanjang jalan, alun-alun atau tiap sudut kota
Biar saja kau kenang esok siang
Jika langit tiba-tiba menggelinjang lantas hilang
Dan kita saling pandang dari jarak berbeda
Di sebuah taman
Lampu mercury terang di awang-awang
Pohon ranggas menyiluet bangunan peninggalan
Mungkin kita tak lagi bisa ke sana
Menyaksikan geliatnya, lalu lalang, tapak kaki kuda
Yang siap mengantarkan kita ke peraduan paling mulia
Singgasana-Nya
Lalu kita terpaku di antara beringin dipermainkan angin
Perlahan hembusan berhati nyaman menyibak tiap helai rambutmu
Dan senja memerahkannya seperti turis itu
Kita tapaki senja untuk kali ketiga
Sekawanan pengamen, pengemis, gelandangan kecil
Mencoba menopang pada jalang
Jalanan ditumbuhi paku bumi yang keji
Kemana ia akan mengalamatkan kaki
Sekeping-sekeping melayang untuk sebuah piring
Agar tak selalu berdendang kosong, begitu juga hati kita
Kota tua tempat menjalin suka dan gulana
Berabad-abad memahat budaya mengukir cinta
Menulis puisi dan ceritera pada kanvas,
tembok pagar atau kursi taman
Tempat ia berakar. Sajak cinta menerjemahkan semerbak polusi
Yang bising suara, jengah dicerna hingga aku kamu
Tak bosan berseteru di benteng jati diri
Aku ingin menyemarakkan sajak di trotoar
Yang dipenuhi tikus dan kecoa
Sambil sesekali mengenang ramah-tamah sambil menjamah
Gemah ripah yang hampir rapuh dan separuhnya roboh
Sampai sajakku terjatuh dalam sejarah
Sebab puisi cinta kita tak akan lagi bisa tumbuh di sini
Sampai jumpa di bait puisi yang lain
Terban GK V, 2006
Lanskap
Pemandangan yang itu itu saja
Sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Horison yang kadang hitam buatku
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya menggebrak nusantara
Tugu atau prasasti namanya menghempas di kampung pribumi
Tanah resah bersimbah darah
Banjir darah, jadi bunga seloka
Di kepingan sejarah dan pematang sawah
Darah di gurat-gurat tanah merah
Telah tumpah menjadi buih yang lahir dan hadir
Tumpah darah aliri bantaran Code
Dan diberi tanda, derita juga kefanaannya
Untuk buangan mereka
(anak kecil itu mungkin lupa bahwa yang dikencingi adalah
aliran darah pahlawan)
Lembah Code, 2006
Di stasiun ini
Raga-raga lungkrah bersandar
Mencoba gambarkan indahnya hari esok
Bercanda di stasiun sana – sini
Merajut seribu cerita cita
…
Di ujung rel itu
Itu adalah stasiun terakhirku
Cirebon, 14052003
Ziarah
Di kubur ini aku bersimpuh
Menepi,
Siapa sangka ada bisik serapah
Asap mengepul berjuntai
Jerit lengking:
Ini jangan dimuat di koran nanti akan jadi buah bibir
Lab. Karawitan UNY, 28 Mei 2003
Sendiri
Tiap malam memikul sunyi
Tanpa teman
Dan angin yang menggantung
Di atasnya atap itu berbisik
Kenapa selalu sendiri?
Rembulan muda tampak sedih
Lihatlah!
Air matanya mengucur deras
Hidupnya tersangkut
Di pucuk pepohonan berduri; gundul
Tanpa dahan dan dedaunan
Tiap malam menyendiri
Memikul sunyi tanpa nyali
Lalu KAU dimana
Saat ini ketika aku sendiri?
Metro, 2003
Cerita Malam
Malam temaram
Mega tersilap mendung bergelantung
Aku bengong pikir bingung
Angin malam hembuskan gigil
Semilirnya malam tiupkan nestapa
Malam,
Tubuh goyah rebah
Hati semakin pilu
Gelap dan kelam
Tanpa cela untuk sinar menyapa
Manisnya bibir kecupkan duka
Malam,
Mega kelam sudah tersingkap rembulan merah jambu
Hancurnya hati mulai tertata
Bagai merajut benang sutra ungu
Gejolak hati sirna
Penuh berkah Yang Maha Kuasa
Metro, 2003
Cinta 1 – 5
Dewi Kunti hanya bisa menangis bukannya senda
Ketika Karna sewaktu gerimis di padang Kurusetra
Datang dan melempar tanya
Soal sesal yang kekal berkerak di telinga;
“Wahai Sang Ibu berputra satria utama,
Apakah makna cinta sejati
Jika hanya tersimpan di hati.”
Suryatmaja berlalu ke medan Bharatayuda
Meninggalkan pertanyaan keras bak batu berkarang
Dada sang ibu berdegub seraya
Di tengah pintu
Pandangi senyum Surya yang tinggal bayangan
Metro, 2003
Catatan Malam
Menengok kebun belakang
Dari lubang kunci
Ular belang menelusur gerumbul ilalang
Pemandangan itu terlihat indah
Bagai lukisan tiga dimensi
Penuh misteri
Metro, 2003
Lilin & Hati
Sudah hampir padam
Sebentar lagi pasti padam
Dan situasi kembali sunyi
Tapi jangan kau halangi jalanku dengan kilaumu
Karena kobar hati lebih terang
Lebih dari kobarnya api
Metro, Juni 2003
Jika Kau Tega
Biar saja kelelawar datang sore hari
Itu hatiku mencoba mencari
Yang lama lupa diri
Memang kau lupa
Tapi aku masih menunggu
Membuka pintu
Kapan saja kau pulang
Masih pagi ketika itu
Dingin merasuk dada
Hujan rintik mengelitik
Membuka lamunan jauh menerawang
Lalu aku,
Hatiku terasa tersisihkan
KAU!!!
Biar saja kelelawar tiba sore hari
Mengepakkan sayap lebar-lebar
Itu hatiku yang runtuh
Karena tersirat kabar
Jika kau tega menambah lukaku jadi pilu
Untuk kali ke tiga
11062003
Suara Kesederhanaan
: buat tw ”ungu”
Tiap malam kutulis ucapan kasih
Kukirim lewat embun dan kibasan
Kupu – kupu musim kemarau
Semoga terbuka jiwamu
Jika cinta itu putih suci bunga melati
Lihatlah dinda
Tak ada cerita jika cinta berharga harta
Karena cinta tetes darah
Meneteskan seribu getar
Mengambang di pelimbahan jiwa
Laksana teratai ungu
Berjuntai di taman Kahyangan Cakra Kembang
Mari ke sini dinda
Terima rasa rindu
Metro, 22 Juni 2003
Samudra Hati
buat seseorang yang duduk di sana
Detik…menit…jam di samudra
Tlah kuarungi
Tapi tak ada gelombang menghuyung sampanku
Tak ada semilir angin
Yang dapat menghempas kapal berbendera perang
Menuju pelabuhan-Mu
Pelabuhanmu tak tampak di pelupuk sanubari
Topan badai bergulung nun jauh menerawang
Terbesit di horison jiwa
Untuk menyongsongnya
Selat Sunda, 1 Juli 2003
Jika Angin
Jika angin berhembus ke barat
Aku kirim secarik
Kepada engkau, oh Jakarta Kota Metropolitan
Kapan bundaran HI jadi sepi?...
Jika angin berhembus ke timur
Aku titip tanya sekali
Kepada engkau, oh Jogjakarta beragam budaya
Jika ingin disebut Jawa
Apa harus selalu pakai surjan?...
Jakarta ~ Jogja, 2 Juli 2003
Wadam
Seseorang
Lelaki yang telah disuntik Betina
Menghampiri aku
Tatkala menyepi di tepi Ferry
Merinding bulu roma
Saat kau menyapa
Terbirit aku putih mata
Bagaikan Gerwani
Melempar batu acungkan tangan
Meninggalkan nyeri di hati
Apa maumu?
Putra Remaja, 020703
Korban Bercinta
Bermula Bhisma bersenda lalu bersendawa
hingga terlepas panah dari gendewa
Jadikan Amba meraba pusara melepas sukma
termakan sumpah Bhisma dengan Dewi Gangga
“Aku akan menjemputmu wahai putra Gangga.
Kelak masamu ‘kan tiba
dari busur senopati putri negeri Amarta.”
Hal itu terdengar oleh Dewa dan tersabda
Bhisma tersedu bersujud di samping jasad membeku
Cinta Amba pupus karena budi
Terban, 3 Juli 2003
Progo
:catatan malam penghantar masuk angin
Menunggu penuh haru hingga paruh waktu
Di barisan kosong bangku-bangku yang sesekali
Mengajak cacing dan asam lambung
Mendendang tentang arti kekosongan
Dari jauh,
Deretan besi, jajaran baja penghantar kepulangan
Menelusup dalam pelukan bulan sabit
Semakin lama makin membikin sakit.
Perutku mulai menyusut
Ketika angin mulai menusuk perlahan
Menerbangkan sajak cinta dan puisi
Yang tak akan pernah selesai
Kutatap sosok itu satu-satu
Melintas dalam buram malam
Datang ~ berhenti sejenak ~ lalu pergi lagi
Sepertinya tak pernah menyapa apalagi membawaku ke sana
Setasiun pungkasan, pemberhentian akhir
……………………………………………
; ada perubahan jadwal pemberangkatan karena
kemarin beberapa kali terjadi tabrakan kereta
st. Kutoarjo, 2003
Hanya Bertanya
Tolong jawab, Langit!
Bintang timur yang menggantung itu
Di mana tempat jatuhnya?
Karena memancar dalam ranum malam,
Akan kucari di mana Parikesit,
Satria piningit
Parikesit atau Dewi Sri
Telah lama meninggalkan negeri ini
Engkau tahu!
Hamparan sawah tinggal cerita
Tergusur gedung-gedung menyilaukan mata
Langit , tolong jawab!
Apa Tuhan masih mau temurun
Menyaksikan padi-padi yang meriunduk lesu
Memendam derita sepanjang mangsa?
Jogja, 170703
Dunia Sofie
Duniaku-duniamu
Duniamu duniaku juga,
Dulu
Aku punya sehelai benang sutra
Sayang, telah kusut
Sebelum sempat kurajut
Tapi,
Bubur itu mungkin belum basi
Cepat lekas panasi
Dibumbui lagi;
Bubuhi santan dan gula biar manis
Seperti hari kemarin
Kini tak hanya basi
Karena telah tumpah
Mengguyur kerudung warna ungu
Muara syahdu, sayangku
Piss forever to you
Terban 455, Juli 2003
Risalah Daun
Daun hijau warnanya
Akan kucari jika ada yang tak berwarna
Kunanti ia di seberang senja
Seketika menitis di sela stomata
Menguak fajar silih berganti
Tersapu sinar mentari
Menyingsing di horison mengharu biru
Digiring gelombang bergulung
Terdampar di selangkangan karang
Menyisih dari haribaan ibu pertiwi
Sendiri tanpa arti
Angin pantai mengibas hijaunya
Terbakar nestapa bagaskara
Hingga hijau bergradasi jadi kelabu
Tiada berharga, hanya tersisa ratap
Iri mengerling daun menghijau
Ranting bakau berkaca samudra biru
Bakauheni, 2003
Anggap Saja
Anggap saja mendung akan turun
Menitikkan gerimis atis
Walau belum karuan turun sebab ditolak dukun
Jangan kau anggap rinduku akan terhapus hujan November
Karena masih ada terik mentari
Anggap saja sakitmu akan sembuh
Walau engkau tak tahu obatnya
Karena sehat nikmat dan anugrah
Anggap saja Gunung Merapi akan meletus
Walau tak tahu kapan terjadi
Mungkin ada yang menghendaki
Dan, bukan gunung jika batu-batu di lereng dapat ditambang
Habis!
Metro, November 2003
Suara Hujan
: pbsi uny 01
Aku rindu suara hujan
Gemeritik memecah, mengusir sepi
Tuturkan wahyu terucap
Ada yang akan datang di ujung petang
Aku benci suara hujan
Air menitis dari atas genteng
Berlimbah mengguyur rumput ilalang yang tampak gelisah
Karena tabir tersingkap badai
Aku rindu suara hujan
Ia mengingatkan mendung dan kilat menyambar
Melambai, menanti
Ketika kita harus pulang
Kembali
Metro, 2003
Ihwal Tikus
Tikus-tikus masuk lumbung
Bersantap beras terkuras amblas
Meninggalkan sisa lubang di belakang
Tikus-tikus merambah sawah
Merambas padi rantas di lahan petani
Sisakan tepian-tepian ngeri
Ratu tikus di barisan terdepan
Sebagai teladan
Tikus-tikus gendut berisi
Diasuh, ditimang, dibelai obsesi
Meninggalkan tangis anak negeri
: Mau makan apa mereka nanti
Metro, November 2003
Sehelai Sajak Pamungkas
: tiwi_ungu@yahoo.com
Kutulis untukmu, Yang
Yang tampil beda dari sajak lalu
Yang keluar ketika pulang sembahyang
Setelah kian tenggelam dalam kenangan
Kucoba memulung sepasang-sepasang
Sobekan senyum yang tercecer sepanjang jalan
Jika tak lagi tangan bergandengan
Kaki tak lagi melangkah seiring jalan
Di antara sepasang senyum itu
Kulihat lautan api membara di matamu
Sinarnya mampu membakar kapal di galangan
Teriknya mencubit sakit kaktus haus dan kekeringan
Tak akan kumuntahkan pahit
Ini
Sampai lidah bisa menjerat
Hati
Di sini
Dalam sepi hampa di dada
Masih ada sehelai sajak pamungkas
: nantikan aku hingga ujung purnama
Metro, 281103
Awan Putih Domba
Awan putih domba
Mengintip pemandangan pilu
Di balik pintu rumahku
Hantarkan syair yang kuterima
Ternyata tumpah tanpa sisa
Awan putih domba
Awan yang dijajah terpenjara
Untuk memerahkan darah
Memutus nadi hidup-mati
Awan putih domba di atas di dalam
Kolam merona merah padam
Lewat embun pagi aku pamit
Sayup terdengar suara menjerit
Puisi-puisi luka akan tetap kubaca
Sampai senja gemilang tenggelamkan hampa
Dunia adalah nyawa angin malam
Halangi embun pagi meneteskan duka semalam
Tak akan basah ujung pengharapan
Awan putih domba
Berlari mengejar matahari
Metro, 2003
Menyulam Cahaya
Menyulam cahaya dari dian menyala
Tajam berbinar mengobarkan rasa
Dari sumbu sobekan sutra
Menanti bagaskara menyinari
Berganti hari guna meraih asa
Menyulam cahaya dari dian menyala
Tertata demi selembar dalam prasasti jiwa,
Nanti jika minyak patra dari dian hidupmu
Semakin surut, cahaya terlena
Meredup berkelip,
Biarkan,
Jaga
Siang dan malam, sebab
Ada hidup yang tak hidup dan
Tak ada yang kekal di dunia
Parangtritis, 01012004
Langit Lembayung Menelikung
Langit lembayung menelikung
Dan mendung runtuh berayun
Mengguyur mawar mengumbar wuyung
Mengalir membumbung di pelimbahan, tapi
Jangan sampai menggenangi bungaku yang belum lagi setaman
Biarkan ia diasuh bumi dan kehangatan,
Kuncup bersemi di pelataran hingga ranum mekar berbarengan
Akan kupetik sekalian bunga di taman
Kurangkai dalam satu ikatan,
Lalu kukirim lewat langit lembayung menelikung
Berharap diterima dengan senyum berkulum
Jika kuberi kau:
Mawar merah, aku simpati padamu;
Mawar merah tua, memang diam-diam aku kagum padamu;
Mawar merah jambu, aku sayang sama kamu;
Mawar merah kuncup, artinya cintaku benar-benar tulus nich;
Namun lebih suka kukirim engkau mawar putih kuncup
Sebab, lucu banget dech loe?
Semoga ‘kan lestari dan bersemi
Bagai serangkai bagai mawar merah-putih yang selalu padu
Takkan kuberi kau mawar kuning, sebab aku bukan Butarepan
…
Dengan tangkai ini dan secarik lirik barat tersurat
: Valentine, U’re always on my mind and in my heart
Jogjakarta, 2004
Album Foto Usang
:Penghantar Kado Ulang Tahun:Tiwi_ungu
Saat lembar pertama dibuka
Dari album foto usang
Haruslah banyak pertumbuhan dan Perkembangan
Perubahan dari sosok,
Semakin utuh dan jelas ujudnya,
Semakin terlihat guratgurat wajahnya
Semakin harmonis warnanya,
Semakin sempurna komposisinya
Hingga sampai lembar berikutnya
Dengan kemilau keperakan
Memancar dari jari manis sebelah kanan,
Gunakan
Untuk memutar jarum jam hidupmu
Dengan sedikit energi
Dari setiap baterai re-charge yang kau punya
Jangan sampai bersimbah air meski water resistant
Biar sampai lembar ini saja
Jangan kau buka lagi rentetan peristiwa yang belum tiba
Isi dengan belai dan rasa
Hingga lembar terakhir dari album foto usang
....
Aku kehabisan kosakata, kosakata tanpa gaya bahasa
Hanya tiga kata yang tersisa dari kamus bahasa
: Selamat Ulang Tahun
Gg. Guru, 26 Januari 2004
Rindu Duka Berkabut
Melangkah dalam remang senja
Langit Jogja kelabu bergayut mendung
Tapi tak turun hujan,
Hanya mencipta kegelapan,
Hanya mencipta suram
Menggiring rindu duka berkabut
Melangkah dalam gelap malam
Mendung menggantung mengungkung Temanggung
Saat separo jalan dari menengok rekan
Menanggalkan rindu duka berkabut
Dari kaki Sindoro yang bertekuk lutut
Bersujud merindu bagaskara menyelimut
Semaisemai tembakau yang belum sempat
merengkuh tanah merah kehitaman,
Gembur mengubur akar-akar merindu
Bertemu
Temanggung, 2004
Alur Hening
Layaknya senja ini, di perempatan jalan
Di antara tetes gerimis mengendus helm-ku
Memaksa bersin mengalirkan asin
; Kenapa tak kau balas sms–smsku
Itu batinku yang kebasahan
Dihembus sepoi angin Januari; hujan gaharu
Layaknya senja ini,
Saat tercoret sajak nelangsa goresan lidah
Mungkin meratapi kebisuan retakan tanah merah;
Sedang apa kau di sana
Sayang,
Sepi tanpa dering
Aku membisu-menung tanpa bahasa
Di antara detak dan lirik
Seirama wajah berandai–Andayani
Puisi duka yang tak pernah berubah
Takkan berubah, seandainya
Paham kalau kau selalu merindu
Hujan membikin hati terendap membeku
Kegalauan murka menjelma luka menyayat jingga senja
Seketika kesunyian menggerayang
…
Tak tahu ini puisi keberapa
Demi meluangkan waktu mengabsahkan keheningan
Karangmalang, 2004
Rintih Serpihan Jok
Tangan-tangan berkarat mencengkram,
Mungkin engkau ngangkang
Membusung di serpihan jok
Dengan tersedu menekur
Kembali meringkuk memeluk bayang-bayang
Sendiri
Tangan berbisa mensugesti berseronoh,
Senja ini perkenankan duduk
Di serpihan jok menyandarkan letih
Menjemput bual-bual tertinggal
Menyinggahkan impian
Lewat di barat matahari senja
Mengabarkan kemuraman terselubung
Karangmalang, 2004
Sketsa Sosok
Angin hembuskan aroma tubuhmu
Sesekali menyengat sukma – raga yang segera rapuh
Menggelepar melumatkan lembah sunyi
Berangin beliung menyeruak sketsa suram
Membawa bulir-bulir gelora,
Kenapa selalu melahirkan rindu
Pada sketsa sosok Roro Ireng bersenyum
Melampaui gurat-gurat tembok di bilik
Sketsa itu tak begitu kuat melekat
Hingga luruh di antara beribu gemintang
Kurengkuh teguh bibirnya yang ranum,
Kulantak tanpa decak angkuhmu, Kasih
Lewat angin senja menyalakan binar-binar rembulan,
Bidadari malam
Seandainya mungkin, takkan perkenankan
Airmatanya bersimbah tanah,
Menguap menjadi mendung kelabu
Menabur hujan kangen tak berkesudahan
Gondo Kusuman V, 2004
Mendung di Pelarian Musim
12022004
Sungguh tak kubayangkan seketika
Mendung di pelarian musim ini mengerang
Tentang kesaksian yang meringkuk
Bersama senja dari balik pintu
Karena mentari bertikam mendung terkoyak,
Merintih perih
Seiring kumandang adzan Maghrib menyulap penyesalan
Pesonamu luruh dalam kotak akuarium
Ikan koki-moli-gepi mengejek picingkan senyum
Menyaksikan tetesan air mata kesumat
Ketika noktah bertabur karat
Mendung yang berkalang darah
Melukis senja celaka penghantar musim berkabut
Akhiri cumbu nafsu dari helai-helai desah nafas
Memburu
Langkah kelingkaran tali simpul
Mengikat kabut tergelayut mengumpati kutukan hidup
Ruang Dosen Terban 457, 2004
Prelude
Buih-buih berkata lewat ranting tanpa daun
Basah
Dan dari hilir jauh sepenggalah senja tepian kali
Itu
Menenggerkan lumut yang terbenturbentur pualam
Tersangkut gombal bercampur lendut
Tak bergerak tak berdecak
Dan hanya membiarkan ranting
Yang jatuh telungkup dari atas kota tang bising
Menunggu
Di pusaran air tanpa jejak dan sajak
Sembari mengail mikjizat
Menenggelamkan catatan perjalanan
Suram
Dari tawar tanpa rasa mata air mata
Menuju Asin luasnya samudra bertameng karang
Akankah ia mencapai muara
Dan ombak menyambutnya dengan selaksa puisi
Babarsari, Maret 2004
in College
buat Bapak Burhan N.
dan fans-fansku: Pujiati S., Darmiyati Z., Pintamtiyastirin,
Ari K., i Tadz, Siti Nurbaya, dll
Jemari telanjang menjulur
Seirama tinta menari mengukir
Dari balik pintu menjelma sosok maya
Tentang rupa angkara
Tenggelam dalam rawarawa
Tanpa tepi, tanpa sepi
Sesaat tik-tok arloji mengalun
Bisikkan kantuk tak menyadari hari esok
Biarlah,
Selama nafas masih mendesah
Takkan kuremas kertas-kertas berserak
Kupungut lalu lenyap dalam timangan
Bersama siang menyilak pagi yang kepagian
C.08 FBS UNY, April 2004
Kujemput Bulan dengan Keharuan
Sesaat lambaian itu memporak-porandakan
Mimpiku yang belum lagi sempurna
Tersenyum di tengah pintu beratap senja jingga
Bercermin lewat bayang hitam di hadapan meski
Tak mungkin kabur diterpa ocehan angin
Temaram di tepi hingar-bingar terminal kota
Riak membisik syahdu di kebisingan
Meliuk-liuk bersama sibakan kerudung ungu
Wasiat bagi hayat hingga mayat
Lihat! Rasakan!
Kusahut derai senyum itu dengan uraian kata
Dan seuntai puisi dari sunyi kedalaman
Kala menjelang petang di lintasan pekan
Sebelum hari pertama bermula
Sapamu memagut matahari hampir separuh
Lantak tak terlewat
Lihatlah nanti?
Kujemput bulan dengan keharuan
Sebab siang hampir petang
Umbulharjo, April 2004
Bintang Bercinta dengan Kelam Malam
Bintang masih bercinta dengan kelam malam
Saat purnama hilang dari balik tembok pagar
Mungkin berpentas untuk kami dari kegelapan
Selatan kota itu
Horison yang kadang hitam buatku
Belum lagi saat terlena
Tentang cerita bulan dan bintang bercakap
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Sisakan puing pecahan bata merah
Menyembunyikan segala kelam dari sinar bagaskara
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak, sepenggal –
Sepenggal lalu tersebut nama sebuah kota
Dari kemenangan yang terbuang ke seberang
Mencari bintang yang bercinta dengan kelam malam
Bersama purnama berenang di lautan
Hingga berlabuh fajar pagi Bertapis Wawai
ISI, Bantul, April 2004
Sajak Pengharapan:
Untuk hidupku yang satu detik lagi
Aku mungkin mati satu detik lagi
Namun jengkal hidupku siapa tahu
Detak ini menggertak-nyalak hendak lantak
Retak diterjang ihwal dewata Nitikawaca;
Inilah sosok durjana dari hinasahaya
Wahyu takut temurun
Itu bukan malaikat salah mengeja
Catatan suram perjalanan menikung masa silam
Atau pendakian terjal tak berpuncak amal penabur dosa
Kutau mungkin terlalu cepat mencekat tuk sujud
Seuntai harapan tak sudi mencerna doadoa dari sosok
Ornamen yang belum sempat terpahat oleh zikir mengukir
“Niat insun kula Sholat”
Oo, pendosa meracau lewat sajak pengharapan
Titi wanci; mungkin detik ini
Ini hari minggu ini entah bulan depan
Warsa ini windu ini atau renta kala
Itu tak mustahil tereja Asmaulhusna
___
Untung malaikat menarikku ke sana
Nyanyikan pujian asmaradana menjelma
Gema bedug menggemuruh mengharap
Untuk hidupku yang satu detik
Ketep – Borobudur, Mei 2004
Senja di Candi Borobudur
Dari balik stupa aku bercermin pada-Mu
Bercermin relief Rupadatu
Memandang kepala-kepala-Mu yang hilang
Ketika reca itu lenyap dari jangganya
Senja dilahap mendung
Dan memuntahkannya sebagai guyuran hujan
Dari sesenja perjalanan pungkasan
Aku bersujud
Bukan untuk batu-batu itu
Tapi untuk Rabb-ku
Borobudur, 2004
Bacakan Puisi ini Sekali Saja
Bacakan puisi ini sekali saja
Pada suatu waktu kau sedang terlena
Biar dalam hati tapi penuh nurani
Dengan mimik gesture vokal menyalak
Tapi ingat!
Puisi ini bukan untuk deklamasi anak SD
Yang ingusan
Yang belekan
Yang ngising di celana
Yang gratil
Yang dekil bengil bocah udik
Atau anak TK manja semua Ma – ma
Himbauan!
Puisi ini hanya dibaca oleh yang punya jatidiri
Ya, sepertimu yang punya hutan jati
Di Kalimantan Sulawesi Papua atau Sumatra
Barangkali di Aceh diselingi belukar marihuana
Peringatan Pemerintah!
Membaca puisi dapat menyebabkan mulut berbusa, serangan lemah jantung, Tubercholosis, gangguan tenggorokan, dan kehamilan masa pubertas
Ingat!
Puisi dibaca bukan hanya karena ada niat
Tapi karena ada kesempatan
Baca!
Baca?
Terban, 2004
Euforia Dunia suatu Senja
Bilakah fajar tiba
Dan seseorang menggendong bakul sarat
Berhenti di teras sebuah toko
Singgah survei sejenak
Melongok bocah ingusan
Beralas kardus di endus tikus-tikus
Tekur meringkuk dihinggapi lalat Kota
Yang lapar benar
Bocah ini tikus jalanan
Dari selokan yang tergusur ke emperan
Biar lalat gerogoti badan
Akan diterjang dahaga – lapar bersarang di kerongkongan
Yang lupa rasa dunia, akan Tuhanan
Bilakah senja di kebisingan Kota
Dan seseorang menggendong bakul
Sur – plus
Hampir (i)
Ulurkan tangan kanan – anggukan – dan sedikit senyuman
Titipkan pesan akarrumput di persawahan
Saksi Kota kejam nafsu jahanam
….
Sepasang tikus sehabis bercinta
Melata malu-malu menatap mereka yang terpaku
Lalu berlalu mencari jejak lewat semburat mega jingga
Dari lubang angin etalase toko mencerca
: selamat datang euforia dunia,
kami akan menantimu di dunia dalam berita
Terban, Mei 2004
Menjelang Petang
Dari selimut kabut pekat mengintip di perut bukit
Iguana tertatih merayap pada ranting pinus basah peluh
Setelah lelah layani syahwat terik seharian
Tadi
Sekelumit cahaya mercury berkedip menyapa
Bersenyum di tangga – tetangga rantau
Rayakan ujian hidup separuh tempuh
Kaliurang, Juni 2004
Edan!
Itu katamu padaku
Lama mengusang pada sosok tiang listrik
Nancap tak berkesip
Diendus anjing kudis
Sampai batas mana
Kegilaanku bisa menggulaimu
Aku masih menunggu
Ditemani jengkerik dan detak jam retak
Mencekat mimpi yang mungkin bersarang
Di ruang persemaian Kuldi
Menunggu kembali bulan datang
Kaliurang, Juni 2004
Menjelang Petang II
Ada tua renta permisi
Sesaat membungkuk di anak tangga
Matanya galau menatap petang merayap menjelang
Kenapa mesti membungkuk
Ini dunia milikmu, batinku
Kami datang karena rindu dendang malam
Di negeri kami hanya ada dering bising dan raung jalanan
Tegaplah!
Bulan ‘kan menyambut rona senja yang semangkin pudar
Letihmu ditunggu cucu merindu di gubug–Mu
Bawa batu berlumut buah tangan moyangmu
Jaga dengan uban mengakar keperakan
Jangan sampai kembali legam hitam
Meski lumut di batu itu berwarna hijau kuyu
Setidaknya memberi harap
Agar tak terpahat maksiat
Agar tak terinjak kaki-kaki jaman
Kaliurang, Juni 2004
Benalu vs Priyayi Berdasi
: Dia
Ada parasit nempel di pokok beringin
Disambar walet sesekali hampiri kami
Yang sedari tadi bersemadi, tak berucap tak mereda angkara
Bergelayut mega jingga terjangkit sisa terik penghabisan
Di bangku taman yang tampak usang oleh jaman
Tadi terlihat tamu priyayi berdasi teriring bedil-senapan
Sedari orasi bakal pemimpin negeri
Mampir ngisi perut bahkan minum darah dengan cawan revolusi
Di tempat bapak-Nya doeloe ngungsi dari ibu-Nya,
Mungkin terlanggar van Royen entah Renvill entah Agresi
Aku tak mengenal sejarah tanah ini
Aku hanya benalu tak punya harga diri
Di artefak dan monumen arkeolog tempat pasar seni
Para seniman gondrong doyan botol yang bilang dirinya nyeni
Masih lebih Nyeni bahkan Nyastro mereka priyayi berdasi
Yang barusan masuk mercy
Beliau pintar bersyair fatwa pujangga
Beliau lantang deklamasi
Beliau gapah bersilat-acting di hadapan tamutamu penting
Dengan properti para menteri, delegasi, diplomat, Parlemen
Bahkan Mahkamah Agung atau rektor barangkali
Dengan setting memadai: Istora bahkan Istana negara
Untung saja aku hanya parasit yang nempel pada pokok beringin
Tumbuh berakar saling tunjang sejengkal di tanah ini
Kabar-kabari desai angin, kicau burung dan pasangan bercinta
Berbincang masa depan
Tapi kasihan
Aku tak bisa bebas seperti walet terbang bentangkan sayap
Kotori baju priyayi berdasi yang lewat tak permisi
Gedung Agung Jogja, Juni 2004
Tlah Kupahat Sebuah Nama
; bersama Joko, Pur, dan Groh
Tlah kupahat sebuah nama
Lanskap keindahan hakiki di sepanjang bukit pasir
Tepian samudra dalam bisikan debur ombak
Bercerita tentang mata yang terlukis luka senja
Membias gontai tubuh hendak rubuh
Lalu selukis nama lebur bercampur pasir basah
Hancur luluh disapu buih
Merintih:
Kitakan bertemu dalam ragu
Lalu kita menunggu malu
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Tlah kupahat sebuah nama
Manakala kita suntingkan karang dengan pasang
Lalu berbuah buih memecah riuh
merengkuh matahari
memeluk bulan sabit kesepian
Dan hanya ditemani bintang diam
Yang diam-diam membidik awan kelam
Lalu mengajaknya bercinta dalam kepuraan
Tlah kupahat sebuah nama
Ditemani bintang diam
Menyalak sajak lokal milik rekan
Memekak tak hening oleh kelam malam
Lalu meneriak serak
; tlah kusuntingkan karang dengan pasang!
Parangkusumo, Juni 2004
DIVA I
SR & TA
Ada jalan sarat marka
Yang menuntun kami
memilih tak lari
Yang merindu sora diva
diujung jalan sana
Yang berpenghuni rona jelita
buah karya-Nya
Gombong, Juni 2004
DIVA II
Ada goa tua di ujung jalan sana
Yang sesekali merintis tangis
Lewat rembesan stalagmit netes basahi arca
Hingga bolong tepian muka
Seperti luka menganga ulah lingga yang batu
Diujung pagi sayup mata penjuru kota itu
Gombong, Juni 2004
DIVA III
SR
Dalam beranda
Menjelang datang sewarsa usia
Tengan-tangan mungil menampar wajah boneka
Mirip padanya
Hingga kuyu tetap kaku
Mungkin murka pada Bunda yang lupa setor muka
Atau sekedar rindu nenen dari putting nan unun
Lalu
dikulum bibir mungil
digigit kecil-kecil
dari susu Bunda mungil
oleh geligi kecil
untuk anak,
anak kecil
Gombong, Juni 2004
DIVA IV
TA
Di teras batas tetangga
Tumpukan batubata terbata mengeja kata:
Jangan kaucetak lagi diva-
diva ke dunia
Telapak kakimu bukan surga
Hanya neraka ulah polah mereka
Gombong, Juni 2004
Aku Milik Siapa ?
Kelakar kata menghentak rasa
Menyalak berdesak mengerat pekat
Gendang telinga mendengung
Tersengat lebah madu mendayu
Penuh nuansa menyentuh citra
Berkata:
Aku milik setiap orgasme alam
Jangan engkau mengekang apalagi berburuk sangka
Terban GKV, 2004
Engkau yang Kupilih
: SBY
Bahwa tubuhmu tlah kuhujam berulangkali
Tadi pagi
Dengan sepucuk puisi
Itu
Puisi yang nancap di kedua mata
Dan jantung landung
Mengundang hasrat bersatu
Meski dalam ragu
Merintih di pangkuan ibu yang lama layu
Lalu meredam khayalan imaji
Sampai seratus kegelisahan hari
Yang mungkin nanti
Mengurai khilaf
Mencerna doa dan harap
Berharap ibu tak bergolak
Menarikan selendang api
Menyala menyapa angin
Dan menghanguskanmu jadi abu
Saat senjakala tak lagi menebar jingga
Kemudian Batara Kala memagut tubuh ibu
Dalam bayang mega kelam
Membias resah hujan basah
Berakhir sudah,
Kembali pulang ke rumah
Terban, 5 Juli 2004
Menanti Kedatangan
:Devi Widiasari
Arah angin membawamu kemari
Untukku dan untuk kami
Setelah engkau menebar benih
Mengungkung warna
Pada mata
Hatiku
Pada luka
Mulutku
Meneriak kata
Irama membahana
Mengepulkan asap pilu
Lalu
Muka menjadi rombengan
Mata menjadi pelototan
Seiring petang menjelang
Datang
Engkau urung kirim pesan
Hanya harap menyisa ratap
Aku masih menanti
Kala angin menapak pelan
Dengan putih hitam kepekatan
Umbulharjo, 20 Juli 2004
Putri Malu di Luar Jendela
:tary
Ada kata terburu terucap
Saat pagi beranjak dari kesejukan-Nya
Merubah gigil jadi bengil ulah bocah bengal
Mereka murka rona alam alam yang masih merembun
Hampir basah peluh sepagi ini
Bukan alpa beta lupa lupa pada janji kita kemarin
Aku lupa bukan karena amnesia
Tapi kepala yang tak bisa bersandar pada hening malam
Tadi
Telat meninabokanku hingga fajar menyeruak maki
Putri malu di luar jendela masih lestari
Dibasuh embun embun pertengahan kemarau
Sesekali melambaikan tunjungnya pada kemaluanku
Yang menepi di seberang tembok sembari mencerna kata
Tak ada sisa kosakata yang tereja
Percakapan hanya mencipta gema
Karena kemarin bukan senda
Bukan juga orgasme alam belaka
Ambarrukmo, 26 Juli 2004
Sus Scropha
: kita, kami, dan kalian
I
Mengintip sejenak lewat kaca jendela
Belantara berapologi tentang musim penat
Oleh segerombolan puisi yang lama terperam
II
Kini puisi-puisi membuncah tiap bait tumpah dari celeng-an
Sepenggal terbayar oleh sesobek kertas di atas rerumputan
Lalu terbeli sebuah kisah cinta antara binatang dengan puisi
: kawin lari
III
Binatang hutan yang membawa lari puisi
Itu
Kami songsong bertiga di ujung rimba
Sembari bermonolog tentang jatuh cinta
Ambarrukmo, Agustus 2004
Senandung Putus Cinta (110903)
- Dewi Agustina -
Dering telepon menanti jawab
Di sana
Kata bungkam merayapi kelam malam
Mulut gagu meratapi perpisahan
Dari hari keakraban menusuk perut dan dadaku
Pada cita dan rasa yang mungkin sulit bereaksi
Semenjana rasa pedih menggurah di sembilan
lobang tubuhmu
Belum kita ketahui esok pagi
Mungkin egkau atau aku
Menyusuri cerita di sisi usia
Yang terus berevolusi
Ke lorong sunyi
Oleh belai angin kemarau September ini
Ayo, kita halau musim berdebu tahun berlalu
Dengan senyum bagaskara esok pagi
Biar pijarnya membikin gaharu
Metro Selatan, 11 September 2004
Pacar Kecil di Pertigaan
- mendhess -
Pacar kecil berlari
Berlari meniti matahari
Jatuh di gundukan jerami
Sisa panen gadu sepekan lalu
Pacar kecil,
Kau berpaling pada siang
Amnesia akan semarak underlag
jalan belakang
Kepulangan kita sehabis pergantian
Menggiring sampai pertigaan ruang dan waktu
Lalu sepertiga usia bertemu dalam kelu
Kemudian dan lain sebagainya pun
Kesengsaraan purba terlanjur terpahat
Di tepian jalan
Ditemani canda rekanan dan dendang memabukkan
Dari pelarian pacar kecil kehilangan jejak
Juga sajak,
Menghilang di serpihan mega
Menghalangi sinar-Nya
Metro Selatan, September 2004
Tidur Separuh
Ini bukan tidur
Yang kutiduri
Tapi, kau pun harus berhasrat
Biar tak sekejap istirah
Menurut pejam mata
Terbukalah cakrawala
Perempuan sepetang itu
Tertimbun matahari, tersaput kabut
Berserak. Berkerudung dalam ungu
Di tepian petiduran
Hanya aku dan kamu
Koyak dan tak rapi
Satu-satu atau keduanya
Berwujud tunggal di antara serpih kala hitam
Meranggas siklus terabai napasmu
Mrican, 2004
Pergi Jauh/go-far
Masih basah sekitaran rumah
Hujan hanya menghantar gerah
Kamu juga kami, memenjara diri
Dari rerintik, sedekap dalam pengap
Bercakap dalam risik
Senandung kidung asing
Mengerak kontras merambat pekat
Pepat suara menyublim mata
Yang sedari tadi tertimbun asap
Rintik hujan membasah angan puisiku
Gerah berasosiasi dengan atis,
Dingin malam tak jua reda
Pertanda rembulan tak lagi tergantung
Menerangi buram malam
Kamu masih di sini,
Menanti hujan membanjiri belakang kali
Menanti makan malam yang kemalaman
Papringan, Oktober 2004
Message Delivered
- TA -
Masih sempat kupagut seonggok mimpi
Tadi –
malam
– ini
Bayangan seseorang di seberang
Tersiksa nesta oleh sekawanan,
tapi bukan kawan……
Belum sepekan kutambat biduk
Di dermaga berbatu menerawang pilu
Pandangi ombak penuh tanda tanya
Bergulung mengejar bulan sabit jingga
Terhempas karang memecah riuh,
Mungkin rindu bertemu
Saat tersiar kabar dari titik-
titik kaca
Tanpa tanda baca
Tereja wacana tentang lara
“Aku takkan kembali esok pagi”
Bandarlampung, Oktober 2004
Tentang Bulan
“M”
Sepasang mendung
Saling berebut luruh ke bumi
Mengarakkan kelamnya,
Bulanmu tanggal tua
Langit kelabu, dan
Bulan sabit harap cemas bertabur mega
Dan dari mega mencipta kabut
Teramat nanar, tak lagi berbinar
Seperti semalam,
Di sepertiga malam prasiam
Mendung merambat di balik kedok Betara Kala
Tak jua tanggal sumbat
Meski penuh sujud
Berharap bersambut
Mungkin esok ‘kan datang
Menjemput rasi bintang sejagad
Pada penat melerai kesumat
Papringan, Ramadhan 1425H
Aku Lupa Membaca Firman-Mu
Mulut tersumbat, lafal terbata
Saat kucoba mengeja satu-persatu
Puisi-Mu yang sudah lama
Lapuk dalam iman
Juga segala Alif-bengkong tak lagi berfirman
; Aku ‘kan mencoba esok, di sepertiga malam
sebelum raga tertimbun nisan
Ramadhan 1425 H
Maghrib
Tenggelam di sini
Rerumputan bersujud tertiup angin
Gerimis runtuh demi setitik
Tak lagi kekeringan
Waktu semakin beranjak mendekat
Rengkuh segala itu
Sekejap akan hilang
Sebab matahari, korona memudar
Sebab angin, luruh dipetik mendung
Lalu aku, tinggal sisa
Selagi buku puisi masih bisa dibuka
Akan kuisyaratkan epilog saat buka puasa
Metro, Ramadhan 1425H
Semua Sama; TA
Air di mana-mana sama,
Ia sama mata airnya
Ia sama menuju muara
Mengalir di samudra biru memecah riuh
Berhias buih berkejaran menyapa pasir putih
Ia sama ramah tamahnya,
Mengalir di pegunungan sunyi
Menebar kesejukan dari kecipak dan gemericik
Pada batu yang pilu menunggu sedari hulu;
Riak berliku menyambut senyum paman petani
Ia sama amarahnya,
Mengamuk sebagai badai menghempas
Luluhlantakkan alam dalam bah
Ia juga sama dalam cinta,
Tumpah dari langit sebagai hujan kangen tak berkesudahan
Basah peluh dan desah menggurah sajak kasih
Terminal
-- Rp 10.000 --
Terbenam dalam deru sesore itu
Daratan dibanjiri riak dan peluh
Awal perjalanan yang kelaparan
Di antara sengatan aspal dan sejumput kenangan
Tertinggal dalam rentang waktu
Berserakan sana-sini
Menanti jumpa kembali
Dan aku gontai sebab hari masih lama
Matahari di ubun-ubun
Menyengat terik dedaunan
Hingga terbakar sebagai lembaran-lembaran
Penghantar kepulangan yang masih tanda tanya
Dia di atas sana
Dengan tega menyisakan selembar dalam celana
Terpaut uang di saku
Berlalu
Say good bye to you
Giwangan, 14:50-15:25 09112004
Pesan Cinta
Jika engkau rindu
Nanti, Dinda
Simpan saja
Jangan kau berikan siapa-siapa
Daku datang dari seberang
Membawa sepotong cinta yang kau pesan
Metro., November 04
Puisi Ilusi
Mungkin aku sepi
Malam bisu, siang berkabung
Di koridor mimpi
Saat rembulan tak lagi purnama
Mungkin aku sepi
Oleh engkau, aku asing penuh ilusi:
Menenteng busur di tangan
Dan sepucuk panah menanti tuju
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
“Jangan kau takutkan, Kasih
Panahku hanya secarik puisi
Tak akan menyakiti siapapun, tidak juga
KAU?”
Metro, 2004
Semalam di Pasir Putih
Masih ada nostalgia ranting hijau bakau
Baru saja bersemi
Ketika angin tiba-tiba bertiup
Menghempas segala harap, tinggal ratap
Pada selembar daun jatuh
Tersapu buih, terbaring pedih di pasir putih
Lampung Selatan, 2004
Pedagang Jamu di Geladak Ferry
Geyal-geyol bokong bahenol
Tawarkan isi dalam botol
Mengais kepingan tutup botol
Botol bertaut tutup botol
Selat Sunda, 08:45 10112004
Game Over
Ketika adzan berkumandang dalam liang
Ketika kafan berlapis membalut tubuh kaku
Ketika tanah merah menimbun segala cita dan karsa
Ketika permainan telah paripurna
Dan kita menunggu undian
Untuk menang atau kalah
Metro, Nopember 2004
Buat Kadalis
Di kampung kecil itu
Matahari turun
Dan kita panas
Oleh bara dan terjal pendakian
Yang tiba-tiba berakhir di tepian curam
Lalu kita berjalan lagi
Meniti tangga imaji
Di jalan goa dan batu-batu padas
Semerbak pedupaan
Tinggal sunyi tanpa nyali
Kehilangan hiruk pikuk bus kota
Tontonan adegan jalan yang membosankan
Daun berguguran, berserak
Menambah sampah ke hitam tanah
Dan mata air membuncah
Serupa selokan di kota yang jauh itu
Kehilangan suara gemericik
Menghanyutkan imaji di kekerasan
Desahmu, naik pitam gelombang fals-mu
Yang mengisyaratkan matahari setengah tua
Agar tak membelangkan kakimu
Dari sengat siang bangsat
Musim berapologi
Imogiri, Desember 2004
Bocah Penggembala
Seorang bocah menggembala angin
Di bawah terik, menguning pada bulir padi
Merunduk rindu basah tanah
Si bocah menggiring angin menepi
Biar rumput tak lagi melenguh kepanasan
Yang hanya punya satu sajak tertambat di sengkedan
Gemericik bening sebening riak birahi-Mu
Sepasang manusia saling bertanya
Adakah jalan menuju ke sana
Dari patahan marka
Simpang tiga itu,
Tersesat dalam imageri angin bedinding
Imogiri, Desember 2004
Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah
Sesekali Kita Harus Melihat ke bawah
Dari atas sini menatap kolor petani
Dan punggung berkilau bercermin siang
Menatap isyarat lewat panca indra
Kita lihat petak sawah, juga sederet gedung
Kita hirup nafas hijau daun, dan hitam tanah
Bukan gedung silau, mall atau baliho
Juga kutang dan cawat
Bergantung di kawat jemuran depan kamarmu
Ada pohon dan rumah tak kokoh
Sama di ujung sana, tempat kita semula
Bedanya, kita sedang bertamasya
Jauh dari sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Aku dan kamu,
Sesekali meski melihat ke bawah
Sebab kita berangkat dari sana
Cerme, Desember 2004
Syair Banjir
Bah menunda desah
Gerimis senja meluapkan Lumpur
Mengambang di sekitaran petiduran
Tempat kita hampir bercinta
Sekejap kelam
Tubuhmu hampir tenggelam
Basah di ambang bimbang
Sebelum gelak beranjak memeluk badai
Luruh dalam kubangan
Dan gerah menghempas desah
Seakan mewakili rintih orang seberang
Cuaca berkabung
Kabut menjenguk sepotong kelam
Karena senja
Karena banjir
Hari kita dilanda sangsi pada suatu kali
Grinjing, 27122004
Syair Banjir (2)
Di sini air mengalir. Dan rupanya
Sobekan sampah tersangkut ranting
Dan runtuhkan tambat itu
Yang mencoba hadang kecamuknya
Sementara di luar cuaca tak beranjak surut
Di sini air membanjir. Dan rupanya
Segala yang mengapung itu tak lagi memberi harap
Berleleran dalam ruang
Mengendap perlahan, noktah demi noktah
Larut dalam keruh
Sementara gombal-gombal nyaris basah
Menambat di antara sumbat
Menghadang gelombang;
Menyelamkan letih tepian kali berair-air
Yang mengalir dari nadiku
Menenggelamkan sebagian sel-sel birahiku
Grinjing, 27122004
Rindu yang Purba
Suatu kali aku memeluk gunung
Lebih erat dari lembah. Tak terbatas horison
Yang mengujung
Tak ada kabar olehmu; hanya kebekuan ruas jemari
Dan perdu teh mengibas kabut yang mengasat –
Yang hampir jadi sejarah
Ingin kudaki terjal gunung
Terpisah oleh marga, lewat raga. Terpisah
Oleh bingkai cakrawala
Yang tergambar dari kanvas semesta
Suatu kali aku sarati; bahwa tinggi gunung
Bukan antara yang tak terbaca aksara
Membaca isyarat—saat penat yang berlipat
Gigilan singkat terkubur dalam pedut
Memisah rindu yang purba
Kledung, 2004
Kuldesak Daun Basah
-- Tiwi Andayani --
Akhirnya basah
Bersama genangan lantai
Sejilid album di tepian tidur
Membayang tak kasat
Akhirnya tinggal uwuh
Gelimang peluh di atas daun basah
Lupa terbangun matahari musim kelabu
Bagi pesta ulang tahun
Tanpa tart
Tanpa kado istimewa
-- dering di sana menggetar
dan umpatan kalbu memisah rindu
; kenisbian abadi
Kuldesak daun-daun basah
Menambat perangkat usia
Dalam igauan semenjana, berlabel cinta
Punya kita berdua; membias kabut
Pandang matamu yang jauh
Grinjing, 00:05, 260105
Dream Teather
Serentak aku dengar
Nyanyian gaduh antargelisah
Dalam alunan menggelegar
Detak menggeretak di balik dinding kedap suara
Lantai bisu, ruang berbohong
Padahal pintu masih terkunci
Engkau di lipatan usia, mutasi
Oleh ceracau cuaca juga desah. Bulan digantungkan
Di langit-langit: isyarat encore
Mereka pandai melantun notasinotasi
Dalam hati kita
Mereka pandai melantun nada sumbang
Pada angan-angan lalu
Menyusun not-not sakit yang melululuhlantakkan
Rindu dan kebisuan impian. Tiba-tiba redam,
Mengalun sepi yang baru, sangat baru
Dan itu bukan sinom parijatha
Desahan pedih. Sesuatu yang tak bisa kusetubuhi
Grinjing, 260105
Banjir Sore Hari
-- tiandra –
Ada yang membalur
Di dinding kamar. Tentang segumpal buih
Lari dari kali (mengerat dan menjadi karat)
Antarruang dan luaran banyak buih, sukar menyurut
Sore seperti bukan sore
Genangan seperti linangan air mata kekasih
Pada daun pintu yang lapuk, berbasah-basah berantah
Buih jadah ini,
Kali ini, hanya lumpur dan sisa caci maki
Orang-orang mulai jengah, bersama basah desah menjelajah
Aku mencari kekasih yang tergelar sehari tadi
Basah tanah secercah kasih
Lumpur dan belai bukan seteru
Terpuruk dalam hujan separuh senja
Setitik isak rintihnya patah gemulai
Menyimpan aroma basah,
Banjir sore itu
Grinjing, Februari 2005
Vacuum in Little Poetry (LPJ)
Embun masih basah dan di luar mendung. Mendung
Yang murka semalaman membelit
Kisah sewarsa saling terbaca
Mengurai dari berbagai prosesi
Bukan tinggal gelanggang
Serupa rumbia pun kami menyulut api
Siap berkobar juga siap dipadamkan
Memanas dingin apologi
Menggamit pengap hingga telanjang kata
Sel diranggas setumpuk mekanisme, melankoli arbitrer
‘Mereka’ memberi senyum batu
Malam ini tak memberi ampun sekalipun
Oleh sebuah lakon berbalut bercak
Yang mungkin diwariskan pada mereka-mereka
Lantaran rencana-rencana terus memburu
Menunduk dan ngungun. Tak ada orasi membahana
Dalam semadi, wajah-wajah mengepung
Takluk pada kesepakatan labirin malam
;ditolak (teriring sungging yang ganjil)
Karangmalang, Februari 2005
Taman Berlumut
Sore ini di sebilah puisi
Remang bergantung sepasang mendung
Merayu musim, menggoda tukang puisi
Atas taman berlumut menyongsong romantika senja
Batu betina itu masih terpuruk di sekeliling taman
Tampak lembab dihinggapi lapuk
Bersedeku di setiap penjuru meratapi langit kelabu
Hingga menderas air kali
Mungkin menuai air mata yang muncrat dari kornea
Karena redup senja membutakan angan puisinya
Prelude, vaginamu goa batu
Taman berlumut, bias nikotin
Tempat kami mengurung cinta
Lalu menyemai biji sehabis mangsa
Hanya lumut yang membuat hijau taman ini
Aroma lavender seperti menghardik
Pinggiran kali dan aliran kata yang tereja
Oleh batu yang lama disetubuhi
Kyai Langgeng, 120305
Pedhalangan
Aku bukan Kamajaya, kasih sejati Dewi Ratih
Aku bukan Bathara Guru, penguasa cinta bermahkota Uma
Tidak juga Salya, bersanding Setyawati dari masa yang terbakar
Tapi mungkin,
Aku juga Resi Talkanda, karma wuyung Amba yang terpanah asmara
Aku juga Abiyasa, dalam buruk rupa persunting sekar kedaton
Aku juga Janaka, juru rias mempelai Banowati yang urung
bersanding
Aku juga Bratasena, asih-asuh menyusui Abimanyu
Aku juga Burisrawa, pencari kisah Bratajaya meski kalah segala rupa
Aku juga Antareja, penjilat tapak kaki senja yang tersia-sia
Aku juga Antasena, berbudi batu pengarung seatero bahari
Aku juga Parikesit, satria piningit pewaris kaca benggala
Aku juga Ramawijaya, dalam medan waktu merindu penuh cemburu
Aku juga Laksmana yang menukil kalbu dalam keperjakaan
…
Lakon telah paripurna, dalang mematok gunungan
Kelir hampir digulung,
Blencong telah padam, segala meredam
Begitu juga aku, telah membantah gelisah
Di antara gugur bunga. Tak sampai mekar saat jelang fajar
Bunga hampir mati pada jiwa yang membatu
; Kasih, sepotong bulan mengawang di penghabisan malam
tanda musim gugur hampir tiba
Grinjing, 17 Maret 2005//02:01
Malam Cekam
:PIS
Menyapa tak kasat
Menegur dengkur
Mencacatkan mata paruh pejam
Dengan keburaman malam
Menebar aroma pedupaan semenjana
Lelaki sukma
Melintasi sepertiga malam
Menyusuri sungai manusia
Diiringi gending lengang dan mantram
Kekudusan abadi yang dicetak buatmu
Dengan kecamuk yang mengebiri
Aliran testosteron; tunjung metafisika
Memimpi tidurmu
Dari gemericik riak menambat
Bersenandung kidung nafas landung
Dan desah membelai hijau-Nya
Dan memunggungkan padamu
Tentang naluri
Tentang nyali
Tentang cekam
Cekam yang benar-benar menikam
Grinjing, 17 Maret 2005
Siang Terbungkus Mendung
Siang kelabu
Siang terbungkus mendung
Hari meranggas rendeng
Hari-hari sepi kekes
Dari jauh,
Onggokan mega berarak-arak
Runtuh memanah dalam tubuh
Dari atas
Jalanan menggenang, mendung menggiring bimbang
Pada jalanan yang semakin aking,
Malaikat terlena, tertidur di balik selimut
Sebentar terjaga (mendung masih menggantung)
Matahari kehujanan, berteduh di balik awan
Menutup tirai langit
Mematikan saklar binar
Berharap jelang petang
Senantiasa menyongsong remang, perlahan tapi pasti
Membuncah senja kemerahan
Dan juga bersama angin
Menggiring rindu ketika kabut berangsur pudar
Grinjing, April 2005
Menyimak Puisi Tuhan
Simaklah hujan nyanyikan pujian
Membaca syair jenazah, bukan berkafan
Beku badan, tangan kaku sedeku
Tak tahu akan menulis apa
Simaklah hujan, puisi-puisi tuhan telah terurai
Seiring rerintik bertumbuk
Atas deras, jauh di seberang ruang
Tertimbun sisa waktu, sekejap embun di atas nisan
Menghimpit dalam pengab yang berat. Menimbun
Bingkai foto, kemarin tertampang dalam album
Sepanjang kenangan tinggal hikayat
Senandung panjat-Mu,
Dari dalam peti tak tedengar lagi
Isak berantak, jerit memanggil atas-Nya
Hanya tinggal meja dan dupa
Mengabadikan sesembahan
Simaklah hujan
Pekik mencabik cakrawala
Ketika iring-iringan hampir diberangkatkan
Penghormatan terakhir diagungkan
Semua pasti selesai
Perpisahan pasti kejadian
Gedongkuning, 070405
Romantisasi Senja
1)
lagu-lagu memekak nyalak
olehmu, inilah rindu yang tak jua
layu; daun-daun kering diranggas musim
dan sungai-sungai malu mengalir
lagu-lagu rindu mengesampingkan kantuk
insomnia dini hari
tidurkan pejam, sayang, pejamkan rasa
2)
lirik-lirik melirik rona, kasihku
padamu; bunga-bunga mekar, masih wangi semerbak
dan berbunga manca warna
lirik-lirik romantisasi mengirim kumbara
tresna – selaksa beethoven gandrung
wujud ganda bermakna tunggal,
mari bercinta menggapai firdaus
(fatamorgana meradang saat singgasana
saling mengutup: perpisahan abadi)
Grinjing, 08042005
17: 17
Amuk Ombak
- catatan untuk mamak -
Amuk ombak datang menyerang
Dengan buih putih perak
“Hantam aku sebelum engkau keruh
Terik begitu jalang
Bimbang mengekang dari segala penjuru.”
Riak telah bercampur dengan pasir
Hingga ada kepiting bermesraan di taman seloka
Dikelilingi aporisma kaki langit
Mengail mimpi rembulan kasmaran
Dari sejarah yang mati rasa
Sebab begitu lama perjalanan cinta
Di antara keduanya
Angin laut menggiringmu mendarat
Kuselami kejantanan lewat payudara dari pasir
Pahatan khusus atas-Mu
Saat pejam berjamaah, gaduh malam buta
Mengabar kisah dan kesah
Pedih tebing longsor atau arga gonjang-ganjing
Terik basah peluh
Memanggang ekspositori
Anakmu lanang tak kuasa meratap
Segala mula kenangan masa kecil menambat
Sebuah samudra bernama rumah
Berombak gemuruh galak
Membuat paha dan punggungku terbakar akas
Sebuah prolog: persembahan dan cita-cita
Apa yang dapat kau banggakan selain semat di kepala
Perjuangan untuk pengabdian? Ombak itu tengah bersajak
Sebab asah, asih, dan kasih abadi baru kularung
Di pantai kumal, terbayang kaki langit kecilku
Melayang burung rantau di kejauhan nusa
Terbang jauh menyeberangi samudra, membelah bukit pasir
Dan ombak membawaku ke sini
Ombak itu adalah Ibuku!
Parangkusumo, April 2005
Mati Sunyi
Daun gugur pagi jelang siang
Jatuh telungkup di atas rumput jalang
Layu, luka terbakar fana
Hilang bentuk, pudar warna
Ia terbaring binasa
Meratap iklim yang mewabah nestapa
Dan pagi lari mengejar kalamangsa
Bak engkau yang enggan berbagi
Mati dari matinya, distorsi mati sunyi
Riuh bertudung matahari kesiangan
Kamuflase musim meniup sukma
Selagi kering menggarang stomata
Cukup beri ia istirah
Kita kan berbagi setelah ajal memanggil
: persistirahatan (kala masih lama)
C10.103 UNY, 10:05. 26042005
Hidup untuk Sebatang Rokok
: anhay
Pedut melilit-lilit
Tapi jua tak turun hujan
Hanya gerah yang merejang ranah puisi
Penyair baru, baru saja berfatwa
Membuncah lewat lidah
Abu yang kau tabur barusan
Memahat resah seisi rumah
Puntungnya mematung, prasasti tepi kali
Seberang dinding masih saja bising
Nyanyian atau lengking gitar tiada beda
Senantiasa memekak di palung rungu
Bermakna kognate di selubung malam
Menyelubung kepul dari moncong sang utopis
: kasihani ’dia’ yang coba meregang segala rasa
Asap membumbung rambah jengah
Kelabu mengukir bayang semu
Elegi setengah hidup, rekanmu
Hayatnya tinggal setengah jengkal
Dengan senyum nanar seakan dipaksakan
Terpuruk di sudut memecah ngilu
Hari-hari semangkin meretakkan kepalanya
Grinjing, 27 April 2005
malam gajahwong
– MEMOAR TELENGRIA –
simaklah dengkur arus
yang belum lama pulas
sebagai bunga sedap malam
yang semerbak sarat sajak
menepis birahi di remujung usia
siang pengantar kumbang kelana
ketika sejurus angin
saling menebas tangkainya,
benang sari gugur tak bersisa
petanda kita terakhir kali bisa bersyair
kau pun tampak kuyu
lantaran sepasukan arus membunuhmu
riak, oleh bening gemericik desahku
riak, songsong mimpinya
terjuntai di aliran ini
reroncenya bertempuran ke muara
galangkan sejurus gelombang
labuhkan sepasang bunga
yang belum sempat mekar di taman giriloka
satu satu kelopaknya mengikis batu-batu
melarung abu, langit kelabu
ketika sesaat kenangan tenggelam di tepian ria
Kledok, 02:32, 11 Mei 2005
A Rock The Day’s
: Daru
seorang pejantan gontai, mabuk oleh alunan
menggetar dari membran, seperti tetesan keringat
terengah mengiringi aku yang bersimbah darah
segala irama membahana dihentakkan ketika bulan separuh
marah di tengah gelanggang. ruang pun bergaung
oleh tangan-tangan yang enggan disungkemkan
aku mabuk akan bayang-bayang bertumpuk
(alunan terhenti sebelum lakon usai)
antara detak dan gertak di pergantian babak
gontaiku di antara liuk koreografi
tiruan tarian mengejek kedwimanusiaan
meraih lelah dari lakon sekian berproses
bakal disimakkan, perayaan kami waktu lusa
rujukan sejarah kelahiran berulang
dalam mabuk yang tangguh
Karangmalang, 17052005
Insomnia
Malam menguap
Binatang malam berdendang
Tentang lagu kesepian
Menekurkan diri dari imaji sejatinya puisi
Puisi ilusi menjelang pagi:
Kasih, sebagian hari menjenuhkan lakumu
Separuh kesalnya bercadar kefanaan
Barangkali penanda akan hidup yang lebih baru
Sebagai lukisan di dinding keluar sejadi-jadinya
Menjelma sosok hidup: penabur senantiasa
Membelai dan menapaki setiap mili tentangmu
Syair Tuhan tersiar di seberang ruang
Mengejek mungkin juga mengajak sebujur tubuh rubuh
Dan wajahku terpekur menatap mata
Yang membuyarkan igauan
Dalam kantuk terantuk di petiduran
Dalam sisa waktu mengalun rasa jemu
Dan lukisan di dinding
Masih menggantung dingin
Sedingin aliran sungai yang tak bosan-bosan
Menghanyutkan mimpi lelakon malam
Ingin bermimpi saat pejam mata
: gemericik riak masih berisik seperti derit batang bambu
kontras dengan deklamasi puisi-Mu
Grinjing, 02:40 18 Mei 2005
Mengukur Jalan
Barangkali jalan semakin jauh
Sebatas pandang, horison membentang tanpa haru biru
Dari sini kita menerawang
Seekor burung gagak menunggu mangsa
Sepasang muda teronggok di tepi jalan
Kita istirah dari jarak yang sama
Lalu melongok dari jurang yang sama
Hampir paripurna. Pelarian kita
Di sana…kita tadi bermula
Deretan cahaya menusuk pandang
Perjalanan mengikut arah angin ke selatan
Terdampar di tikungan percintaan
Udara di atas dan di bawah berebut
Kini kurasa ketinggian tak terbatas ukara
Sejenak lupa tugas yang sempat tertunda
Beranjak dari kesemrawutan bawah sana
Detik ke menit melintas padas
Sedang aku dan kasihku pernah menjalani hidup
Saat ini, saat remang menjamah gundah
Terlampau parah memanggang romantisme
Dari jurang kahyangan
Dan kau jalan terjal bukit malam, di tebingnya
Mendaki curam hati
Sesungguhnya kita mengukur jarak, siang
Dan malam
Gunungkidul, Juni 2005
Bila Bulan Kembali
– UN –
Bulan dalam hatimu kembali berbinar
Di antara deretan bangku berkarat
Di basuh malam sarat makna
Ria menyanding membawa ceritera. Kami jadi petutur
Dan bulan tersenyum hambar, hampir bersinggung dua sudut
Dalam rona mengembun dingin. Engkau
Tenggelam oleh serapah, begitu sayu dan lugu
Di meja ini kembali engkau bertaruh. Bulan tanpa cercah
Berselang di janggamu menghardik balik. Dia pun beranjak;
Pengharapan kian benderang bertabur bintang
Pandang bulan kemarin
Panggil purnama padamu
Segala mimpi bisa terjadi
: Hari baru berganti
akan ada lagi bulan baru
Bila bulan kembali esok malam dan langit menitip kerdip bintang
Selubungi awan putih, lindungi dalam pelukmu
Dan kenangkan dia dalam persidangan istimewa
Memoar Karangmalang membikin kampung melambung,
Melesat bintang jatuh membelah cakrawala
Lalu para pengiring ke mana perginya
Bulanmu terperosok dalam black hole menganga
Burjo, 080605
Ambang Fajar
Lelapkan rasa di bantaran sungi ini
Riaknya akan menggiring sajakmu
Ke pusaran kedung sarang buaya
Oposisi biner sepasang tulang rawan
Di antara hening dini hari
Sungi yang bening pelukis imaji
Alunan kosmis menyimakkan dendang
Tubuh kering lekang
Penyair telungkup di ambang
Seperti kucing kedinginan
Tinggal atis tak pasti
Mengantar secarik puisi
Untuk sublimasi mimpi
“Inilah kala seraut muka
enggan tiba saat lelap
melukis peta di permukaan bantal,” igau penyair ingusan
Sungai mengering
Hilir mati sumber
Aku dijerat syahwat
Betapa raga terasa papa
Mungkin mimpi
Atau entah istilahnya
Enggan berbagi; fantasi sepi
Grinjing, Juni 2005
02:30
Abimanyu
Aku kuncara
Di tengah medan perang
Di padang Kurusetra
Hajan panah seakan terhenti
(beberapa menembus pusara)
Dalam remang petang
Di tengah kungkungan
Kusaksikan tangisan sekaligus cacian
Mana kawan mana lawan
Seperti menghantarku ke haribaan Ibu Pertiwi
Grinjing, Juni 2005
Komplikasi
Dia sedang meregang kembali
Sekawanan enzim
Di sekujur rumen, asam lambung, dan amylase
Bersel jamak gerogoti hati
Tapi sampai kapan kau ajak isi perut berdendang
Tentang lagu kekosongan
Ketika aku hampir saja terbuai
Sedang kekasih bersambut sehati
Di aliran darah yang hampir tak berwarna
Tinggal kunang-kunang melukis mata
Dan bintang-bintang melintasi kepala
Membelah separuh tubuh
Yang kini telah rapuh
Selebihnya adalah jantung
Dan paru-paru tak beraturan mereka koyak
Sedang aku mual oleh bualan
Padahal sudah kuberi kau separuh hati
Tapi masih saja kau mencuri jantungku
Grinjing, 23:40, 19 Juni 2005
Pendongeng Malam = Nyamuk
Pendongeng malam tak pernah tidur, Kasih
Sedari tadi ia menganyam kata-kata
Menjaring mimpi dari angan terbuang
Yang membiarkan alam pulas dari kecamuk
Mengusir bising serangga dengan tepuk tangan
Dengarlah denging nyamuk jalang
Gemuk penuh akal busuk
Mencabik-cabik kulai tubuhmu
-- Takkan kubiarkan ia menggigitmu
Rembulan membelai dingin malam
Alam tertidur pulas
Bertabur bintang dan membentang jagat raya
Sedang di sini redup dari bilik, penat sekarat
Hampir padam lampu itu
Pendongeng malam mendekati daun pintu
Nyamuk datang mengetuk
Menghatur salam kepada alam
Embun baru saja membekukan sayapnya
Dari seberang sungai sebuah negeri dia berkunjung
Mengitari kumbara tiada bertepi
Pendongeng setia terus mengahantui
Mimpi-mimpi, hanya sebuah mimpi
Kita tak boleh mimpi di negeri kita sendiri
Grinjing, Juni 2005
Bekal Sebelum Perpisahan
Kasihku hilang
Seutas senyum dan kecup
Tuntas sudah
Menyisa bibir kelu
Yang kau pagut
Terluka
Selanjutnya air mata berderai
Tak tahu ia akan jatuh ke mana
Mungkin ke gundukan tanah merah
Grinjing, Juni 2005
Kulonprogo Akhir Juni
- RTY -
Aku kenali liku-liku
Garis persilangan penjuru timur kotamu
Hiruk pikuk di tengah Alun-alun tua
Pemuda berkejaran ke ambang arena
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya
Menggebrak nusantara
Aku perhatikan
Tugu atau prasasti namanya
Menghempas sanggul lukar kebaya
Di kampung pribumi
Tumpah darah dan aliri bantaran sungai
Untuk buangan mereka
“Ini adalah kota di mana engkau dilahirkan
di perbatasan, bangun dengan keringat dan hati suci
gelar kerja hidup matimu.”
Aku tapaki tangga tepi samudramu
Ketika kutatap kapal nelayan hanya merapat
Tak berlayar di antara rasi bintang
Ombak mengamuk di kedalaman samudra
Dan bulan mati di pelelangan
Selalu seperti hari berlalu
Nelayan sangsi memilih kuali berbalik
Dapur tak berasap
Di sini aku termangu
Menatap genangan hijau di bawah pandang
Kampung yang mencair
Sawah pun berubah bah
Sekawanan kampung tenggelam dalam bungkam
Sebab tak lebih lantang dan perkasa
Dari seonggok padas bertanda tangan
Tapi, Sayang
Cintaku takkan tenggelam
Juni, 2005
Sajak Sebelum Beranjak
Pantai menyeringai, terik siang ini menjambak
Seorang lelaki bercinta pada muara
Tapi samudra lebih menjorok pada daratan
Lantas pasir menghempas sampah
Dan menguburnya dalam-dalam
Dari situ tangga-tangga bersenggasana
Menjaring bahasa grafiti
Ayat jahil itu tereja suatu aksara
Di sebuah menara bernama cinta
Siang ini tak lagi ada caci maki
Tak ada kutub yang saling bersinggungan
Kat-kata menjadi pertalian makna
Sekalipun tali pancang kapal terpelanting sesekali
Tapi puisi sama kasihnya
Yang mengkohesikan katamu dan kataku
Sampai samudra kata mengering
Sebelum senja menuntunmu kembali
Jika cepat engkau beranjak
Sepasang bercinta bisa merangkai kata bermakna
Yang teronce pada sebait puisi
Glagah, Juni 2005
Tak Jelas Tuju
Sampai ujung mana jalan ini
Menyimpang pada rambu pertigaan
Pinggiran kota kecil itu
Bisikan ombak tak menusuk seisi karna
Karena hanya desing angin perbukitan
Di jalan lintas deru-buru
Bus antarkota antarprovinsi
Jadi bising
Kehilangan konsentrasi pada debur pantai, bisikan pasir
Yang mendesir seperti rambut kekasih
Sedang jalan tak ada ujung
Melaju tak jelas tuju
Kulonprogo, Juni 2005
Baron van Java
Ombak pantai
Hati tinggal sebutir pasir
Jangan sampai kecil hati
Kita ada karena kebesaran hati
Ombak berkejar gencar
Hadang laju perahu
Diterjang dengan dada lapang
Teriring tangis yang tersayang
Ketika Yang Mahasiang sembunyi di balik bukit
Lekas bentangkan layar
Angkat sauh
Agar senja yang temaram
Tak terhadang pasang gelombang
Sudah saatnya kita beranjak
Menuju biduk yang kita sewa
Hanya ini yang kita punya
Mungkin nanti bisa bermimpi
Kapal induk di belakang hari
Milik kita pribad
Gunungkidul, 2005
Warisan
Bunga kantil ujung kampung
Membuka lembaran petang
Ketika angin mmbuyarkan angan tentang bunga-bunga
Dan hitungan langkah di jalan setapak
Pekuburan tua itu
Berlarian angin pagi dan sore
Menghembus tanah merah yang menanti hari esok
Untuk siapa akan diwariskan
Tanah waris tinggal pertanda
Batu nisan menghias liang
Hilang
Rata dengan tanah dan pondasi
Disangga dari bawah
Oleh tulang-belulang yang kini jengah
Dan menguburkan mereka dalam diam
Metro, Juli 2005
Pasar Malam, Pandangan Malam
Atas nama kesepian, terbang bersama
Semburat hawa terang dari tepian tanah lapang
Di sana
Di bawah lampu pasar malam
Syair ini masih berkelana dengan kepak sayap
Ketika rembulan menjanjikan kehidupan
Dan kemarau pertengahan Juli
Membikin mlarat sebagian kota
Bumi terluka cakaran nasib
Melayang sosok kelas teri
Tanggal pertengahan, hati setengah lapang
Lubang hampir digali
Impian terlipat lembaran tahun
Hampir tiba masa tanam sebelum panen
Kapan bisa kubungkam jeritan kaki lima
Obral sandang dan kesenangan
Lampu pasar malam terbang berkejaran
Membakar lara, rengekan merajalela
Metro, Juli 2005
Syair Getir suatu Ketika
Syair getir ini
Lahir
Ketika layar kata tak lagi mengembang
Mengirim kabar dari surat cinta tanpa prangko balasan
Purnama berangsur pudar
Mega berarak menggugah resah
Ketika dendang malam mulai jengah
Mengiring lara hati
Hampir tuli oleh serangan kidung asmaradana
Syair ini lahir
Di rumah kata
Ketika kita, aku dan kamu
Terbang sana -- sini
Mencari bayang-bayang yang lari
Metro, Juli 2005
Cerita Perempatan Jalan
Dalam hitungan detik sambut tujumu,
Kekasih
Kapan kita terakhir terpisah? Hanya tangis lama
Waktu itu hanya basah pipimu menghujani tanah air
Di luar hanya ada malam anggarakasih
Hujan tangis baru saja pamit
Datang kemari. Datang kemari
Bawa tangismu sekali sja
Hanya gaung dari dinding gedung
Tinggal setengah jengkal engkau berlari
Sisakan keringat dan letih untukmu yang kini lumpuh
Sapa saja raga kering ini
Untuk tekat menapak angkara kemarau salah mangsa
Elegi terpanggang oleh panas ketiga
Hilang dalam periodisasi sunyi
Bersama alur laju langkahmu
Deru bergemuruh
Mungkin di sana menjerit tanpa rekan
Mencari sumber suara-suara asmara
Di antara dengkur bersambut
Berebut hidup di tempat berantah
Paripurna membelah hari-hari yang tak lama lagi
Jalanmu masih panjang sampai seberang
Galang hadang rintang
Bawa sepikul cita dan cinta
Untukku saja
Metro, Agustus 2005
Akhir dari Bulan Murung
Menyisir cahaya terang
Berlalu ke rontokan bintang
Sembarang bersinar
Di terawang jalang mati tanggal
Bulan murung
Merintih dalam pedih
Lebih perih dibanding sayat sembilu
Tajam bahasa puisi
Tanah membasah
Debu memancing cerita
Tapi kata tak terjaring pragmatik
Bulan bersembunyi di kerudung kelabu
Menunggu rekan hendak menghantam
Tampak murung dominasi sisa gerimis
Beulan dan bintang kelam
Kembali tenggelam dalam pelukan malam
Mungkin pagi akan menyeramkan
Sebab malam
Beringsut semakin pekat
Angin sesekali menyibak tabir
Kemana akan dibawa lari
Tapi jangan kau bawa lari puisi cintaku
Terban 455, September 2005
Penjaga Rumah Cinta
Kembali rengek yang manja, membuncah nadi
Pertengahan malam, pagar kuburan dan kemilau batu nisan
Engkau pun berlalu dari pelukan, berpaling pulang
Rumah siapa di sana
Penjaga rumah cinta
Di hamparan ilalang
Risik gelisah
Terbangun dari mimpi memandang sepertiga malam
Kesepian sementara. Fajar pagi menggelepar, terpercik muka siapa
Menyentuh hati tandus
Dehidrasi kecaman musim
Dan perlahan menghantar ke peraduan
Seperti kata-katamu sebelum musim kering menjenguk
Hari-hari berbalut luka
Oleh ranum buah dadamu
Memerciki tanah gersang menjadi sajak terpendam
Berapa lama lagi
Bila jalan tak lagi menikung
Akan kusongsong rumah berpenghuni belahan jiwa
Jiwa yang papa semoga diteduhi
Di bawah atap, di bawah jendela
Angin menyapa wajah hari tak berperangai
Sejengkal dari batas lagkah
Jarak antara kamu dan aku
(sendiri mencaci sampai pagi kembali)
Terban, September 2005
Purple Rose
Adegan tangis, kuncup tersipu
Tersapu
Membanjir jambangan
Kelabu, bukan pot
Hanya pispot dari kubangan bernama paru-paru
Ungu atasmu jibaku oleh bisu cintamu
Sesaat
Mawar-mawar itu kupetiki satu persatu
Berpasang dengan puntung dari moncong
Pembuangan akhir
Yang semerbak di lekang waktu
Tiada bungaku
Tiada kuncup ungu di ruang perhitungan
Seluruh tangkai menjadi kawat tembaga
Serupa antrian di sepanjang rentang yang jalang
Lalu mereka lumpuh
Terbakar sebatang-sebatang, dari cinta
Yang tercecer di jalanan
Sebelum kuncup mekar berbagi wangi
Trotoar tempat aku barusan berpijak
Kehilangan jejak
Seketika terhenti membelah kebohongan
Pada sebuah asbak yang ditumbuhi bunga-bunga
Tak akan pernah layu
Meski bunga berkelopak tapi tak merebak, tak juga bersajak
itu hanya bunga plastik
Klaten, 27092005Drama Sebabak
EA1
Kalian membara di selingkung puisi
Alienasi waktu
Cibir selubung hari
Vokal eksodus wajah-wajah baru
Ekspresi tak semestinya
Drama komedi yang mudah terpahami
Tak seperti bahasa puisi
Setelah teriakan demi teriakan membahana semesta gelanggang
Memang aku salah
Tuli oleh bisikan atau telepati jaman
Saat puisi tumbuh di kata hati
Serumpun belukar kuterjang dengan parang kata
Dari sela rentang waktu dan tirai bambu
Yang terhempas di ujung penantian
Begitulah, dering beriring, rindu dan curiga bersatu
Mengendap dalam kerapuhan batu
Sementara tanda baca dari bias cahaya
Memparafrase sebuah makna paling sederhana
Bahasa rona samarkan sisa tangis atau senda
Oleh siapa? Tiba-tiba isi kepala terurai
Ribuan puisi berjatuhan oleh prahara beberapa hari
September, 2005
Jurit Malam
idl&ds
Dari alur kali
Sedari siang yang meriang, dan mereka lupa pribadinya
Di jalan batu, pematang, dan arus
Berpenghuni sekawanan rekan tak kasat
Datang memberi isyarat
Di jurang nurani
Melamun rembulan
Memojok dara seorang diri
Khayalmu kosong. Tak merejam kata
Tinggalah raga yang jatuh di kungkungan
Tapi igauan mengalahkan panggilan
Lalu berpasang mata tertuju padamu, ayat kursi turut menyambut
Yang sakral itu
Senantiasa mencipta keangkuhan
Dari sekeliling, beribu bulan sabit membabat kisahmu
Ayat-ayat bersahut dan berorang-orang datang
Dzikir tiada akhir, mantram merejam
Selongsong sajak mendeklamasikan iman yang ringan
Jeritan angin menggelepar bayang
Kematian senang padamu
Menempel di kegalauan hati
Ketakutan melukiskan pemandangan ngeri
Imajinasi dini hari yang hangus terbakar jerit
Mereka kembali datang dan ceracau semakin kacau
Ia berkisah tentang buih yang membawanya hanyut
Dan kami pun berkenalan, tapi hanya ilusi
Segelas air terpercik sebuah nama
Dan kamu lupa, padahal baru saja kalian bersatu dalam pilu
Babarsari, 2005Memoar Blue Screen
: groh/teew
Maka itulah warna yang terpasung dari umpatan
Di awal musim. Langit di luar tak pernah membiru
Baru sesaat bola mataku juling karena dering
Setelah mendung dan rerintik istirah sejenak
Kupandangi lagi manik cahaya sebuah wajah
Di penghujung tahun yang basah
Penampilan biru menyilaukan sepasang mata, tak terpahami
Ajarkan aku akan hanya
Warna-warna
Bergantilah, dia rindu yang lain
Hanya hujatan menyita waktu
Retina membatu, sudah habis sabar
Lelah lepas cabar
Saat kita menanti tak pasti
Mungkin tak akan mesti purna-sempurna
Kalau saja wajah membiru itu secarik puisi
Tentu bertuliskan bahasa keindahan
Sebab, semakin tak tereja. Tak lagi bertanda
Pun makian, seperti angin yang kita bawa. Menghembus
Hempas dalam pandangan
Gayam, Desember 2005
Hingga Jika Teh, Hingga Jingga
Aku biarkan sepoi angin
Meniup kaca jendela
Menuangkan isi gelas
Senja kecewa
Gerimis tak kembali
Geram menyala yang jingga
Mentari berlari dari singgasananya
Sayang, ada kelesuan
Merambah marah, memecah sepi sesaat
Tapi jengah mengajaknya beradu kata
Ajak bersajak
Ajak jejak pendapat
Segala sesuatunya menjadi benar-benar ramai
Gemeretak, menahan nafas
Sesak menjejak
Di luar ramai rekan. Di dalam mendung tak berkeputusan
Kian membatasi pandang. Langit retak pada retina
Lalu metahari runtuh terseret dalam halimun pekat
Seperti ujaran dari bibirmu; apalagi lancing
Pada sobekan sajak pemberian, seperti retakan gempa
Pada kedalaman hati. Tak ada yang dapat dipahami
Ketika ada pelukan di penghujung malam dan isak berapi
Termangu tanpa pengadilan batin
Semua seakan membuncah ranah puisi
Menyulut kesumat (hanya diam). Tapi, aku juga berjelaga
Terban 455, Desember 2005
Masih Belum Juga…
Sudah bedug subuh
Bola mata merajalela
Mencatat tiap rintik hujan di atap
Pada kata yang masih buram
Menanti fajar datang menghampiri mentari
Langit tetap legam
Oleh segumpal harapan
Agar ia mau terpejam
Karena malam belum padam
Terang benderang di cabikan sajak
Di tengah kungkungan arwah yang kini berlarian
Ditikam isyarat tuhan
Dengan luka mata sang penyair
Hingar-bingar hampir terdengar
Cerita yang itu-itu saja
Kemacetan, pengemis, pengamen, dan lalu lalang
Kataku tak lagi berakal lagi
Entah…
Di ujung kata-kata
Detak arloji menjelma tarian angkara
Di selubung malam, tadi
Bagi seberkas sinar yang tertanangkap kornea
Tak mampu terpahami oleh kegilaanku
Yang kini tinggal terjaga
Terban, 17122005
04:20
Arbitrase Pinang pasang
-amree-
Rembulan terkencing di pelukan
Desah menghempas, ombak beradu karang di lautan
Dan, tak ada yang peduli
Dari serpihan papan; dipaku sebagai dinding sepasang
Sampai menggelepar dalam. Dalam…
Engkau lahir tak genap
Sebab kau pinang bunga mayang ke ranjang bambu
Di balik kelambu salju sebagai taburan bintang
Dari sana mimpimu mengarung
Susuri samudra, menuai badai, langit bergemuruh
Yang berasonansi dengan getaran kalbu
Entah siapa melempar sauh; raih kemudi ke dermaga
Seperti juga hidup mendendang desah
Harmoni sekejap kolaborasi. Pelayaran belum sampai amuk ombak
(masih mahaluas)
Ada yang memasang gelombang pada tiang pancang
Bahtera baru saja bongkar jangkar
Lalu kau terbangun dari mimpi
Dan kau telusuri panjang dermaga
Mengisahkan benih dengan musikalisasi
Seribu notasi tak terpahami
Pantai masih jauh, teman.
Dari daratan sini kami menerawang
Kehilangan kaki langit puncak layar
Yogyakarta, 23 Januari 2006
03.18
Purnama Merah Jambu
Seberkas sinar menerobos tirai
Ia berbagi kisah dan desah
Pada dinding basah senyap disekap tanya
Berapa kali kita bercinta?
Purnama membuncah tanah merah, sebab terlalu angkuh
Gelapnya menggelapkan akal puisiku
Kata-kata semakin tak beraturan menjelma bintang sombong
Tak ada baris kata tereja. Hilang tanpa rupa aksara
Purnama merah jambu mengirim kado buatku
Sebuah lukisan tentang malam yang itu-itu saja
Kadang terang kadang mendung
Sepi bintang sepi puisi
Seperti bulan ini, aku mati metafora
Tak tertulis sajak melankoli
Ketika imajinasi dan fantasi sepi
Di hadapanku purnama terpantul di cermin
Sungguh angkuh tak seperti kekasih
Yang tadi habis berkasih, terpuruk di belakang pintu
Membenamkan mimpi. Sedang aku masih bermata jalang
Semalaman merangkai puisi sekadarnya
Buat kekasih sepasang yang bertukar cinta
Kupetik setangkai bunga mimpi
Akan kupaketkan cinta dan rindu buatmu
Tahun depan. Ketika kita tak lagi sama-sama punya mimpi
Terban, 02:00, 14 Februari 2005Cipta Hening
Desah dalam dan liuk tengah malam
Lereng longsor dalam meditasi telaga sunyi
Sedang berpasang di seberang sedang meregang
Ranjang menggelinjang
Dendang katak berkubang
Saling terjang, saling tumpang
Tenggelam di balik selimut
Ada sesuatu yang berserak
Seperti kapstok, lelah menyangga nestapa
Sehelai demi sehelai berjuntai
Jatuh, lebur pada batu-batu itu tubuh
Tinggal decak cicak memekak ruang mimpi
Yang melelapkan aku, kau, juga mereka
Sampai lupa rumah hati diri sendiri
Sebelum esok pagi menyisir turun kembali
Malam sempurna hening
Yang mencipta lelangit dan sorga buat mereka
Mungkin neraka bagi kami
Kaliurang, Maret 2006
Bukan Tapi, Hanya Karena
Daun pintu enggan terbuka
Kamar berjelaga
Intonasi rendah penuh gairah
Malam sedingin tak kuharapkan
Bukan tangis pilu kehilangan air mata
Yang terbendung dua sungai semuara
Anak yang hilang
Dari kerangkeng
Tatkala diberi sedikit jarak dan ruang dari semang
Tidak buat merangkai angka dan huruf
Tapi, hanya notasi ganjil di gigil malam
Udara yang mendidih; sedang di luar halimun turun
Dan peluh beradu peluh
Sekelumit kata, decit kursi derit
Erang yang jalang
Memanggil langgam malam
Dari segala gelombang hawa dan suasana
Sisa asap pengap
Puntung mematung dalam asbak
Gelas berbekas dengus
Bukan seperti basa-basi biasa
Segalanya berkecimpung
Suara itu bahkan tambah syahdu
Aliran posmo
Sebuah sungai menggiring gumpalan rindu
Hingga muara kata membentang puisi
Lautan mengangkang tubuh lusuh
Milik kita sama karenya-Nya
Kaliurang, Maret 2006
Mati Listrik
Malam gusar
Luput dari tegangan Sang Mahastroom
Sebujur pohon menindihnya kesal
Rerontok daun hangus puas menampar-nampar
Sedang sedemikian sunyi gelanggang
Sekalipun sekejap mencari memori
Di luar begini, mana kepala mana kaki
Gelap mengakap seisi cakrawala
Bergejolak suara angin
Aku kembali melukis mata kucing
Hingga gelap langit kelam
Embun menantang bulan bersarang
Sebagai permainan penghujan
Tapi ada gerah di tiup waktu berlalu
Gerimis membawanya ke sana
Lantas aku amblas tanpa nyala, juga nyali
Dan kusimpan bulan dalam pelukan hujan
Karangmalang, Maret 2006
Pasukan Berani Mati
:tukang becak alun-alun
Senja kelana menyerbu sebaris harap
Kaki telanjang, kaos oblong basah peluh
Mulut mengerucut tawarkan keluh
Riuh dan hanya riuh dijeritkan. Selebihnya merintih
Pengayuh tua merendah tangguh
Ia senantiasa hidup dari pedih
Ditatap mereka satu-satu sambil angluh
Bumi enggan menyempatkan ruang
Sementara ajakan dan rayuan
Mesih kalah lantang sedan lalu-lalang
Makna tak lebih sebuah anggukan
Mungkin sekedar puiitis atau sarkasme tak peduli
Demikian, terlena oleh hura-hura pengembara
Kratonku tak lebih seperti rumah singgah bagi mereka
Jiwa-jiwa pasrah, tapi tak menyerah kalah
Kegaduhan yang hampir serupa, sebelum dan sesudahnya
2006
Sajak Ulang Tahun Kita
: 11 Mei
Bias senja di penghujung hari paling tepi
Rona jingga di langit gedung tua kota lama
Sebabak skenario tuhan menggiring kita
Bahwa tak selamanya bisa bersama
Di sepanjang jalan, alun-alun atau tiap sudut kota
Biar saja kau kenang esok siang
Jika langit tiba-tiba menggelinjang lantas hilang
Dan kita saling pandang dari jarak berbeda
Di sebuah taman
Lampu mercury terang di awang-awang
Pohon ranggas menyiluet bangunan peninggalan
Mungkin kita tak lagi bisa ke sana
Menyaksikan geliatnya, lalu lalang, tapak kaki kuda
Yang siap mengantarkan kita ke peraduan paling mulia
Singgasana-Nya
Lalu kita terpaku di antara beringin dipermainkan angin
Perlahan hembusan berhati nyaman menyibak tiap helai rambutmu
Dan senja memerahkannya seperti turis itu
Kita tapaki senja untuk kali ketiga
Sekawanan pengamen, pengemis, gelandangan kecil
Mencoba menopang pada jalang
Jalanan ditumbuhi paku bumi yang keji
Kemana ia akan mengalamatkan kaki
Sekeping-sekeping melayang untuk sebuah piring
Agar tak selalu berdendang kosong, begitu juga hati kita
Kota tua tempat menjalin suka dan gulana
Berabad-abad memahat budaya mengukir cinta
Menulis puisi dan ceritera pada kanvas,
tembok pagar atau kursi taman
Tempat ia berakar. Sajak cinta menerjemahkan semerbak polusi
Yang bising suara, jengah dicerna hingga aku kamu
Tak bosan berseteru di benteng jati diri
Aku ingin menyemarakkan sajak di trotoar
Yang dipenuhi tikus dan kecoa
Sambil sesekali mengenang ramah-tamah sambil menjamah
Gemah ripah yang hampir rapuh dan separuhnya roboh
Sampai sajakku terjatuh dalam sejarah
Sebab puisi cinta kita tak akan lagi bisa tumbuh di sini
Sampai jumpa di bait puisi yang lain
Terban GK V, 2006
Lanskap
Pemandangan yang itu itu saja
Sampah kota dan langkah gesa
Mata yang binal oleh pameran berjalan
Bising knalpot dan karbon monoksida beradu
Menjadi senyawa anorganik membikin kita mabok
Horison yang kadang hitam buatku
Tentang batu-batu membisu menelan duka luka
Yang gelisah merunut sejarah kota antah berantah
Mencari sinar untuk menyapa puing berserak
(Seperti fantasi bocah-bocah haus kasih
Lahir tanpa sanak, hanya kolong yang sombong
Berebut hidup berebut harap)
Melesatkan impian yang dibangun
Oleh masa yang sama sejarahnya menggebrak nusantara
Tugu atau prasasti namanya menghempas di kampung pribumi
Tanah resah bersimbah darah
Banjir darah, jadi bunga seloka
Di kepingan sejarah dan pematang sawah
Darah di gurat-gurat tanah merah
Telah tumpah menjadi buih yang lahir dan hadir
Tumpah darah aliri bantaran Code
Dan diberi tanda, derita juga kefanaannya
Untuk buangan mereka
(anak kecil itu mungkin lupa bahwa yang dikencingi adalah
aliran darah pahlawan)
Lembah Code, 2006
puisi 07-08
Senandung Putus Cinta 2
--Tiwi Andayani--
Lilin kecil belum sempat berpadam
Desir cemara belum lama berpuja
Serasa kornea enggan terpejam
Sebab layar kata lama terperam
Ada kata yang berkaca-kaca
Dan jawaban singkat, tepat, padat, bangsat
Menyeka igau semenjana tanggal bermula
Tangis atau canda tiada beda
Hanya isak mendesak serak
Mungkin membanjir jatuh yang kini rapuh
Dalam rona jingga mengaliri anak sungai
Entah untuk kali ke berapa
Dalam jarak berbeda
Kulihat di sana biduk terantuk ombak
Sedang di sini pasang gelombang berpasang datang
Bersanding di riak dan gurat bukit pasir
Sambang di pantai tujuan mereka
Tidak untuk kita
Tapi sayang, tak rupa lagi biduk yang aku kamu banggakan
Telah tanggal sebuah kalender
Ketika pagi buta berkeputusan
Seutas temali tak kuasa terpancang di galangan
Bagilah biduk terhuyung di lautan
Luluh lantak ia kini dihempas-hempas pasang
Tinggal cerita bagi mereka yang kelak ada
Ditiadakan...
DIY, 010107
Wanita yang Terluka oleh Sebilah Puisi
-teew-
Ada barisan kata tanya di kerut kening
Seperti beberapa hari berlalu yang lalu
Hujat dan caci bertalu bergenderang
Wanita terpuruk dalam kotak kata-kata
Bukan salahmu, kasihku yang tadi, frasa yang
Kulafalkan ibarat firman pendosa setia
Sebagai adab atau azab berbeda
Sekalipun seribu bahasa mengartikannya
Tubuhnya terluka oleh sebaris kata
Belum sempat saya balut lukanya
Ada sebuah sekat sarat kata berkarat
Tapi kumencari-cari lubang kunci
Sebab akan saya teropong kedalaman lukanya
Lalu saya masuki lubang itu
Ada sebuah lorong yang sama masa
Dan separuh hati isi kasih di meja makan
Tapi ada pula bunga layu terpuruk di jendela
Sebilah cermin retak berserak (mungkin cermin itu
Adalah siluet hati yang tak abadi dan kini pecah sudah)
Saya lelaki yang bernama laki-laki memilih pergi
Untuk menunjukkan setia saya kepada-Nya
Bahwa tak ada duanya yang satu itu
Seperti sebutir debu, Ia kini menusuk dalam mata hatimu
“Kesakitan itu memang kau cari,
kau cari,
cari kau!!!
Gentayangan dalam ulu hatimu
Menghunjam rindu membunuh kasih-ku
Persajakan terbakar di jaringan lambung dan ususnya
Terburai oleh sebilah puisi prahara berhari-hari
Jogja, Januari 2007
Seumur Jagung
Tiandrafona Imagita
Baru saja akan disiangi, di siang ini
Tapi sepagi tadi yang tumbuh di sana itu merajuk
Hendak dipetik oleh musim berganti
Ketika kesetiaan dihalau topan dan ketidakseimbangan alam
Pada kering bunganya, juga menguning bisinya
Pengharapan akan hari esok tanggal sudah
Sesuatu menggugurkan semerbak bunga-bunga
Dan kebun kita telah tercabik oleh salah mangsa
Bangkai-bangkai hibrida, sari mayang yang membusuk
Jatuh terpuruk pada polah semesta
Bunga mayang kering kecoklatan itu
Tak lagi tumbuh di sana. Bagaimana kau mengharapku
Penuh seluruh. Jika parit berlumut
Tumbuh pula di hatimu. Nafasmu memanen kesangsian
Dan kedukaan di hamparan rumputan batin
Meski hanya menyisa ilalang dan belukar berduri
Panen tangis, sayang. Tak ada lagi canda paman petani
Menyongsong musim tanam tahun ini
: segala semerbak dalam lipatan usia kita
tapi kumbang menerbangkannya ke daratan sangsi
Jogja, Januari 2007
The 24th Anniversary
Tiwi Andayani
Setiap kupandang jalanan yang riuh ini
Dari seberang matahari masih ada bulan sendiri
Berganti, sedang kita tersisih dari bayang sepi
Mimpi yang lain lagi
Sepercik cerita tersembul kekecewaan budi
Oleh denyut hari kenangan, bukan juga kemenangan
Yang mengirimmu pada sebuah pesan
Seakan memanggangmu dalam mega-mega kepedihan
Senantiasa, serta iba dan kasih terpadamkan
Karena diam-diam yang hilir mudik itu menghempasmu perlahan
Adalah tentangmu, gadis bersolek bayang ungu
Berpayung rindu, untukku kala itu. Terlindung ragu
Terik dan deras hujan musim ini, kaumurkai pula burung berkicau
Hingga kau dan aku diterpa gaharu
Segumpal sisa pembakaran udara tabu
Menerbangkan bagaskara yang menjorok ke barat, asal-usulmu
Sesaat hinggap di reranting kering di tanah gersang itu
Sebab bertahun lamanya ia menunggu dukamu semenjana
Seperti rawa-rawa berlumpur tempat segalanya bermuara
Atau samudra di sana tempat kita memakan kelana senja
Sepoi angin Januari mengemasi sajak akhir
Sebelum sempat kudatangi reruntuhan cahaya, rimba sepi
Semakin dalam tersembunyi lorong-lorong usia
Sebab sepenggalah matahari menghabiskan cerita kita. dan
Sibakan sapu tangan darimu mengutupkan
Sayang, tapi tidak untuk ceritamu selanjutnya
Sepertinya masih ada sebabak skenario tuhan mesti kaulakonkan
Sebagai epilog sebelum malam menjumpai-Mu dalam kelam
Terban GK V/455, Ykt, 26 Januari 2007Lady’s for Indonesian Republic
--gie—
Girang berona nyalang
Impian datang remang-remang
Engkau enggan berbagi degub jantung
__
Meregang jalang berulang-ulang
Akan tak berakhir tegang
Rupa lelaki sebangsa dan sesama di seberang
Lewat ujung sembilu, bayang kota menggelinjang
Esok hari berangsur jalang
Yang jauh dari peradaban, percintaan gemilang
Setiap sudut kota mengajakmu ke situ
Persinggahan bersama. Entah dengan siapa
Mereka penghambaan batu berlubang sembilan
Yang mengganjilkan pesonamu
Hadir oleh sebisik peri dalam angan
Perempuan pengembara. Berkelana mencari apa
Yang tak akan pernah bosan
Sampai gingsul dan nanar senyummu
Jadi bahan bergunjing sampai kini
Orang-orang terpinggir ke tepian
Terjatuh merengkuh peluh
Ia punya sebangsa
Sawah dan ladang letak membajak
Sungai dan pantai, ngarai dan hutan
Melukis untukmu dalam suatu bahasa
Entah apa namanya. Tanya saja hatimu
Seperti reranting patah
Sejauh-jauh langkah hendak kembali ke tanah
Sebab tersihir perempuan sewaktu rebah
Nama-nama pendatang bersaing pada siang
Sedang aku terlempar ke roda-roda seberang
Seperti tak hendak beranjak, takkan terkungkung
Sampai berabad-abad menyusuri serpihan mega
Bawa segenggam senyum segala penyuka rahasia
Yang kini terhalau musim tanpa nama
Jogjakarta, Februari 2007
Seorang Gadis Memeluk Bulan dalam Pejam
: R. Manon
Lelah menjamah bulan
Letih menidurkan awan di pangkuan
Dibuai dengan tamparan angin
Datang bertubi menahan desah, gelisah
Sepokok gadis di antara ruang
Mengintip sepasang bintang yang sedang bercinta
Dalam remang malam, engkau hendak pejam
Lalu berpamitan memimpi matahari
Engkau tenggelam dalam selimut hitam
Sungging di sudut bibir hendak berkata apa
Beringsut sedikit memaling diri
Sekejap dan hilang. Kembali sunyi aku sendiri
Pada goresan-goresan maya di barisan kata, untukmu saja
Igaumu meghentak bumi
Serasa bergetar kaki langit
Atasmu, memeluk purnama tenggelam
Lara dalam kedalaman katup kelopakmu
Bukan putik binasa, hanya merah mata membara
Membakar kesunyian semenjana jemari menghadang duka
Menggenggam bara untuk kau taburkan sebagai mimpi
Lalu bersemi di parit nurani bersama tanah rekah musim ini
Udara bergeser memberi jalan
Sebab ada sesuatu yang halus menyapa perlahan
Dengan berbisik menghentak warna langit, jangkrik ngerik
Kemana perginya mimpi-mimpimu?
Aku masih di sini menulis sepi
Dan para pemimpi masih menunggu datang esok pagi
Sedang malam masih berdendang dengan iramanya sendiri
Karangmalang, 4 Februari 2007, 03: 30
Malam Tanpa Bulan
“M”
Yang itu juga
Bulan tersumbat kecantikannya
Oleh berlapis-lapis mendung
Mendung yang itu-itu saja
Samar pun tidak, beberapa malam dalam kegelapan
Hingga tak mampu melihat gerak bumi
Hanya meraba polah hari yang kini tengah jengah
Sampai ke lintang mana tujuannya
Rembulan terluka, senyumnya tak sampai ke bumi
Membujur di bujur jagatraya
Di antara kilatan-kilatan membelah cakrawala. Hari ini
Warna yang dulu berseri hendak kau teguk lagi
Dengan sujud sungguh mengharap penuh seluruh
Malam nanti, sebuah bulan
Sebuah bulan baru masak cahaya
Hunjam segala mega celaka dari desir prahara cuaca
Hingga pergi berarak ke luar arena
Rembulan tersenyum, sinarnya mensujudkan dosa-dosa
Yang itu
Belum juga membuka tirai langit. Akan kapan
Warnakan sinar menyapa layar kata
15 Maret 2007
Prahara Kapan Selesai?
Terlalu banyak cita-cita
Terlalu banyak sejarah terlupa jati dirinya
Terlalu banyak soal membutuhkan jawab sekenanya
Terlalu banyak masalah menumpuk di kotak sampah
Terlalu banyak mereka kehilangan ratap dan harap
Percaya pada noda karat malam berkabut
Sedang ini kali kita tak bisa kenali arah cuaca
Tapi, masih sempat kita singkirkan ombak
Ke samudra
Sebab kita baru saja melangkah di hamparan pasir putih
Yang seolah riak demi riak menarik simpati
Dan kita turut jalan ke tepian pantai
Lalu, ombak pun mengombangambingkan tubuh
Kita
Terhempas
Terkurung
Terpuruk dalam palung bernama dunia binasa kita
Dan lelaki sepertiku hanya pasir di pantai
Yang basah disapu buih
Membukit dihempas angin
Tenggelam terinjak-injak
Dan engkau
Wanita yang tersesat di sebuah taman indah
Bernama neraka
Masih bisa kita bermimpi
Bahkan lebih nyata melebihi isi bait puisi
Yang tak akan pernah terlahir ke dunia. Kali ini
13 Maret 2007Ide Gila!!!
Kembali bayang itu berkelebat
Sempat terucap
Kami, memanggang gelisah mega-mega
Sedang bulan murung di peraduan
Hari-hari melesat penat tanpa akhir
Belum berakhir
Mungkin esok hari kita temui anugrah-Nya
Engkau belingsatan akan sekalian cercaan
Tergolek lemah oleh tamparan telak di mukaku
Terkapar tak berdaya karena rencana-rencana gila itu
Di mana rasa kemanusiaanku?
Sekalipun terus menerjang maju, maju
Mampukah menghalau deritamu
Dan jalan terang masih beberapa jengkal di hadapan
Sepertinya kami lupa pada mendung dan kilat berkelebat
Meski tak terlihat mata kasat
14 Maret 2007
05.50/110506
Kadang hujan kadang mendung
kadang berdendang kadang menari
Bumi berbagi tragedi
Sedang matahari belum lama beranjak dari sarang
Tanah ini rekah, bergerak kerak memaknai duka lagi
Sedang di utara atas sana sedang bergejolak galak pula
Sama gelisahnya
Dan jerit berderit, tangis mengaliri tepian lautan
Berapa raga terkubur di lubang masal itu
Di sana, di bawah reruntuhan usang seorang tua
Dengan lambai. Kaku dan kelu
Menahan rasa atau mengiba. Tak bisa berkata apa
Malam mencekam
Kita seperti kembali ke peradaban sunyi
Tanpa penerangan atau binar rembulan
Rerintik gerimis meminggirkan yang renta itu
Tulang rapuh, sendi tak lagi bisa berlari
Rata yang benar-benar rata
Sungguh tak pernah diimpikan yang nyaman ini
Rumah-rumah tua, kubur tua, dan orang-orang tua
Berserak rebah mendepa tanah. Berhitung satu sampai berapa
Akan didirikan dengan apa mereka…
Sedang pelepah pisang pun tak lebih kokoh dari rerumputan
Korban nyawa beribu, harta tak terkira
Tak sebanding dengan ikhlasmu
Dan mereka terima dengan mensujudi setitik Kun-Mu.
Terima kasih, tuhan
Imogiri, Mei 2007
Rindu yang itu
Berapa aksara dan ujaran
Aku lafalkan dan akan diikrarkan
Bukan merayu wanita kumbara di sana
Tapi, yang terjadi dengan panorama itu
Telah tertinggalkan oleh bulan di seberang
Dan hanya sisa bayang semu senyum terakhir
Dalam album foto dan sesobek wajah dalam dompetku
Metro. Juni 2007
Sebuah Harap
Angin dingin mengemasi sajak gelisah
Bangku-bangku kosong, embun datang melambai
Jangkerik berhenti mengerik
Kelelawar berhamburan di pepohonan
Dan burung gagak menyalak di atas pekarangan
Gerah menjamah gelisah, menerawang di tembok kamar
Orang-orang dibuai mimpi entah apa
Mungkin tentang paceklik dan mahalnya hujan
Tinggal aku telungkup di bawah sinar
Menidurkan kata di lembaran-lembaran
Di penghabisan malam ini
Musim berganti. Angin pun meniup ke tepi hati
Selebihnya, bintang mengarang, bulan sabit berpuisi
Melintas sepi seperti tetesan embun yang menangis sendiri
Akan jatuh di tanah air ini
3 Juli 2007
Rindu; pagi, siang, dan malam
Bulan berpayung mega-mendung
Luruh ke bumi menyisir kabut
Horison semakin kabur
Gadis berkerudung di seberang tinggal dikenang
Sebab daun kenanga jatuh menguning
Terjuntai di tanah basah
Dan bunganya layu di dahan
Aku rindu dalam sedu itu
Sedang engkau sedan pula
Tenggelam dalam rindu yang sama rasanya
Yang tertahan di anak tekak
Yang hampir beranak ini
Lantaran hari belum juga tiba
Menggiring kita ke pertemuan abadi
Seperti daun kenanga berguguran itu
Hatiku kering kerontang merambang kabar
Metro, Juli 2007
Tiga Bulan Terakhir Kehilangan Induk Semang
Mak, ini anakmu lanang sudah purna dari terbang layang
Melayang - - - terperosok dalam tebing curam
Di antara belukar resah dan sampah tak sopan
Jangan kau sesali jika anakmu lanang yang mungkin kau sayang
Memporak-porandakan sayap deritamu
Dan akan ke mana luka yang semakin lara
Akankah kau jilati seperti anak kucing itu
Melabuhkan sungkem; cium tangan; dan sembah bektiku
Di setiap sampan harapan menyudut temaram cahaya di tiap ruang
Rumah cintamu itu menyemai beribu bibit tentang harap agar bisa
Kau panenkan di musim salah mangsa ini
Tapi, badai senja itu menghancurkan pesona bulan petang nanti
Ruang batin terbuang di retakan tembok pagar
Panas pendengaran meledak puncak pegunungan
Hasrat sanggit teramat sesat melesat di tepian laut
Mak, ini anakmu lanang hilang terbang. Kembali ke pangkuan
Akan kau timang atau kau telantarkan
Dalam kedalaman jiwamu, kepasrahkan egomu
Dalam keriuhan yang tadi. Jajaran usia di keriput senja
Keperakan rambut dan alismu bermakna ganda
Betapa banyak kau rasa
Wujud tunggal yang berhati tak satu itu. Aku turut terjaga di sana
Anakmu lanang akan bercerita
Dimulai dari sebuah jarak antarmuka kita
Kesungkanan pun mengembun
Di antaranya, berapa dalam cinta dan rasa
Yang kutempuh. Kita santunkan
Pada iba masing-masing cerita sebab tak ada cinta di sana
Itu adalah kama tak berdosa
Pada hamparan neraka yang bisa biasa amat berbisa
Dan betapa dalam tereja kata-kata
Yang sampai pada telinga dan hatimu bukan kicauan
Itu bukan rajukan si manja pada emaknya
Tapi, genderang tangis dan rasa berkepanjangan
Sisa dari kepedihan yang lara. Betapa kau terus terjaga
Ia pun heran. Tercenung. Kehilangan kata. Hanya geram atau gumam tak beda
Jua gerangan kau kenangkan. Rasa dan karsa berkecamuk
Akan dibawa kemana rasa itu
Begitu lara seperti kalimat putus cinta
Akan berakhir di sana. Perjalanan pungkasan
Sementara resah menjamah sedang hati terbakar matahari
Senja celaka kala itu
Terban, GK V/455, Juni 2007
Kepulangan
Sengaja aku pulang, sejenak istirah
Ke rumahku yang dulu di timbunan usia mata
Melihat jelaga di langit-langit
Hitam berkerak seperti hatiku yang keram
Menyeret langit tua ke dalam sini
Langit belingsatan kehujanan gelisah
Dan seperti biasanya
Aku rajut lagi sejarah sarang laba-laba
Yang belum selesai. Cita yang terbakar
Di tungku sengketa itu
Sejarah yang belum tertuju atas sana
Ketika kerlip bintang tak ada gelora
Ketika angin akan pergi membawa cerita ke serambi;
Ruang tamu; kamar pengantin kita; kini
Tinggal sisa gaung saja di kejauhan cahaya
Aku datang sengaja
Kembali belajar mengeja batu-bata
Menghitung luas rumah kata-kata
Membaca sasmita daun jendela
Terbukalah belantara. Aku akan ke sana
Panorama kehidupan hina raya
Dengan segera jemput angin. Bawa cakrawala
Diantarkan pada penawar siapa suka
Lewat huruf, kata, dan frasa sebelum senjakala
Metro, 27 Juni 2007
Obituari Anggrek Bulan
Angin mengundang kepulangan. Ketika langit bangun
Tanah lama tak terjamah oleh impian
Taman masih sepi. Hanya sisa tetesan embun
Yang bercerita bahwa jagad raya sedang berduka
Ketika bunga itu layu sebelum masa
Pesonamu terbang ke langit itu
Kejar mimpiku bersama ribuan kumbang kinantan
Yang dulu mungkin pernah ziarah di kelopakmu
Aku pun pasrah. Sayapku patah sudah
Ketika salah satu lebih dulu menggapaimu
Kuikhlaskan keindahan. Aku terpuruk
Terkubur sejarah
Tak ada lagi panorama itu; bunga anggrek
Bulan gugur tanpa pesan
Hikmat oleh peradaban suatu masa
Di atas batu-batu
Awal derita kumbang jantan
Terkapar di sudut taman pekuburan
townpark, Juli 2007
Tiga Rupa Bunga
Kembang setaman di lekuk batu nisan
Mengumbar sesaji dan pedupaan
Untuk mereka yang dahulu pergi
Ada kenanga, mawar merah jambu, dan irisan pandan
Juga rencana sederhana yang lama tertunda
Penggusuran itu. Kau curi lelah lelap mereka
Dari pertama bermula tertanam
Sebab mereka hanya kenangan
Tak akan protes ataupun demonstrasi
Di hadapan barikade pohon kamboja
Di tebaran bunga, kau bakar berkas rencana
Sebagai kemenyan dan dupa. Kau pun lupa
Tulang belulang, sisa jasad mereka
Terpasung menikmati jelaga. Rinci dan terpuji
Dari pembaringan yang membenamkan sengketa
Terhadap siapa petak tipe sangat sempit sangat sederhana
Ini diwariskan
Mereka adalah sisa tragedi bunga tiga rupa
Mereka adalah pondasi dari megah tata kota
Metro, 2007
Bocah Penggembala 2
Bocah penggembala menjaring mendung
Sebab mentari sembunyi rupa padanya
Dengan bercaping gerimis dan pelangi senja hari
Berkaki bulir padi dan kecipak irigasi
(imajinasi)
Mendung itu tak hendak beranjak
Ia turun ke bumi menulis puisi
Cakrawala senja kala. Penggembala pulang kandang
Menjemput cinta yang hilang
Semburat sulih warna cahaya dunia berkejaran
Dengan hitam malam dan kokoh Bulan
Bulan buta binar
Bumi manusia telah ubah rupa
Jalan kehilangan persimpangan
Tinggi bukit kehilangan lanskap keindahan
Mata air menjadi air mata mereka
Sebab rumput tak sempat tumbuh di dataran ini
Mereka pun beranjak dengan kekosongan
Barangkali perlu dibangun pabrik rumput instan
Untuk robot herbivora
Metro, 2007
Puisi Bunga Kamboja
Gugur bunga kamboja tak sempat kering dan layu
Di sini
Malam itu, kulihat bulan mencipta bayang
Dari balik dahan. Bayangmu sendiri
Seperti puisi yang tercuri
Kutulis di atas batu nisan untukmu saja
Lalu kukirim lewat kerlip bintang dan angin malam
Sebagai sisa harum bunga di tanah berdarah
Aku bisa merasa
Jika segala impian kita
Lebih mencekam dari malam di kuburan
Metro, September 2007
Puisiku
Puisi mini
Sudah pasti
Dan tentu
Aku orang kecil
Tak tinggi hati
Tak meniti tangga obsesi
Sumarah pada sejarah
2007
Kembara Rasa
Dan aku tersadar akan puisi
Syair yang tak sempat berarti
Meski sebagai kiasan basi
Purnama tagih janji
Dan perkara lelah mencari
Setelah beberapa saat berjelajah
Kembara. Lalu, rasa itu singgah
Membujuk langkah
Menuntun hati goyah
Telah lama aku pasrah
Dari kembara kata dan polah lidah
Sampai kini belum merasa kalah
Masih ada rasa di sana. Hentak detak jantung
Berpacu kencang
Terusir pulang
Oktober, 2007
Kebebasan Bulan
Tulis saja bulan dalam malamku
Gapai kasih kerlip antara bintang
Simpan rahasia malam
Dengan dingin angin akhir musim
Awan-awan pergi beringsut
Kelelawar membentangkan sayap
Hitam, di tengah lintasan bulan
Bulan pun pucat tak menjawab reruntuhan cahaya
Tak seperti dulu
Senantiasa ia tak enggan berbagi
Serupa panah pasopati ,melesat tepat di jantung kelelawar itu
Hingga bercahaya wajah pertiwi
Jika bulan enggan membuka jalan kelana
Bintang pun tak tahu arah
Tersesat di balik mega. Memetik rerintik
Hujan berkali turun. Dengan seksama lepas jerat
Bulan punah sudah, menyembunyikan kebebasan
Di antara angin dan bintang
Berpelukan kencang
Oktober 2007
Kesendirian Rumah Cahaya; bulan
Kesendirian rumah cahaya inilah yang kau pilih
Sebagai pengembara dan pemimpi
Diam di rumah gulita
Tafakur dan bersujud dalam senyap
Dan pintu rumah ini
Telah menjelma bibir bungkam
Dan bingkai jendela sepasang berukir bangkai
Tertutu rapat, lapar binar
Ia lebih suka sendiri
Sunyi tanpa cinta
Berdikari pada punyanya
Tak membakar gelora
Daun jendela berkasih
Pintu tetangga senggama
Pada rumah hampa tak berhati
Bukan untuk hidup
Tapi, yang di seberang sana
Orang-orang memanggang bulan dengan bintang bara
Ketika yang di sini tak hendak mengobar pula
Dengan darah yang kau cuci sendiri
Agar tetap tanpa ucap seumpama
Sebentuk sejarah sembunyi nama
23:16, 24092007
Senandung Putus Cinta 3
– wulan ristanti – (131007)
Angin perantara kita
Sebuah ucapan ditulis dengan sisa cinta
Sekedar saja. Kata berhembus sekenanya
Akan ke awan pula terbaca
Ia bangkit saat penat.Menyisa isak dan gema
Dalam satu tiupan tumpah ruah
Gelombang cinta menjelma air mata
Hempas beribu debu jadi suguhan ruang tamu
Dan embun di mana pun menguap santun
Jika gelap hati mewarnai bulan baru
Seorang perempuan berselendang ragu
Langkahnya goyah terjerat kesumat
Seperti noda di paruh tubuh
Suar-suara bingung. Ia pun memilih diam
Kata atau sejenisnya urung terhubung
Lepas sudah saat tahun berulang menjelang
Tinggal kawan tanggal kasihku
Subuh telah lebih separuh berlabuh
Sisa embun yang tadi menggigilkan hati ibu jari
Hanya tak tau rasa. Terbata di petak batu bata
Angin luruh angan runtuh
Sebuah hayalan tingkat tinggi diserang perang
Perang dingin, sangat dingin
Sampai tak ada desah gelisah, nafas jelas
Tak lari dari realitas. Hari jauh sedari
Bulan yang itu, terasa mencekam
Hampir saja. Tangis kehilangan air mata
Terima kasih. Kau ajari aku menangis
Dan maaf
06:01, 1 Syawal 1427 H
Penghantar lembaran puisi yang dibakar di tiap sisinya
Dan ini…
Hanya segulung dari deretan kata
Tak bermakna, mungkin saja
Kalau nggak suka
Boleh dibuang, disobek
Atau silakan teruskan membakarnya
Bukan Piala Bergilir
Di podium sebuah piala cantik dan berhasrat
Juarajuara mangkat saat singkat
Bertahan sebagai jawara. Giliran tiba
Telah berpeluh tubuh ini kelewat mangsa
Membangga cemas dan sangsi
Sedang kabar kepalang sabar
Pecinta ini pun sadar
Menunggu waktu haru
Dengan setia di bangku tak baru
Sunyi getar. Ia pindah tangan
Telah kumal, Sayang. Sesak kemudian
Hadiah pemimpi jadi pajang
Etalase dilarang dipandang
Apalagi dipegang. Aduh sayang…
Depan Pasar, November 2007
Memoar Mawar Plastik
Pada vas bunga mejameja hampir bundar
Bangkai mawar tak lagi berbinar
Andriani bantai puisi. Andri mati posisi
Warna pudar; mereka menolak sajak kami
Aroma di dalam dan di luar berirama
Sama jenis kelaminnya
Sekarang kurasa sapamu lantang
Dalam vas bunga yang tak pas
Menolak kala jumpa warna
Beda kita takkan mengaburkan semerbaknya
Sebuah kisah yang dimulai dari setangkai bunga
Harum tentu bukan diharap sebab
Ia tak bersekutu dengan baubau
Angin terlalu cepat beringsut
Tak berasa akar memegahkannya sebagai jelita
Seiring sarkasme begini menyisa duri
Dari tajam katakata. Hawa beda masa
Menjadikan sejati perempuan
Dan aku lelaki dengan bunga imitasi
Tak begitu dengan pijak bumi ini
Kehilangan bulan yang kau bilang tak perawan
Jauh darimu mestinya beribu jenis bunga merebak salam
Jadi pandangan dan pemandangan siang malam
Membuka cakrawala harihari. Harum pelataran
Di hadapan jalan penyuka kedamaian
Bagaimana cara merangkai mawar di mejameja
Terpisah sekian laksa
Menjauh dari genggaman, dan
Ruh ini belum pernah kuasa akan frasa
Adam tak berani hidup di bumi
Tanpa hawa yang berbunga dari iga
03112007
Semoga Teman Sebiduk
Aku akan ke seberang
Ini ceritera bermula dari sarang
Dari sana ke sini aku datang
Ada yang bilang ada pialang
Hitung punya hitung rembang sebayang-bayang
Mencari isi hati
Sebegini carik kertas dikoyak tiada terperi
Bunga gadis sesubur pertiwi
Dan jemari di seberang melambai
Dengan dayung tak berukir ini
Kuajak akan ia kembali
Tidak pada deras arus kali
Mengalir ke muara seperti
Bintang panjar hari menunjuk sepi
Segala hanya bisa seiring meniti
Selebihnya setelah bintang menghilang dari kami
Jelajah negeri mendayung tiada henti
Dan akan kita galang biduk ke tepi
Di sanakah tepi bagimu. Laut tak memuara garamnya
Yang suka bukan tanpa rasa masin airmata
Pasti ada gulir air juga
Tenang, riang, sarat frasa
Barangkali tajam karang tak berasa
Bahwa petualang di sana penyuka rahasia
Memecah buih; menuju dermaga dengan atas nama
Jika seorang diri lainnya tak kuasa
Yang itu masih jauh dari buta mata
Sepasukan burung camar sempat membuat sengketa
Berebut menjemput lambaian sang jelita
Sebelum di peluk kabut kelam karena apa
Tidak jauh tidak dekat
Batas kedalaman lebih rapat berjabat
Kerudung dan dagu kerucut
Bukan tempat tali pancang biduk bertaut
Tapi, hatinya yang harap-harap turut
Pelayaran pungkasan. Dan semoga dayung bersambut
Metro Selatan, 2007
Senyum Ganjil suatu Senja
: nerry
Yang tak baru bisa tersipu pandang antarmuka
Pandangan jauh lindasan aspal
Meneguk lelahnya senja musim bercinta
Baru saja kurasa cakrawala beda rupa
Jalanan aspal basah. Tangis siang kabur ke mendung
Bagi pengukuhan yang satu itu
Bincang tak bimbang. Pandang yang dalam jelang pulang
Sebelumnya. Saat gerimis tumbang di tebing curam
Aku terkunci kaki di pintu belakang
Menikmati cuaca dan berlindung dari kejam cuaca
Meraba frasa seadanya dari lembab titik kaca jendela
Terlukis kata sederhana di sana
Rentetan usia singkat hujan
Sempatkan engkau menyapa lembab udara
Dan kuhalang terjang kecipak segala tergenang
Pandang matamu jauh di utara
Entah pada siapa sapanya
Kala kata enggan terbaca
Entah di musim mana bisa bersapa. Hanya lirik
Puisi lusuh sisa titik air kaca jendela
Kenang saja dalam sajak kita
Orang berhambur. Lari dari cuaca rahasia
Yang terlukis lanskap perbukitan. Akan
Kujauhkan rentang usia singkat hujan dan tinggi hati
Kudekatkan arah pandang fatamorgana
Jarak sempurna. Tak jelas selalu saja
Nanar binar mentari senja
Dalam kerendahan senantiasa. Tereja kerjap mata
Isyarat atau tanda serupa tiada ada bedanya
Oleh kisah yang bergegas seumpama
Seutas berita buram. Lambaian tangan menyudutkan frasa
Melari olehnya waktu menua; menuai puisi sepuisinya
Bandarlampung, 19 Desember 2007
Jumatan Ketiduran
Siang telentang menjelang sembahyang
Hadang awang-awang tak berbayang
Imajinasi sepi lelaki mumi sepagi tadi
Berbalut mimpi terbujur ke tepi
Dan sobekan nurani menjadi sumbu
Yang membakar air mata sebagai abu
Dalam kamar berdebu, ruhku beranjak ragu
Di antara daun-daun waktu bergerak maju
Sebab panggilan masih fana, lama pula
Dan tidurku tak pejam menganggur
Dalam terik di kaca jendela
Dalam jaringan yang kabur
Kuletakkan rupa cahaya
Mentari kelam terkungkung syair getir
Kamar ini adalah arena persemaian
Mungkin iblis, malaikat tak malu mengadu pada tuannya
Mereka bertarung dalam dada sungguh siapa kira
Segala aduan serupa adzan masa perhitungan
Saat sujud mendekat terwujud. Sejenak sadar
Dosa membayang keranda diusung
Lelaki ini melucuti pagi pasi
Pergi ke sumur mencuci cemar. Mandi puisi
Sekali sepekan kembali berketuhanan
2007
Rupamu tak Kuasa Bercinta
Telah terbaca sajak tentang cinta dan sakit hati
Juga segelintir luka menganga. Sedang liku itu
Akan selalu begitu yang selalu pedih
Tiada duga kecewa mana berkisah tabah
Menutup jalan pertemuan
Temuan hati pada tubuh rubuh
Yang sering kau rawati
Agar selalu tegap menatap lelangit
Kita beda dimensi
Kurindukan masa yang dibangga
Dengan luka mana lagi
Ketika hunjam belati mencabik
Singgasana kita. Telah aku pesankan pada Hyang Wenang
Sebab tak sama semua tentang kita
Pengharapan hati satu. Kesatuan yang
Di bagi penyebut, datang menghalang jalan setapak
Telah pula aku lebarkan sekian depa
Sedang jejak langkah membentuk bidang
Adalah sebuah perhitungan ekonomis dalam drama
Percintaan Burisrawa yang berakhir nestapa
2007
Cinta Bersyarat
Pujawati pemuja mimpi purnamasidhi
Ada sajak terselip di balik tusuk konde
Di helai selendang dan sisa air matanya
Tentang kejatuhan. Sangat menyakitkan
Separuh tubuh . Antara malam hampir fajar
Pertapa pun melari. Hari mencari hati untukmu
Hanya bagimu ia mengangkasa bersama udara nestapa
Bumi bergelimang bingung, angkasa tak menjawab aksara
Kau tegakan tanah airmu mencuri mendung paling murung
Sebab terusir dari singgasana jagadraya
Berpulang pertanda mimpi padamu
Persembahan hari anggarakasih
Bagaskara berganti hati
Semadi dalam puji kematian
Bocah bajang diasuh dengan kasih
Melari sulih jiwa pada cintanya
Lalu gontai sebab raga tak kuasa
Pun mantera menjelma jantera seta ludira
Menghadang perang masa bersua di argasoka
Tunggu saja kobar api asmara
Menceburkanmu tak ragu
Dan kesetiaan terbang layang bersama jelaga
Tiada duka. Mereka binasa karena kesetiaan cinta
2007
Lirik pendek penghuni lapas dalam empat hari
Pagi lari
Siang salang tunjang
Malam tenggelam dalam kejam
Pagi kembali posisi
Siang merejang garang
Malam mencekam
Pagi di balik jeruji
Siang sidang
Malam bersajak kelam
Pagi puisi mati
Siang terbayang sarang
Malam dalam kalam kitab hitam dendam
2007
Ada Puisi di Segelas Teh
Ada sela di depa kedekatan kita
Segala tersudut menjadi segi tiga
Obrolan kemalaman yang singkat
Semenjana bergulir kata pada ruang seadanya
Sebelum sempat aku pamit
Di sana mendung datang menghadang
Sebelum aku—kamu berbagi cerita
Ijinkan aku menopang dagu
Agar pesonamu tak terjerambab ke lantai
Dengan angan sejuntai
Kupungut berpasang-pasang sebagai
Penghantar silang hati dan wajah sembunyi
Kala jumpa lain peristiwa yang tak kau harapi
Aku petutur, kamu penutur. Tak mengapa
Masih bisa kita simakkan
Roman picisan ia lafalkan
Sedang aku sibuk dengan kepul dan kepal
Juga sisa segelas teh yang kau suguhkan
Sebagai jeda di awal jumpa rupa
Baris percakapan dapat digarisbawahi
Sebab ada sela kata pada sublim titik didih
Aku memaling badan
Langkah mengarah. Aku enggan pulang
Dan ini. Segulung cerita masa lalu
Dalam album kata. Yang kelak kau
Kenang dalam sisa isi gelas kaca
Untukku saja. Jika tak terpaksa
Sukadamai, 2007
Serupa Abu
Bulan tak juga menyatukan malam dengan siang
Pada serangkaian bunga tak layu
Secercah pun takkan berpaling dari kobaran
Aku yang bagai kayu bakar
Terbakar ruang
Langit belum menyala lagi
Yang menenggelamkan bulan
Serupa abu, vas bunga itu
Haya menyimpan arang
Yang patah sudah
Meja sepi
Mungkin taplak, asbak, korek api, sebungkus rokok
Yang meributkan abu. Yang terduduk tersipu
Mengobarkan cahaya bulan juga
Kepul asap kemarin mengaburkan malam
Meja sepi, kapan lagi
Genggaman jemari beda warna
Menyatu dalam ujaran samar
Terlena malam bersapa bulan bintang
Yang datang dengan pesan
Tanpa balasan
Tanpa penantian
Natar, 2007
Sepertinya Pejam Malam
Seperti melukis puisi dengan sapuan hujan
Aku di atas kanvas
Yang mungkin kau kenali rupa-rupa
Serupa cakrawala wanita di hadapan
Membentang luas sepuisinya
Satu frasa tertulis sadar sebagai laki-laki
Dengan kuas di tangan Aku melukis; hanya satu gadis
Kulukiskan gadis sebelum senja
Setelah sekian panorama. Alam punah romansa
Keinginan pun punah oleh bidikan malam
Hari terlampaui dalam dingin dan gelap
Mata buta, jarak tuju tanpa alamat
Terarah sekenanya di pusat tata bahasa
Dan begitu dilukiskan angan
Sebuah gadis dalam kegelapan
Membakar kanvas sebagai dian
Malam diam, cahaya berhamburan
Tanpa langkah kaki. Jalan pikiran
Hilang terang rupa bulan
Sedang aku mati cahaya. Tak terlihat bayangan
Yang tersisa hanya hati tak ternyatakan
Metro, 2007
Pada Sebuah Jawaban
Pagi kuajakkan ia
Melangkahi hari. Menapak di pijak kaki
Pada seruas jalanan kota
Sedikit saja tak mengada
Ia yang sebagai sebatang pisang
Tumbang di sebelah pekarangan kosong
Diam tak merejang, bersemedi di perigi
Di tepian jalan
Segala awan terusik
Dan harap sempat menyapa
Mendung masih sempurna kelam
Hujan pun turun berhamburan
Sedikit pada kicau burung esok hari
Sebuah kabar riuh jalan
Dengan anggukan dan siul kecil
Akan kubimbing dalam gandengan
Tapi, ia telah menghilang dari sapa
Sebelum sempat menghalang cuaca
Metro, November 2007
Little Poetry in Tea Glass
There is interrupt our contiguity fathom
All angle;corner become the triangle
brief backtalk so night
word of patch up space
Before I have time to take leave
Overcast to over there come blocking
Before I-you share the story
Permit I sustain my chin
So that your glamor do not fall to floor
With the dream, I collect a couple of as
Crossed of liver and face hide the
Scorpion meet the other;
dissimilar event which you don’t hope
I see, you say. Never mind
Still we can correct reading the
In no use Romance her articulate
I am busy stir by
Also the rest of tea glass which your serve
As interval in early meeting aspect
Conversation line can be highlighted the
Cause there interrupt the word of sublimating dot boiled
I body thief
Step to instruct. I shy at to come back
And this. Furl the past story
In word album. What later you
Short memory in rest of content glass
Just for me. If don’t be perforced
Peaceable Area, 2007
Jembatan Menepi ke Jalan
Aku kembali akan pesona tunda pesan
Berbalik ke seberang
Ini kali mengabarkan kesangsian deras
Luapan air mata, kedukaan sajak serta puisi luka
Genangan air merabunkan pandang: sebuah jembatan
Baja dingin menghunjam tepian hati
Mungkin meredam erosi luap emosi
Di ujung jembatan, aku di antara dua jalan
Seberang atau arus tak biasanya
Terpana sekalipun embun berangsur turun
Hawa udara tetap menyala
Dalam batin sebagai bara. Engkau menyulut kesumat
Memanggang radang. Gelisah
Kali mati untuk kali ini dan kali ke berapa
Sendiri di atasnya. Ia bernama mendung
Seperti kamu terpuruk lunglai dihempas seberang sungai
Senja tadi. Jalan dan kata itu seakan
Dikelilingi padas keras juga tangis
Aku katakan, trotoar sempit ini mencari teman
Sebab tak pernah orang termenung di atasnya
Usai salam gerimis dan persinggahan itu, apa
Sajak sempat berkabar di atas jembatan. Tak ada pesan
Perempuan dengan kesakitan bulan
Yang tak enak badan menjejak ruang depan
Sisa petak-petak nafas, redup pilu. Ratap mengutup
Aku menggigil ganjil
Di hadap lanskap
Gerimis atis
Salang tunjang menerjang ke seberang
Malam menjelang. Tebaran isyarat
Udara di sana menulis puisi
Hanya aku
Tersisih merindu hisap nafas
Aku, arus kali
Menghempas inti batu
Untuk sekedar membaca, mendengar, melihat, dan
Yang paling sukar kau rasa
Bukan lantaran kegelapan dan cuaca hujan
Dengan alamat di penghabisan perjalanan
Sempat hilang di sepanjang jembatan
Yang ditelan demikian tabah sekian kali
Transfield Bengawan, 19:40 – 21:10, 171207
Rupa Euphorbia : R.W.
Demi bunga mekar patah tangkai. Terpuruk pada tanah
Sebab tak mengaduh ia jatuh lalu kau rengkuh
Beri padaku sebagai puisi ramah tamah
Sebelum kau murkai serangkai angan dan tangkai di tangan
Demikian, rintik gerimis di hadapan menghapus catatan
Usia yang ditulisi duri mengoyak kenangan
Ketika onak mencabik kuntum bunga ia yang punya
Betapa luka menganga; layu mimpinya
Juga lagu syahdu dalam kisaran air hujan
Yang tak juga hendak pergi digiring arah angin
Kembara kepiluan kelopak kembang
Kehancuran yang kau kehendaki. Bila saja
Bersama tetes rintisan gerimis memanjang jengah
Serupa wanita di halaman menyunggingkan rona serupa pula
Merasai saat usia memalingkan rupa cahaya
Seperti ratap lelangit menebar tangis seluruh tanah
Semua menjadi kelopak sari pernyataan atau pertanyaan
Malam telah jauh dari kepergian semula
Bulan terlihat lama tertimbun halimun yang sama
Bintang lupa binar, hitam oleh embun dan kuntum euphorbia
Dari malam segala malam si jelita
Dari bunga di genggaman berjelaga si jelata
Sebagai puisi yang tak kuberi arti
Berangsur layu ia kini
Tersisih di hamparan kursi dan samparan kaki
Jarum jam menyelam dalam sublim malam
Dari malam ini dengan malam berikut
Kuharap sesuatu luruh dari langit
Tapi, bukan hujan, sayang. Aku pulang
Metro, 100308
kubuatkan puisi jelek untukmu lagi**
Romansa binasa
Imajinasi sepi kelana wanita sebenarnya
Sebab ia terukir sepuisi kala luka senja
Nestapa juga lara siapa suka berpunya
Akan kuantarkan ke seberang. Alamat para pengembara
Wasiat dari riwayat yang tersurat di gurat hati
Ilusi secuil jejak kelopak berserak tiap pojok kota
Digenangi ratap, sajak-sajak dan roman revolusi
Impian pada curah cahaya bintang menepikan bulan bersarang
Yang kubidik dengan tangkai berduri. Lesat menguak
Ambang kematian rupa cahaya. Angin kering dan mendung runtuh
Tumpah bersimbah sejarah. Tumbuh pada kepasrahan tanah
Inilah rupa dunia bila Adam letih mengejar jejak pelarian Hawa
…
Bersekutu dengan waktu batu
Yang dingin rasa dunia kala senja melari bulan
Kehilangan frasa, kucari seribu kata, dan
Esok ketika matahari dalam hatimu kembali merenangi hari
Titipkan ini pada lubang sampah atau kobar api
Embun pun jangan sempat singgah membasah
Ke pelataran dipenuhi bunga, pepohonan, dan terang lampu jalan
___
Senyawa yang lama, yang bagiku sama melaju bilangan hari
Engkau bunga dan duri dari sepi taman kehabisan insan
Lebur di simpang musim antara mekar bunga dan ranggas daun jati
Akan kusajakkan ia dalam lipatan sejarah masa silam
Walau putik balik dipetik, kurawat akar pohonnya
Erat memeluk tanah, menulis puisi sampai tangkai pancang nisan
Berpaling mengubur pejuang malam kesekian, menancap dalam
Epilog bagi gugur bunga seroja dari serumpun peribahasa
Selawe, Maret 2008
Trmksh ya.. (Srikandi 21th reply)
Beradu waktu melaju serapah arah panah
yang siap nancap di pulung hati; yang rebah tanah
bersama sejarah dan abad antah-berantah
prahara lama reda. jika menyisa, rasa hanyalah rona
putri gendewa menyisir padang gersang
hadang perang menantang, tengadah di tengah
menghempas deru dan debu jadi abu
awan berpayung rindu padamu
terik menarik sukma seketika busur kau rentang
melesat cepat yang hanya satu itu
sampai sepi jiwa, sepasukan angin menepis selendang. dan
di atasnya langit berbelit tanpa fatamorgana
horison tak kasat mata
tanah resah bersimbah darah, hujan panah
tubuhnya roboh tanpa perih atau rintih
ratap sempat tak terucap. ia menatap diri di atas diri
lanskap darah di awan dan lipatan masa menjelajah jengah
waktu berhimpit di tubuh penuh luka punyanya
perempuan penyebabnya
sedang ruh masih sempat mencatat bahwa ia setia sekata
dengan aksara hembus udara
rentang usia yang terabai oleh kisah. bila saja
di bawah senja merenungi sangsi dalam rekah tanah
tak ada daun atau ranting kering yang bisa disarati
kepada penjaga hati. debu-debu menghantarmu ke haribaan
dan pergi membakar api kremasi. seperti sungkawa senja
sebab tak ada senjata yang bisa membelai sebelumya
cuma cahaya bulan. sisa cuaca tiada mencaci jasad beku
tanggal kabut meliput dan cakrawala sunyi tepian laga
bulan datang berulang. bertahun-tahun
aku pahami kisah itu. mengenangnya dalam puisi cinta
yang kekal dan fana; selalu gagal menulis kisah sesudahnya
Bulan hampir/lebih separuh, Metro, 19032008
--Tiwi Andayani--
Lilin kecil belum sempat berpadam
Desir cemara belum lama berpuja
Serasa kornea enggan terpejam
Sebab layar kata lama terperam
Ada kata yang berkaca-kaca
Dan jawaban singkat, tepat, padat, bangsat
Menyeka igau semenjana tanggal bermula
Tangis atau canda tiada beda
Hanya isak mendesak serak
Mungkin membanjir jatuh yang kini rapuh
Dalam rona jingga mengaliri anak sungai
Entah untuk kali ke berapa
Dalam jarak berbeda
Kulihat di sana biduk terantuk ombak
Sedang di sini pasang gelombang berpasang datang
Bersanding di riak dan gurat bukit pasir
Sambang di pantai tujuan mereka
Tidak untuk kita
Tapi sayang, tak rupa lagi biduk yang aku kamu banggakan
Telah tanggal sebuah kalender
Ketika pagi buta berkeputusan
Seutas temali tak kuasa terpancang di galangan
Bagilah biduk terhuyung di lautan
Luluh lantak ia kini dihempas-hempas pasang
Tinggal cerita bagi mereka yang kelak ada
Ditiadakan...
DIY, 010107
Wanita yang Terluka oleh Sebilah Puisi
-teew-
Ada barisan kata tanya di kerut kening
Seperti beberapa hari berlalu yang lalu
Hujat dan caci bertalu bergenderang
Wanita terpuruk dalam kotak kata-kata
Bukan salahmu, kasihku yang tadi, frasa yang
Kulafalkan ibarat firman pendosa setia
Sebagai adab atau azab berbeda
Sekalipun seribu bahasa mengartikannya
Tubuhnya terluka oleh sebaris kata
Belum sempat saya balut lukanya
Ada sebuah sekat sarat kata berkarat
Tapi kumencari-cari lubang kunci
Sebab akan saya teropong kedalaman lukanya
Lalu saya masuki lubang itu
Ada sebuah lorong yang sama masa
Dan separuh hati isi kasih di meja makan
Tapi ada pula bunga layu terpuruk di jendela
Sebilah cermin retak berserak (mungkin cermin itu
Adalah siluet hati yang tak abadi dan kini pecah sudah)
Saya lelaki yang bernama laki-laki memilih pergi
Untuk menunjukkan setia saya kepada-Nya
Bahwa tak ada duanya yang satu itu
Seperti sebutir debu, Ia kini menusuk dalam mata hatimu
“Kesakitan itu memang kau cari,
kau cari,
cari kau!!!
Gentayangan dalam ulu hatimu
Menghunjam rindu membunuh kasih-ku
Persajakan terbakar di jaringan lambung dan ususnya
Terburai oleh sebilah puisi prahara berhari-hari
Jogja, Januari 2007
Seumur Jagung
Tiandrafona Imagita
Baru saja akan disiangi, di siang ini
Tapi sepagi tadi yang tumbuh di sana itu merajuk
Hendak dipetik oleh musim berganti
Ketika kesetiaan dihalau topan dan ketidakseimbangan alam
Pada kering bunganya, juga menguning bisinya
Pengharapan akan hari esok tanggal sudah
Sesuatu menggugurkan semerbak bunga-bunga
Dan kebun kita telah tercabik oleh salah mangsa
Bangkai-bangkai hibrida, sari mayang yang membusuk
Jatuh terpuruk pada polah semesta
Bunga mayang kering kecoklatan itu
Tak lagi tumbuh di sana. Bagaimana kau mengharapku
Penuh seluruh. Jika parit berlumut
Tumbuh pula di hatimu. Nafasmu memanen kesangsian
Dan kedukaan di hamparan rumputan batin
Meski hanya menyisa ilalang dan belukar berduri
Panen tangis, sayang. Tak ada lagi canda paman petani
Menyongsong musim tanam tahun ini
: segala semerbak dalam lipatan usia kita
tapi kumbang menerbangkannya ke daratan sangsi
Jogja, Januari 2007
The 24th Anniversary
Tiwi Andayani
Setiap kupandang jalanan yang riuh ini
Dari seberang matahari masih ada bulan sendiri
Berganti, sedang kita tersisih dari bayang sepi
Mimpi yang lain lagi
Sepercik cerita tersembul kekecewaan budi
Oleh denyut hari kenangan, bukan juga kemenangan
Yang mengirimmu pada sebuah pesan
Seakan memanggangmu dalam mega-mega kepedihan
Senantiasa, serta iba dan kasih terpadamkan
Karena diam-diam yang hilir mudik itu menghempasmu perlahan
Adalah tentangmu, gadis bersolek bayang ungu
Berpayung rindu, untukku kala itu. Terlindung ragu
Terik dan deras hujan musim ini, kaumurkai pula burung berkicau
Hingga kau dan aku diterpa gaharu
Segumpal sisa pembakaran udara tabu
Menerbangkan bagaskara yang menjorok ke barat, asal-usulmu
Sesaat hinggap di reranting kering di tanah gersang itu
Sebab bertahun lamanya ia menunggu dukamu semenjana
Seperti rawa-rawa berlumpur tempat segalanya bermuara
Atau samudra di sana tempat kita memakan kelana senja
Sepoi angin Januari mengemasi sajak akhir
Sebelum sempat kudatangi reruntuhan cahaya, rimba sepi
Semakin dalam tersembunyi lorong-lorong usia
Sebab sepenggalah matahari menghabiskan cerita kita. dan
Sibakan sapu tangan darimu mengutupkan
Sayang, tapi tidak untuk ceritamu selanjutnya
Sepertinya masih ada sebabak skenario tuhan mesti kaulakonkan
Sebagai epilog sebelum malam menjumpai-Mu dalam kelam
Terban GK V/455, Ykt, 26 Januari 2007Lady’s for Indonesian Republic
--gie—
Girang berona nyalang
Impian datang remang-remang
Engkau enggan berbagi degub jantung
__
Meregang jalang berulang-ulang
Akan tak berakhir tegang
Rupa lelaki sebangsa dan sesama di seberang
Lewat ujung sembilu, bayang kota menggelinjang
Esok hari berangsur jalang
Yang jauh dari peradaban, percintaan gemilang
Setiap sudut kota mengajakmu ke situ
Persinggahan bersama. Entah dengan siapa
Mereka penghambaan batu berlubang sembilan
Yang mengganjilkan pesonamu
Hadir oleh sebisik peri dalam angan
Perempuan pengembara. Berkelana mencari apa
Yang tak akan pernah bosan
Sampai gingsul dan nanar senyummu
Jadi bahan bergunjing sampai kini
Orang-orang terpinggir ke tepian
Terjatuh merengkuh peluh
Ia punya sebangsa
Sawah dan ladang letak membajak
Sungai dan pantai, ngarai dan hutan
Melukis untukmu dalam suatu bahasa
Entah apa namanya. Tanya saja hatimu
Seperti reranting patah
Sejauh-jauh langkah hendak kembali ke tanah
Sebab tersihir perempuan sewaktu rebah
Nama-nama pendatang bersaing pada siang
Sedang aku terlempar ke roda-roda seberang
Seperti tak hendak beranjak, takkan terkungkung
Sampai berabad-abad menyusuri serpihan mega
Bawa segenggam senyum segala penyuka rahasia
Yang kini terhalau musim tanpa nama
Jogjakarta, Februari 2007
Seorang Gadis Memeluk Bulan dalam Pejam
: R. Manon
Lelah menjamah bulan
Letih menidurkan awan di pangkuan
Dibuai dengan tamparan angin
Datang bertubi menahan desah, gelisah
Sepokok gadis di antara ruang
Mengintip sepasang bintang yang sedang bercinta
Dalam remang malam, engkau hendak pejam
Lalu berpamitan memimpi matahari
Engkau tenggelam dalam selimut hitam
Sungging di sudut bibir hendak berkata apa
Beringsut sedikit memaling diri
Sekejap dan hilang. Kembali sunyi aku sendiri
Pada goresan-goresan maya di barisan kata, untukmu saja
Igaumu meghentak bumi
Serasa bergetar kaki langit
Atasmu, memeluk purnama tenggelam
Lara dalam kedalaman katup kelopakmu
Bukan putik binasa, hanya merah mata membara
Membakar kesunyian semenjana jemari menghadang duka
Menggenggam bara untuk kau taburkan sebagai mimpi
Lalu bersemi di parit nurani bersama tanah rekah musim ini
Udara bergeser memberi jalan
Sebab ada sesuatu yang halus menyapa perlahan
Dengan berbisik menghentak warna langit, jangkrik ngerik
Kemana perginya mimpi-mimpimu?
Aku masih di sini menulis sepi
Dan para pemimpi masih menunggu datang esok pagi
Sedang malam masih berdendang dengan iramanya sendiri
Karangmalang, 4 Februari 2007, 03: 30
Malam Tanpa Bulan
“M”
Yang itu juga
Bulan tersumbat kecantikannya
Oleh berlapis-lapis mendung
Mendung yang itu-itu saja
Samar pun tidak, beberapa malam dalam kegelapan
Hingga tak mampu melihat gerak bumi
Hanya meraba polah hari yang kini tengah jengah
Sampai ke lintang mana tujuannya
Rembulan terluka, senyumnya tak sampai ke bumi
Membujur di bujur jagatraya
Di antara kilatan-kilatan membelah cakrawala. Hari ini
Warna yang dulu berseri hendak kau teguk lagi
Dengan sujud sungguh mengharap penuh seluruh
Malam nanti, sebuah bulan
Sebuah bulan baru masak cahaya
Hunjam segala mega celaka dari desir prahara cuaca
Hingga pergi berarak ke luar arena
Rembulan tersenyum, sinarnya mensujudkan dosa-dosa
Yang itu
Belum juga membuka tirai langit. Akan kapan
Warnakan sinar menyapa layar kata
15 Maret 2007
Prahara Kapan Selesai?
Terlalu banyak cita-cita
Terlalu banyak sejarah terlupa jati dirinya
Terlalu banyak soal membutuhkan jawab sekenanya
Terlalu banyak masalah menumpuk di kotak sampah
Terlalu banyak mereka kehilangan ratap dan harap
Percaya pada noda karat malam berkabut
Sedang ini kali kita tak bisa kenali arah cuaca
Tapi, masih sempat kita singkirkan ombak
Ke samudra
Sebab kita baru saja melangkah di hamparan pasir putih
Yang seolah riak demi riak menarik simpati
Dan kita turut jalan ke tepian pantai
Lalu, ombak pun mengombangambingkan tubuh
Kita
Terhempas
Terkurung
Terpuruk dalam palung bernama dunia binasa kita
Dan lelaki sepertiku hanya pasir di pantai
Yang basah disapu buih
Membukit dihempas angin
Tenggelam terinjak-injak
Dan engkau
Wanita yang tersesat di sebuah taman indah
Bernama neraka
Masih bisa kita bermimpi
Bahkan lebih nyata melebihi isi bait puisi
Yang tak akan pernah terlahir ke dunia. Kali ini
13 Maret 2007Ide Gila!!!
Kembali bayang itu berkelebat
Sempat terucap
Kami, memanggang gelisah mega-mega
Sedang bulan murung di peraduan
Hari-hari melesat penat tanpa akhir
Belum berakhir
Mungkin esok hari kita temui anugrah-Nya
Engkau belingsatan akan sekalian cercaan
Tergolek lemah oleh tamparan telak di mukaku
Terkapar tak berdaya karena rencana-rencana gila itu
Di mana rasa kemanusiaanku?
Sekalipun terus menerjang maju, maju
Mampukah menghalau deritamu
Dan jalan terang masih beberapa jengkal di hadapan
Sepertinya kami lupa pada mendung dan kilat berkelebat
Meski tak terlihat mata kasat
14 Maret 2007
05.50/110506
Kadang hujan kadang mendung
kadang berdendang kadang menari
Bumi berbagi tragedi
Sedang matahari belum lama beranjak dari sarang
Tanah ini rekah, bergerak kerak memaknai duka lagi
Sedang di utara atas sana sedang bergejolak galak pula
Sama gelisahnya
Dan jerit berderit, tangis mengaliri tepian lautan
Berapa raga terkubur di lubang masal itu
Di sana, di bawah reruntuhan usang seorang tua
Dengan lambai. Kaku dan kelu
Menahan rasa atau mengiba. Tak bisa berkata apa
Malam mencekam
Kita seperti kembali ke peradaban sunyi
Tanpa penerangan atau binar rembulan
Rerintik gerimis meminggirkan yang renta itu
Tulang rapuh, sendi tak lagi bisa berlari
Rata yang benar-benar rata
Sungguh tak pernah diimpikan yang nyaman ini
Rumah-rumah tua, kubur tua, dan orang-orang tua
Berserak rebah mendepa tanah. Berhitung satu sampai berapa
Akan didirikan dengan apa mereka…
Sedang pelepah pisang pun tak lebih kokoh dari rerumputan
Korban nyawa beribu, harta tak terkira
Tak sebanding dengan ikhlasmu
Dan mereka terima dengan mensujudi setitik Kun-Mu.
Terima kasih, tuhan
Imogiri, Mei 2007
Rindu yang itu
Berapa aksara dan ujaran
Aku lafalkan dan akan diikrarkan
Bukan merayu wanita kumbara di sana
Tapi, yang terjadi dengan panorama itu
Telah tertinggalkan oleh bulan di seberang
Dan hanya sisa bayang semu senyum terakhir
Dalam album foto dan sesobek wajah dalam dompetku
Metro. Juni 2007
Sebuah Harap
Angin dingin mengemasi sajak gelisah
Bangku-bangku kosong, embun datang melambai
Jangkerik berhenti mengerik
Kelelawar berhamburan di pepohonan
Dan burung gagak menyalak di atas pekarangan
Gerah menjamah gelisah, menerawang di tembok kamar
Orang-orang dibuai mimpi entah apa
Mungkin tentang paceklik dan mahalnya hujan
Tinggal aku telungkup di bawah sinar
Menidurkan kata di lembaran-lembaran
Di penghabisan malam ini
Musim berganti. Angin pun meniup ke tepi hati
Selebihnya, bintang mengarang, bulan sabit berpuisi
Melintas sepi seperti tetesan embun yang menangis sendiri
Akan jatuh di tanah air ini
3 Juli 2007
Rindu; pagi, siang, dan malam
Bulan berpayung mega-mendung
Luruh ke bumi menyisir kabut
Horison semakin kabur
Gadis berkerudung di seberang tinggal dikenang
Sebab daun kenanga jatuh menguning
Terjuntai di tanah basah
Dan bunganya layu di dahan
Aku rindu dalam sedu itu
Sedang engkau sedan pula
Tenggelam dalam rindu yang sama rasanya
Yang tertahan di anak tekak
Yang hampir beranak ini
Lantaran hari belum juga tiba
Menggiring kita ke pertemuan abadi
Seperti daun kenanga berguguran itu
Hatiku kering kerontang merambang kabar
Metro, Juli 2007
Tiga Bulan Terakhir Kehilangan Induk Semang
Mak, ini anakmu lanang sudah purna dari terbang layang
Melayang - - - terperosok dalam tebing curam
Di antara belukar resah dan sampah tak sopan
Jangan kau sesali jika anakmu lanang yang mungkin kau sayang
Memporak-porandakan sayap deritamu
Dan akan ke mana luka yang semakin lara
Akankah kau jilati seperti anak kucing itu
Melabuhkan sungkem; cium tangan; dan sembah bektiku
Di setiap sampan harapan menyudut temaram cahaya di tiap ruang
Rumah cintamu itu menyemai beribu bibit tentang harap agar bisa
Kau panenkan di musim salah mangsa ini
Tapi, badai senja itu menghancurkan pesona bulan petang nanti
Ruang batin terbuang di retakan tembok pagar
Panas pendengaran meledak puncak pegunungan
Hasrat sanggit teramat sesat melesat di tepian laut
Mak, ini anakmu lanang hilang terbang. Kembali ke pangkuan
Akan kau timang atau kau telantarkan
Dalam kedalaman jiwamu, kepasrahkan egomu
Dalam keriuhan yang tadi. Jajaran usia di keriput senja
Keperakan rambut dan alismu bermakna ganda
Betapa banyak kau rasa
Wujud tunggal yang berhati tak satu itu. Aku turut terjaga di sana
Anakmu lanang akan bercerita
Dimulai dari sebuah jarak antarmuka kita
Kesungkanan pun mengembun
Di antaranya, berapa dalam cinta dan rasa
Yang kutempuh. Kita santunkan
Pada iba masing-masing cerita sebab tak ada cinta di sana
Itu adalah kama tak berdosa
Pada hamparan neraka yang bisa biasa amat berbisa
Dan betapa dalam tereja kata-kata
Yang sampai pada telinga dan hatimu bukan kicauan
Itu bukan rajukan si manja pada emaknya
Tapi, genderang tangis dan rasa berkepanjangan
Sisa dari kepedihan yang lara. Betapa kau terus terjaga
Ia pun heran. Tercenung. Kehilangan kata. Hanya geram atau gumam tak beda
Jua gerangan kau kenangkan. Rasa dan karsa berkecamuk
Akan dibawa kemana rasa itu
Begitu lara seperti kalimat putus cinta
Akan berakhir di sana. Perjalanan pungkasan
Sementara resah menjamah sedang hati terbakar matahari
Senja celaka kala itu
Terban, GK V/455, Juni 2007
Kepulangan
Sengaja aku pulang, sejenak istirah
Ke rumahku yang dulu di timbunan usia mata
Melihat jelaga di langit-langit
Hitam berkerak seperti hatiku yang keram
Menyeret langit tua ke dalam sini
Langit belingsatan kehujanan gelisah
Dan seperti biasanya
Aku rajut lagi sejarah sarang laba-laba
Yang belum selesai. Cita yang terbakar
Di tungku sengketa itu
Sejarah yang belum tertuju atas sana
Ketika kerlip bintang tak ada gelora
Ketika angin akan pergi membawa cerita ke serambi;
Ruang tamu; kamar pengantin kita; kini
Tinggal sisa gaung saja di kejauhan cahaya
Aku datang sengaja
Kembali belajar mengeja batu-bata
Menghitung luas rumah kata-kata
Membaca sasmita daun jendela
Terbukalah belantara. Aku akan ke sana
Panorama kehidupan hina raya
Dengan segera jemput angin. Bawa cakrawala
Diantarkan pada penawar siapa suka
Lewat huruf, kata, dan frasa sebelum senjakala
Metro, 27 Juni 2007
Obituari Anggrek Bulan
Angin mengundang kepulangan. Ketika langit bangun
Tanah lama tak terjamah oleh impian
Taman masih sepi. Hanya sisa tetesan embun
Yang bercerita bahwa jagad raya sedang berduka
Ketika bunga itu layu sebelum masa
Pesonamu terbang ke langit itu
Kejar mimpiku bersama ribuan kumbang kinantan
Yang dulu mungkin pernah ziarah di kelopakmu
Aku pun pasrah. Sayapku patah sudah
Ketika salah satu lebih dulu menggapaimu
Kuikhlaskan keindahan. Aku terpuruk
Terkubur sejarah
Tak ada lagi panorama itu; bunga anggrek
Bulan gugur tanpa pesan
Hikmat oleh peradaban suatu masa
Di atas batu-batu
Awal derita kumbang jantan
Terkapar di sudut taman pekuburan
townpark, Juli 2007
Tiga Rupa Bunga
Kembang setaman di lekuk batu nisan
Mengumbar sesaji dan pedupaan
Untuk mereka yang dahulu pergi
Ada kenanga, mawar merah jambu, dan irisan pandan
Juga rencana sederhana yang lama tertunda
Penggusuran itu. Kau curi lelah lelap mereka
Dari pertama bermula tertanam
Sebab mereka hanya kenangan
Tak akan protes ataupun demonstrasi
Di hadapan barikade pohon kamboja
Di tebaran bunga, kau bakar berkas rencana
Sebagai kemenyan dan dupa. Kau pun lupa
Tulang belulang, sisa jasad mereka
Terpasung menikmati jelaga. Rinci dan terpuji
Dari pembaringan yang membenamkan sengketa
Terhadap siapa petak tipe sangat sempit sangat sederhana
Ini diwariskan
Mereka adalah sisa tragedi bunga tiga rupa
Mereka adalah pondasi dari megah tata kota
Metro, 2007
Bocah Penggembala 2
Bocah penggembala menjaring mendung
Sebab mentari sembunyi rupa padanya
Dengan bercaping gerimis dan pelangi senja hari
Berkaki bulir padi dan kecipak irigasi
(imajinasi)
Mendung itu tak hendak beranjak
Ia turun ke bumi menulis puisi
Cakrawala senja kala. Penggembala pulang kandang
Menjemput cinta yang hilang
Semburat sulih warna cahaya dunia berkejaran
Dengan hitam malam dan kokoh Bulan
Bulan buta binar
Bumi manusia telah ubah rupa
Jalan kehilangan persimpangan
Tinggi bukit kehilangan lanskap keindahan
Mata air menjadi air mata mereka
Sebab rumput tak sempat tumbuh di dataran ini
Mereka pun beranjak dengan kekosongan
Barangkali perlu dibangun pabrik rumput instan
Untuk robot herbivora
Metro, 2007
Puisi Bunga Kamboja
Gugur bunga kamboja tak sempat kering dan layu
Di sini
Malam itu, kulihat bulan mencipta bayang
Dari balik dahan. Bayangmu sendiri
Seperti puisi yang tercuri
Kutulis di atas batu nisan untukmu saja
Lalu kukirim lewat kerlip bintang dan angin malam
Sebagai sisa harum bunga di tanah berdarah
Aku bisa merasa
Jika segala impian kita
Lebih mencekam dari malam di kuburan
Metro, September 2007
Puisiku
Puisi mini
Sudah pasti
Dan tentu
Aku orang kecil
Tak tinggi hati
Tak meniti tangga obsesi
Sumarah pada sejarah
2007
Kembara Rasa
Dan aku tersadar akan puisi
Syair yang tak sempat berarti
Meski sebagai kiasan basi
Purnama tagih janji
Dan perkara lelah mencari
Setelah beberapa saat berjelajah
Kembara. Lalu, rasa itu singgah
Membujuk langkah
Menuntun hati goyah
Telah lama aku pasrah
Dari kembara kata dan polah lidah
Sampai kini belum merasa kalah
Masih ada rasa di sana. Hentak detak jantung
Berpacu kencang
Terusir pulang
Oktober, 2007
Kebebasan Bulan
Tulis saja bulan dalam malamku
Gapai kasih kerlip antara bintang
Simpan rahasia malam
Dengan dingin angin akhir musim
Awan-awan pergi beringsut
Kelelawar membentangkan sayap
Hitam, di tengah lintasan bulan
Bulan pun pucat tak menjawab reruntuhan cahaya
Tak seperti dulu
Senantiasa ia tak enggan berbagi
Serupa panah pasopati ,melesat tepat di jantung kelelawar itu
Hingga bercahaya wajah pertiwi
Jika bulan enggan membuka jalan kelana
Bintang pun tak tahu arah
Tersesat di balik mega. Memetik rerintik
Hujan berkali turun. Dengan seksama lepas jerat
Bulan punah sudah, menyembunyikan kebebasan
Di antara angin dan bintang
Berpelukan kencang
Oktober 2007
Kesendirian Rumah Cahaya; bulan
Kesendirian rumah cahaya inilah yang kau pilih
Sebagai pengembara dan pemimpi
Diam di rumah gulita
Tafakur dan bersujud dalam senyap
Dan pintu rumah ini
Telah menjelma bibir bungkam
Dan bingkai jendela sepasang berukir bangkai
Tertutu rapat, lapar binar
Ia lebih suka sendiri
Sunyi tanpa cinta
Berdikari pada punyanya
Tak membakar gelora
Daun jendela berkasih
Pintu tetangga senggama
Pada rumah hampa tak berhati
Bukan untuk hidup
Tapi, yang di seberang sana
Orang-orang memanggang bulan dengan bintang bara
Ketika yang di sini tak hendak mengobar pula
Dengan darah yang kau cuci sendiri
Agar tetap tanpa ucap seumpama
Sebentuk sejarah sembunyi nama
23:16, 24092007
Senandung Putus Cinta 3
– wulan ristanti – (131007)
Angin perantara kita
Sebuah ucapan ditulis dengan sisa cinta
Sekedar saja. Kata berhembus sekenanya
Akan ke awan pula terbaca
Ia bangkit saat penat.Menyisa isak dan gema
Dalam satu tiupan tumpah ruah
Gelombang cinta menjelma air mata
Hempas beribu debu jadi suguhan ruang tamu
Dan embun di mana pun menguap santun
Jika gelap hati mewarnai bulan baru
Seorang perempuan berselendang ragu
Langkahnya goyah terjerat kesumat
Seperti noda di paruh tubuh
Suar-suara bingung. Ia pun memilih diam
Kata atau sejenisnya urung terhubung
Lepas sudah saat tahun berulang menjelang
Tinggal kawan tanggal kasihku
Subuh telah lebih separuh berlabuh
Sisa embun yang tadi menggigilkan hati ibu jari
Hanya tak tau rasa. Terbata di petak batu bata
Angin luruh angan runtuh
Sebuah hayalan tingkat tinggi diserang perang
Perang dingin, sangat dingin
Sampai tak ada desah gelisah, nafas jelas
Tak lari dari realitas. Hari jauh sedari
Bulan yang itu, terasa mencekam
Hampir saja. Tangis kehilangan air mata
Terima kasih. Kau ajari aku menangis
Dan maaf
06:01, 1 Syawal 1427 H
Penghantar lembaran puisi yang dibakar di tiap sisinya
Dan ini…
Hanya segulung dari deretan kata
Tak bermakna, mungkin saja
Kalau nggak suka
Boleh dibuang, disobek
Atau silakan teruskan membakarnya
Bukan Piala Bergilir
Di podium sebuah piala cantik dan berhasrat
Juarajuara mangkat saat singkat
Bertahan sebagai jawara. Giliran tiba
Telah berpeluh tubuh ini kelewat mangsa
Membangga cemas dan sangsi
Sedang kabar kepalang sabar
Pecinta ini pun sadar
Menunggu waktu haru
Dengan setia di bangku tak baru
Sunyi getar. Ia pindah tangan
Telah kumal, Sayang. Sesak kemudian
Hadiah pemimpi jadi pajang
Etalase dilarang dipandang
Apalagi dipegang. Aduh sayang…
Depan Pasar, November 2007
Memoar Mawar Plastik
Pada vas bunga mejameja hampir bundar
Bangkai mawar tak lagi berbinar
Andriani bantai puisi. Andri mati posisi
Warna pudar; mereka menolak sajak kami
Aroma di dalam dan di luar berirama
Sama jenis kelaminnya
Sekarang kurasa sapamu lantang
Dalam vas bunga yang tak pas
Menolak kala jumpa warna
Beda kita takkan mengaburkan semerbaknya
Sebuah kisah yang dimulai dari setangkai bunga
Harum tentu bukan diharap sebab
Ia tak bersekutu dengan baubau
Angin terlalu cepat beringsut
Tak berasa akar memegahkannya sebagai jelita
Seiring sarkasme begini menyisa duri
Dari tajam katakata. Hawa beda masa
Menjadikan sejati perempuan
Dan aku lelaki dengan bunga imitasi
Tak begitu dengan pijak bumi ini
Kehilangan bulan yang kau bilang tak perawan
Jauh darimu mestinya beribu jenis bunga merebak salam
Jadi pandangan dan pemandangan siang malam
Membuka cakrawala harihari. Harum pelataran
Di hadapan jalan penyuka kedamaian
Bagaimana cara merangkai mawar di mejameja
Terpisah sekian laksa
Menjauh dari genggaman, dan
Ruh ini belum pernah kuasa akan frasa
Adam tak berani hidup di bumi
Tanpa hawa yang berbunga dari iga
03112007
Semoga Teman Sebiduk
Aku akan ke seberang
Ini ceritera bermula dari sarang
Dari sana ke sini aku datang
Ada yang bilang ada pialang
Hitung punya hitung rembang sebayang-bayang
Mencari isi hati
Sebegini carik kertas dikoyak tiada terperi
Bunga gadis sesubur pertiwi
Dan jemari di seberang melambai
Dengan dayung tak berukir ini
Kuajak akan ia kembali
Tidak pada deras arus kali
Mengalir ke muara seperti
Bintang panjar hari menunjuk sepi
Segala hanya bisa seiring meniti
Selebihnya setelah bintang menghilang dari kami
Jelajah negeri mendayung tiada henti
Dan akan kita galang biduk ke tepi
Di sanakah tepi bagimu. Laut tak memuara garamnya
Yang suka bukan tanpa rasa masin airmata
Pasti ada gulir air juga
Tenang, riang, sarat frasa
Barangkali tajam karang tak berasa
Bahwa petualang di sana penyuka rahasia
Memecah buih; menuju dermaga dengan atas nama
Jika seorang diri lainnya tak kuasa
Yang itu masih jauh dari buta mata
Sepasukan burung camar sempat membuat sengketa
Berebut menjemput lambaian sang jelita
Sebelum di peluk kabut kelam karena apa
Tidak jauh tidak dekat
Batas kedalaman lebih rapat berjabat
Kerudung dan dagu kerucut
Bukan tempat tali pancang biduk bertaut
Tapi, hatinya yang harap-harap turut
Pelayaran pungkasan. Dan semoga dayung bersambut
Metro Selatan, 2007
Senyum Ganjil suatu Senja
: nerry
Yang tak baru bisa tersipu pandang antarmuka
Pandangan jauh lindasan aspal
Meneguk lelahnya senja musim bercinta
Baru saja kurasa cakrawala beda rupa
Jalanan aspal basah. Tangis siang kabur ke mendung
Bagi pengukuhan yang satu itu
Bincang tak bimbang. Pandang yang dalam jelang pulang
Sebelumnya. Saat gerimis tumbang di tebing curam
Aku terkunci kaki di pintu belakang
Menikmati cuaca dan berlindung dari kejam cuaca
Meraba frasa seadanya dari lembab titik kaca jendela
Terlukis kata sederhana di sana
Rentetan usia singkat hujan
Sempatkan engkau menyapa lembab udara
Dan kuhalang terjang kecipak segala tergenang
Pandang matamu jauh di utara
Entah pada siapa sapanya
Kala kata enggan terbaca
Entah di musim mana bisa bersapa. Hanya lirik
Puisi lusuh sisa titik air kaca jendela
Kenang saja dalam sajak kita
Orang berhambur. Lari dari cuaca rahasia
Yang terlukis lanskap perbukitan. Akan
Kujauhkan rentang usia singkat hujan dan tinggi hati
Kudekatkan arah pandang fatamorgana
Jarak sempurna. Tak jelas selalu saja
Nanar binar mentari senja
Dalam kerendahan senantiasa. Tereja kerjap mata
Isyarat atau tanda serupa tiada ada bedanya
Oleh kisah yang bergegas seumpama
Seutas berita buram. Lambaian tangan menyudutkan frasa
Melari olehnya waktu menua; menuai puisi sepuisinya
Bandarlampung, 19 Desember 2007
Jumatan Ketiduran
Siang telentang menjelang sembahyang
Hadang awang-awang tak berbayang
Imajinasi sepi lelaki mumi sepagi tadi
Berbalut mimpi terbujur ke tepi
Dan sobekan nurani menjadi sumbu
Yang membakar air mata sebagai abu
Dalam kamar berdebu, ruhku beranjak ragu
Di antara daun-daun waktu bergerak maju
Sebab panggilan masih fana, lama pula
Dan tidurku tak pejam menganggur
Dalam terik di kaca jendela
Dalam jaringan yang kabur
Kuletakkan rupa cahaya
Mentari kelam terkungkung syair getir
Kamar ini adalah arena persemaian
Mungkin iblis, malaikat tak malu mengadu pada tuannya
Mereka bertarung dalam dada sungguh siapa kira
Segala aduan serupa adzan masa perhitungan
Saat sujud mendekat terwujud. Sejenak sadar
Dosa membayang keranda diusung
Lelaki ini melucuti pagi pasi
Pergi ke sumur mencuci cemar. Mandi puisi
Sekali sepekan kembali berketuhanan
2007
Rupamu tak Kuasa Bercinta
Telah terbaca sajak tentang cinta dan sakit hati
Juga segelintir luka menganga. Sedang liku itu
Akan selalu begitu yang selalu pedih
Tiada duga kecewa mana berkisah tabah
Menutup jalan pertemuan
Temuan hati pada tubuh rubuh
Yang sering kau rawati
Agar selalu tegap menatap lelangit
Kita beda dimensi
Kurindukan masa yang dibangga
Dengan luka mana lagi
Ketika hunjam belati mencabik
Singgasana kita. Telah aku pesankan pada Hyang Wenang
Sebab tak sama semua tentang kita
Pengharapan hati satu. Kesatuan yang
Di bagi penyebut, datang menghalang jalan setapak
Telah pula aku lebarkan sekian depa
Sedang jejak langkah membentuk bidang
Adalah sebuah perhitungan ekonomis dalam drama
Percintaan Burisrawa yang berakhir nestapa
2007
Cinta Bersyarat
Pujawati pemuja mimpi purnamasidhi
Ada sajak terselip di balik tusuk konde
Di helai selendang dan sisa air matanya
Tentang kejatuhan. Sangat menyakitkan
Separuh tubuh . Antara malam hampir fajar
Pertapa pun melari. Hari mencari hati untukmu
Hanya bagimu ia mengangkasa bersama udara nestapa
Bumi bergelimang bingung, angkasa tak menjawab aksara
Kau tegakan tanah airmu mencuri mendung paling murung
Sebab terusir dari singgasana jagadraya
Berpulang pertanda mimpi padamu
Persembahan hari anggarakasih
Bagaskara berganti hati
Semadi dalam puji kematian
Bocah bajang diasuh dengan kasih
Melari sulih jiwa pada cintanya
Lalu gontai sebab raga tak kuasa
Pun mantera menjelma jantera seta ludira
Menghadang perang masa bersua di argasoka
Tunggu saja kobar api asmara
Menceburkanmu tak ragu
Dan kesetiaan terbang layang bersama jelaga
Tiada duka. Mereka binasa karena kesetiaan cinta
2007
Lirik pendek penghuni lapas dalam empat hari
Pagi lari
Siang salang tunjang
Malam tenggelam dalam kejam
Pagi kembali posisi
Siang merejang garang
Malam mencekam
Pagi di balik jeruji
Siang sidang
Malam bersajak kelam
Pagi puisi mati
Siang terbayang sarang
Malam dalam kalam kitab hitam dendam
2007
Ada Puisi di Segelas Teh
Ada sela di depa kedekatan kita
Segala tersudut menjadi segi tiga
Obrolan kemalaman yang singkat
Semenjana bergulir kata pada ruang seadanya
Sebelum sempat aku pamit
Di sana mendung datang menghadang
Sebelum aku—kamu berbagi cerita
Ijinkan aku menopang dagu
Agar pesonamu tak terjerambab ke lantai
Dengan angan sejuntai
Kupungut berpasang-pasang sebagai
Penghantar silang hati dan wajah sembunyi
Kala jumpa lain peristiwa yang tak kau harapi
Aku petutur, kamu penutur. Tak mengapa
Masih bisa kita simakkan
Roman picisan ia lafalkan
Sedang aku sibuk dengan kepul dan kepal
Juga sisa segelas teh yang kau suguhkan
Sebagai jeda di awal jumpa rupa
Baris percakapan dapat digarisbawahi
Sebab ada sela kata pada sublim titik didih
Aku memaling badan
Langkah mengarah. Aku enggan pulang
Dan ini. Segulung cerita masa lalu
Dalam album kata. Yang kelak kau
Kenang dalam sisa isi gelas kaca
Untukku saja. Jika tak terpaksa
Sukadamai, 2007
Serupa Abu
Bulan tak juga menyatukan malam dengan siang
Pada serangkaian bunga tak layu
Secercah pun takkan berpaling dari kobaran
Aku yang bagai kayu bakar
Terbakar ruang
Langit belum menyala lagi
Yang menenggelamkan bulan
Serupa abu, vas bunga itu
Haya menyimpan arang
Yang patah sudah
Meja sepi
Mungkin taplak, asbak, korek api, sebungkus rokok
Yang meributkan abu. Yang terduduk tersipu
Mengobarkan cahaya bulan juga
Kepul asap kemarin mengaburkan malam
Meja sepi, kapan lagi
Genggaman jemari beda warna
Menyatu dalam ujaran samar
Terlena malam bersapa bulan bintang
Yang datang dengan pesan
Tanpa balasan
Tanpa penantian
Natar, 2007
Sepertinya Pejam Malam
Seperti melukis puisi dengan sapuan hujan
Aku di atas kanvas
Yang mungkin kau kenali rupa-rupa
Serupa cakrawala wanita di hadapan
Membentang luas sepuisinya
Satu frasa tertulis sadar sebagai laki-laki
Dengan kuas di tangan Aku melukis; hanya satu gadis
Kulukiskan gadis sebelum senja
Setelah sekian panorama. Alam punah romansa
Keinginan pun punah oleh bidikan malam
Hari terlampaui dalam dingin dan gelap
Mata buta, jarak tuju tanpa alamat
Terarah sekenanya di pusat tata bahasa
Dan begitu dilukiskan angan
Sebuah gadis dalam kegelapan
Membakar kanvas sebagai dian
Malam diam, cahaya berhamburan
Tanpa langkah kaki. Jalan pikiran
Hilang terang rupa bulan
Sedang aku mati cahaya. Tak terlihat bayangan
Yang tersisa hanya hati tak ternyatakan
Metro, 2007
Pada Sebuah Jawaban
Pagi kuajakkan ia
Melangkahi hari. Menapak di pijak kaki
Pada seruas jalanan kota
Sedikit saja tak mengada
Ia yang sebagai sebatang pisang
Tumbang di sebelah pekarangan kosong
Diam tak merejang, bersemedi di perigi
Di tepian jalan
Segala awan terusik
Dan harap sempat menyapa
Mendung masih sempurna kelam
Hujan pun turun berhamburan
Sedikit pada kicau burung esok hari
Sebuah kabar riuh jalan
Dengan anggukan dan siul kecil
Akan kubimbing dalam gandengan
Tapi, ia telah menghilang dari sapa
Sebelum sempat menghalang cuaca
Metro, November 2007
Little Poetry in Tea Glass
There is interrupt our contiguity fathom
All angle;corner become the triangle
brief backtalk so night
word of patch up space
Before I have time to take leave
Overcast to over there come blocking
Before I-you share the story
Permit I sustain my chin
So that your glamor do not fall to floor
With the dream, I collect a couple of as
Crossed of liver and face hide the
Scorpion meet the other;
dissimilar event which you don’t hope
I see, you say. Never mind
Still we can correct reading the
In no use Romance her articulate
I am busy stir by
Also the rest of tea glass which your serve
As interval in early meeting aspect
Conversation line can be highlighted the
Cause there interrupt the word of sublimating dot boiled
I body thief
Step to instruct. I shy at to come back
And this. Furl the past story
In word album. What later you
Short memory in rest of content glass
Just for me. If don’t be perforced
Peaceable Area, 2007
Jembatan Menepi ke Jalan
Aku kembali akan pesona tunda pesan
Berbalik ke seberang
Ini kali mengabarkan kesangsian deras
Luapan air mata, kedukaan sajak serta puisi luka
Genangan air merabunkan pandang: sebuah jembatan
Baja dingin menghunjam tepian hati
Mungkin meredam erosi luap emosi
Di ujung jembatan, aku di antara dua jalan
Seberang atau arus tak biasanya
Terpana sekalipun embun berangsur turun
Hawa udara tetap menyala
Dalam batin sebagai bara. Engkau menyulut kesumat
Memanggang radang. Gelisah
Kali mati untuk kali ini dan kali ke berapa
Sendiri di atasnya. Ia bernama mendung
Seperti kamu terpuruk lunglai dihempas seberang sungai
Senja tadi. Jalan dan kata itu seakan
Dikelilingi padas keras juga tangis
Aku katakan, trotoar sempit ini mencari teman
Sebab tak pernah orang termenung di atasnya
Usai salam gerimis dan persinggahan itu, apa
Sajak sempat berkabar di atas jembatan. Tak ada pesan
Perempuan dengan kesakitan bulan
Yang tak enak badan menjejak ruang depan
Sisa petak-petak nafas, redup pilu. Ratap mengutup
Aku menggigil ganjil
Di hadap lanskap
Gerimis atis
Salang tunjang menerjang ke seberang
Malam menjelang. Tebaran isyarat
Udara di sana menulis puisi
Hanya aku
Tersisih merindu hisap nafas
Aku, arus kali
Menghempas inti batu
Untuk sekedar membaca, mendengar, melihat, dan
Yang paling sukar kau rasa
Bukan lantaran kegelapan dan cuaca hujan
Dengan alamat di penghabisan perjalanan
Sempat hilang di sepanjang jembatan
Yang ditelan demikian tabah sekian kali
Transfield Bengawan, 19:40 – 21:10, 171207
Rupa Euphorbia : R.W.
Demi bunga mekar patah tangkai. Terpuruk pada tanah
Sebab tak mengaduh ia jatuh lalu kau rengkuh
Beri padaku sebagai puisi ramah tamah
Sebelum kau murkai serangkai angan dan tangkai di tangan
Demikian, rintik gerimis di hadapan menghapus catatan
Usia yang ditulisi duri mengoyak kenangan
Ketika onak mencabik kuntum bunga ia yang punya
Betapa luka menganga; layu mimpinya
Juga lagu syahdu dalam kisaran air hujan
Yang tak juga hendak pergi digiring arah angin
Kembara kepiluan kelopak kembang
Kehancuran yang kau kehendaki. Bila saja
Bersama tetes rintisan gerimis memanjang jengah
Serupa wanita di halaman menyunggingkan rona serupa pula
Merasai saat usia memalingkan rupa cahaya
Seperti ratap lelangit menebar tangis seluruh tanah
Semua menjadi kelopak sari pernyataan atau pertanyaan
Malam telah jauh dari kepergian semula
Bulan terlihat lama tertimbun halimun yang sama
Bintang lupa binar, hitam oleh embun dan kuntum euphorbia
Dari malam segala malam si jelita
Dari bunga di genggaman berjelaga si jelata
Sebagai puisi yang tak kuberi arti
Berangsur layu ia kini
Tersisih di hamparan kursi dan samparan kaki
Jarum jam menyelam dalam sublim malam
Dari malam ini dengan malam berikut
Kuharap sesuatu luruh dari langit
Tapi, bukan hujan, sayang. Aku pulang
Metro, 100308
kubuatkan puisi jelek untukmu lagi**
Romansa binasa
Imajinasi sepi kelana wanita sebenarnya
Sebab ia terukir sepuisi kala luka senja
Nestapa juga lara siapa suka berpunya
Akan kuantarkan ke seberang. Alamat para pengembara
Wasiat dari riwayat yang tersurat di gurat hati
Ilusi secuil jejak kelopak berserak tiap pojok kota
Digenangi ratap, sajak-sajak dan roman revolusi
Impian pada curah cahaya bintang menepikan bulan bersarang
Yang kubidik dengan tangkai berduri. Lesat menguak
Ambang kematian rupa cahaya. Angin kering dan mendung runtuh
Tumpah bersimbah sejarah. Tumbuh pada kepasrahan tanah
Inilah rupa dunia bila Adam letih mengejar jejak pelarian Hawa
…
Bersekutu dengan waktu batu
Yang dingin rasa dunia kala senja melari bulan
Kehilangan frasa, kucari seribu kata, dan
Esok ketika matahari dalam hatimu kembali merenangi hari
Titipkan ini pada lubang sampah atau kobar api
Embun pun jangan sempat singgah membasah
Ke pelataran dipenuhi bunga, pepohonan, dan terang lampu jalan
___
Senyawa yang lama, yang bagiku sama melaju bilangan hari
Engkau bunga dan duri dari sepi taman kehabisan insan
Lebur di simpang musim antara mekar bunga dan ranggas daun jati
Akan kusajakkan ia dalam lipatan sejarah masa silam
Walau putik balik dipetik, kurawat akar pohonnya
Erat memeluk tanah, menulis puisi sampai tangkai pancang nisan
Berpaling mengubur pejuang malam kesekian, menancap dalam
Epilog bagi gugur bunga seroja dari serumpun peribahasa
Selawe, Maret 2008
Trmksh ya.. (Srikandi 21th reply)
Beradu waktu melaju serapah arah panah
yang siap nancap di pulung hati; yang rebah tanah
bersama sejarah dan abad antah-berantah
prahara lama reda. jika menyisa, rasa hanyalah rona
putri gendewa menyisir padang gersang
hadang perang menantang, tengadah di tengah
menghempas deru dan debu jadi abu
awan berpayung rindu padamu
terik menarik sukma seketika busur kau rentang
melesat cepat yang hanya satu itu
sampai sepi jiwa, sepasukan angin menepis selendang. dan
di atasnya langit berbelit tanpa fatamorgana
horison tak kasat mata
tanah resah bersimbah darah, hujan panah
tubuhnya roboh tanpa perih atau rintih
ratap sempat tak terucap. ia menatap diri di atas diri
lanskap darah di awan dan lipatan masa menjelajah jengah
waktu berhimpit di tubuh penuh luka punyanya
perempuan penyebabnya
sedang ruh masih sempat mencatat bahwa ia setia sekata
dengan aksara hembus udara
rentang usia yang terabai oleh kisah. bila saja
di bawah senja merenungi sangsi dalam rekah tanah
tak ada daun atau ranting kering yang bisa disarati
kepada penjaga hati. debu-debu menghantarmu ke haribaan
dan pergi membakar api kremasi. seperti sungkawa senja
sebab tak ada senjata yang bisa membelai sebelumya
cuma cahaya bulan. sisa cuaca tiada mencaci jasad beku
tanggal kabut meliput dan cakrawala sunyi tepian laga
bulan datang berulang. bertahun-tahun
aku pahami kisah itu. mengenangnya dalam puisi cinta
yang kekal dan fana; selalu gagal menulis kisah sesudahnya
Bulan hampir/lebih separuh, Metro, 19032008
Langganan:
Postingan (Atom)