puisi 07-08

Senandung Putus Cinta 2
--Tiwi Andayani--

Lilin kecil belum sempat berpadam
Desir cemara belum lama berpuja
Serasa kornea enggan terpejam
Sebab layar kata lama terperam
Ada kata yang berkaca-kaca
Dan jawaban singkat, tepat, padat, bangsat
Menyeka igau semenjana tanggal bermula

Tangis atau canda tiada beda
Hanya isak mendesak serak
Mungkin membanjir jatuh yang kini rapuh
Dalam rona jingga mengaliri anak sungai
Entah untuk kali ke berapa

Dalam jarak berbeda
Kulihat di sana biduk terantuk ombak
Sedang di sini pasang gelombang berpasang datang
Bersanding di riak dan gurat bukit pasir
Sambang di pantai tujuan mereka
Tidak untuk kita
Tapi sayang, tak rupa lagi biduk yang aku kamu banggakan

Telah tanggal sebuah kalender
Ketika pagi buta berkeputusan
Seutas temali tak kuasa terpancang di galangan
Bagilah biduk terhuyung di lautan
Luluh lantak ia kini dihempas-hempas pasang
Tinggal cerita bagi mereka yang kelak ada
Ditiadakan...

DIY, 010107


Wanita yang Terluka oleh Sebilah Puisi
-teew-

Ada barisan kata tanya di kerut kening
Seperti beberapa hari berlalu yang lalu
Hujat dan caci bertalu bergenderang
Wanita terpuruk dalam kotak kata-kata
Bukan salahmu, kasihku yang tadi, frasa yang
Kulafalkan ibarat firman pendosa setia
Sebagai adab atau azab berbeda
Sekalipun seribu bahasa mengartikannya

Tubuhnya terluka oleh sebaris kata
Belum sempat saya balut lukanya
Ada sebuah sekat sarat kata berkarat
Tapi kumencari-cari lubang kunci
Sebab akan saya teropong kedalaman lukanya

Lalu saya masuki lubang itu
Ada sebuah lorong yang sama masa
Dan separuh hati isi kasih di meja makan
Tapi ada pula bunga layu terpuruk di jendela
Sebilah cermin retak berserak (mungkin cermin itu
Adalah siluet hati yang tak abadi dan kini pecah sudah)

Saya lelaki yang bernama laki-laki memilih pergi
Untuk menunjukkan setia saya kepada-Nya
Bahwa tak ada duanya yang satu itu
Seperti sebutir debu, Ia kini menusuk dalam mata hatimu
“Kesakitan itu memang kau cari,
kau cari,
cari kau!!!
Gentayangan dalam ulu hatimu
Menghunjam rindu membunuh kasih-ku
Persajakan terbakar di jaringan lambung dan ususnya
Terburai oleh sebilah puisi prahara berhari-hari

Jogja, Januari 2007

Seumur Jagung
Tiandrafona Imagita

Baru saja akan disiangi, di siang ini
Tapi sepagi tadi yang tumbuh di sana itu merajuk
Hendak dipetik oleh musim berganti
Ketika kesetiaan dihalau topan dan ketidakseimbangan alam
Pada kering bunganya, juga menguning bisinya
Pengharapan akan hari esok tanggal sudah
Sesuatu menggugurkan semerbak bunga-bunga
Dan kebun kita telah tercabik oleh salah mangsa
Bangkai-bangkai hibrida, sari mayang yang membusuk
Jatuh terpuruk pada polah semesta

Bunga mayang kering kecoklatan itu
Tak lagi tumbuh di sana. Bagaimana kau mengharapku
Penuh seluruh. Jika parit berlumut
Tumbuh pula di hatimu. Nafasmu memanen kesangsian
Dan kedukaan di hamparan rumputan batin
Meski hanya menyisa ilalang dan belukar berduri

Panen tangis, sayang. Tak ada lagi canda paman petani
Menyongsong musim tanam tahun ini
: segala semerbak dalam lipatan usia kita
tapi kumbang menerbangkannya ke daratan sangsi

Jogja, Januari 2007
The 24th Anniversary
Tiwi Andayani

Setiap kupandang jalanan yang riuh ini
Dari seberang matahari masih ada bulan sendiri
Berganti, sedang kita tersisih dari bayang sepi
Mimpi yang lain lagi
Sepercik cerita tersembul kekecewaan budi
Oleh denyut hari kenangan, bukan juga kemenangan
Yang mengirimmu pada sebuah pesan
Seakan memanggangmu dalam mega-mega kepedihan
Senantiasa, serta iba dan kasih terpadamkan
Karena diam-diam yang hilir mudik itu menghempasmu perlahan

Adalah tentangmu, gadis bersolek bayang ungu
Berpayung rindu, untukku kala itu. Terlindung ragu
Terik dan deras hujan musim ini, kaumurkai pula burung berkicau
Hingga kau dan aku diterpa gaharu

Segumpal sisa pembakaran udara tabu
Menerbangkan bagaskara yang menjorok ke barat, asal-usulmu
Sesaat hinggap di reranting kering di tanah gersang itu
Sebab bertahun lamanya ia menunggu dukamu semenjana
Seperti rawa-rawa berlumpur tempat segalanya bermuara
Atau samudra di sana tempat kita memakan kelana senja

Sepoi angin Januari mengemasi sajak akhir
Sebelum sempat kudatangi reruntuhan cahaya, rimba sepi
Semakin dalam tersembunyi lorong-lorong usia
Sebab sepenggalah matahari menghabiskan cerita kita. dan
Sibakan sapu tangan darimu mengutupkan
Sayang, tapi tidak untuk ceritamu selanjutnya

Sepertinya masih ada sebabak skenario tuhan mesti kaulakonkan
Sebagai epilog sebelum malam menjumpai-Mu dalam kelam

Terban GK V/455, Ykt, 26 Januari 2007Lady’s for Indonesian Republic
--gie—

Girang berona nyalang
Impian datang remang-remang
Engkau enggan berbagi degub jantung
__
Meregang jalang berulang-ulang
Akan tak berakhir tegang
Rupa lelaki sebangsa dan sesama di seberang
Lewat ujung sembilu, bayang kota menggelinjang
Esok hari berangsur jalang
Yang jauh dari peradaban, percintaan gemilang

Setiap sudut kota mengajakmu ke situ
Persinggahan bersama. Entah dengan siapa
Mereka penghambaan batu berlubang sembilan
Yang mengganjilkan pesonamu
Hadir oleh sebisik peri dalam angan

Perempuan pengembara. Berkelana mencari apa
Yang tak akan pernah bosan
Sampai gingsul dan nanar senyummu
Jadi bahan bergunjing sampai kini
Orang-orang terpinggir ke tepian
Terjatuh merengkuh peluh

Ia punya sebangsa
Sawah dan ladang letak membajak
Sungai dan pantai, ngarai dan hutan
Melukis untukmu dalam suatu bahasa
Entah apa namanya. Tanya saja hatimu

Seperti reranting patah
Sejauh-jauh langkah hendak kembali ke tanah
Sebab tersihir perempuan sewaktu rebah
Nama-nama pendatang bersaing pada siang
Sedang aku terlempar ke roda-roda seberang
Seperti tak hendak beranjak, takkan terkungkung
Sampai berabad-abad menyusuri serpihan mega
Bawa segenggam senyum segala penyuka rahasia
Yang kini terhalau musim tanpa nama

Jogjakarta, Februari 2007
Seorang Gadis Memeluk Bulan dalam Pejam
: R. Manon

Lelah menjamah bulan
Letih menidurkan awan di pangkuan
Dibuai dengan tamparan angin
Datang bertubi menahan desah, gelisah
Sepokok gadis di antara ruang
Mengintip sepasang bintang yang sedang bercinta
Dalam remang malam, engkau hendak pejam
Lalu berpamitan memimpi matahari

Engkau tenggelam dalam selimut hitam
Sungging di sudut bibir hendak berkata apa
Beringsut sedikit memaling diri
Sekejap dan hilang. Kembali sunyi aku sendiri
Pada goresan-goresan maya di barisan kata, untukmu saja

Igaumu meghentak bumi
Serasa bergetar kaki langit
Atasmu, memeluk purnama tenggelam
Lara dalam kedalaman katup kelopakmu
Bukan putik binasa, hanya merah mata membara
Membakar kesunyian semenjana jemari menghadang duka
Menggenggam bara untuk kau taburkan sebagai mimpi
Lalu bersemi di parit nurani bersama tanah rekah musim ini

Udara bergeser memberi jalan
Sebab ada sesuatu yang halus menyapa perlahan
Dengan berbisik menghentak warna langit, jangkrik ngerik
Kemana perginya mimpi-mimpimu?

Aku masih di sini menulis sepi
Dan para pemimpi masih menunggu datang esok pagi
Sedang malam masih berdendang dengan iramanya sendiri

Karangmalang, 4 Februari 2007, 03: 30
Malam Tanpa Bulan
“M”

Yang itu juga
Bulan tersumbat kecantikannya
Oleh berlapis-lapis mendung
Mendung yang itu-itu saja
Samar pun tidak, beberapa malam dalam kegelapan
Hingga tak mampu melihat gerak bumi
Hanya meraba polah hari yang kini tengah jengah
Sampai ke lintang mana tujuannya
Rembulan terluka, senyumnya tak sampai ke bumi
Membujur di bujur jagatraya

Di antara kilatan-kilatan membelah cakrawala. Hari ini
Warna yang dulu berseri hendak kau teguk lagi
Dengan sujud sungguh mengharap penuh seluruh
Malam nanti, sebuah bulan
Sebuah bulan baru masak cahaya
Hunjam segala mega celaka dari desir prahara cuaca
Hingga pergi berarak ke luar arena
Rembulan tersenyum, sinarnya mensujudkan dosa-dosa

Yang itu
Belum juga membuka tirai langit. Akan kapan
Warnakan sinar menyapa layar kata

15 Maret 2007
Prahara Kapan Selesai?

Terlalu banyak cita-cita
Terlalu banyak sejarah terlupa jati dirinya
Terlalu banyak soal membutuhkan jawab sekenanya
Terlalu banyak masalah menumpuk di kotak sampah
Terlalu banyak mereka kehilangan ratap dan harap
Percaya pada noda karat malam berkabut
Sedang ini kali kita tak bisa kenali arah cuaca

Tapi, masih sempat kita singkirkan ombak
Ke samudra
Sebab kita baru saja melangkah di hamparan pasir putih
Yang seolah riak demi riak menarik simpati
Dan kita turut jalan ke tepian pantai
Lalu, ombak pun mengombangambingkan tubuh
Kita
Terhempas
Terkurung
Terpuruk dalam palung bernama dunia binasa kita

Dan lelaki sepertiku hanya pasir di pantai
Yang basah disapu buih
Membukit dihempas angin
Tenggelam terinjak-injak
Dan engkau
Wanita yang tersesat di sebuah taman indah
Bernama neraka

Masih bisa kita bermimpi
Bahkan lebih nyata melebihi isi bait puisi
Yang tak akan pernah terlahir ke dunia. Kali ini

13 Maret 2007Ide Gila!!!

Kembali bayang itu berkelebat
Sempat terucap
Kami, memanggang gelisah mega-mega
Sedang bulan murung di peraduan
Hari-hari melesat penat tanpa akhir
Belum berakhir
Mungkin esok hari kita temui anugrah-Nya

Engkau belingsatan akan sekalian cercaan
Tergolek lemah oleh tamparan telak di mukaku
Terkapar tak berdaya karena rencana-rencana gila itu

Di mana rasa kemanusiaanku?

Sekalipun terus menerjang maju, maju
Mampukah menghalau deritamu
Dan jalan terang masih beberapa jengkal di hadapan

Sepertinya kami lupa pada mendung dan kilat berkelebat
Meski tak terlihat mata kasat

14 Maret 2007






05.50/110506

Kadang hujan kadang mendung
kadang berdendang kadang menari
Bumi berbagi tragedi
Sedang matahari belum lama beranjak dari sarang
Tanah ini rekah, bergerak kerak memaknai duka lagi
Sedang di utara atas sana sedang bergejolak galak pula
Sama gelisahnya
Dan jerit berderit, tangis mengaliri tepian lautan

Berapa raga terkubur di lubang masal itu
Di sana, di bawah reruntuhan usang seorang tua
Dengan lambai. Kaku dan kelu
Menahan rasa atau mengiba. Tak bisa berkata apa

Malam mencekam
Kita seperti kembali ke peradaban sunyi
Tanpa penerangan atau binar rembulan
Rerintik gerimis meminggirkan yang renta itu
Tulang rapuh, sendi tak lagi bisa berlari

Rata yang benar-benar rata
Sungguh tak pernah diimpikan yang nyaman ini
Rumah-rumah tua, kubur tua, dan orang-orang tua
Berserak rebah mendepa tanah. Berhitung satu sampai berapa
Akan didirikan dengan apa mereka…
Sedang pelepah pisang pun tak lebih kokoh dari rerumputan

Korban nyawa beribu, harta tak terkira
Tak sebanding dengan ikhlasmu
Dan mereka terima dengan mensujudi setitik Kun-Mu.
Terima kasih, tuhan

Imogiri, Mei 2007

Rindu yang itu

Berapa aksara dan ujaran
Aku lafalkan dan akan diikrarkan
Bukan merayu wanita kumbara di sana
Tapi, yang terjadi dengan panorama itu
Telah tertinggalkan oleh bulan di seberang
Dan hanya sisa bayang semu senyum terakhir
Dalam album foto dan sesobek wajah dalam dompetku

Metro. Juni 2007
Sebuah Harap

Angin dingin mengemasi sajak gelisah
Bangku-bangku kosong, embun datang melambai
Jangkerik berhenti mengerik
Kelelawar berhamburan di pepohonan
Dan burung gagak menyalak di atas pekarangan

Gerah menjamah gelisah, menerawang di tembok kamar
Orang-orang dibuai mimpi entah apa
Mungkin tentang paceklik dan mahalnya hujan
Tinggal aku telungkup di bawah sinar
Menidurkan kata di lembaran-lembaran

Di penghabisan malam ini
Musim berganti. Angin pun meniup ke tepi hati
Selebihnya, bintang mengarang, bulan sabit berpuisi
Melintas sepi seperti tetesan embun yang menangis sendiri
Akan jatuh di tanah air ini

3 Juli 2007
Rindu; pagi, siang, dan malam

Bulan berpayung mega-mendung
Luruh ke bumi menyisir kabut
Horison semakin kabur
Gadis berkerudung di seberang tinggal dikenang
Sebab daun kenanga jatuh menguning
Terjuntai di tanah basah
Dan bunganya layu di dahan

Aku rindu dalam sedu itu
Sedang engkau sedan pula
Tenggelam dalam rindu yang sama rasanya
Yang tertahan di anak tekak
Yang hampir beranak ini
Lantaran hari belum juga tiba
Menggiring kita ke pertemuan abadi
Seperti daun kenanga berguguran itu
Hatiku kering kerontang merambang kabar

Metro, Juli 2007
Tiga Bulan Terakhir Kehilangan Induk Semang

Mak, ini anakmu lanang sudah purna dari terbang layang
Melayang - - - terperosok dalam tebing curam
Di antara belukar resah dan sampah tak sopan
Jangan kau sesali jika anakmu lanang yang mungkin kau sayang
Memporak-porandakan sayap deritamu
Dan akan ke mana luka yang semakin lara
Akankah kau jilati seperti anak kucing itu
Melabuhkan sungkem; cium tangan; dan sembah bektiku
Di setiap sampan harapan menyudut temaram cahaya di tiap ruang
Rumah cintamu itu menyemai beribu bibit tentang harap agar bisa
Kau panenkan di musim salah mangsa ini
Tapi, badai senja itu menghancurkan pesona bulan petang nanti
Ruang batin terbuang di retakan tembok pagar
Panas pendengaran meledak puncak pegunungan
Hasrat sanggit teramat sesat melesat di tepian laut

Mak, ini anakmu lanang hilang terbang. Kembali ke pangkuan
Akan kau timang atau kau telantarkan
Dalam kedalaman jiwamu, kepasrahkan egomu
Dalam keriuhan yang tadi. Jajaran usia di keriput senja
Keperakan rambut dan alismu bermakna ganda
Betapa banyak kau rasa
Wujud tunggal yang berhati tak satu itu. Aku turut terjaga di sana
Anakmu lanang akan bercerita
Dimulai dari sebuah jarak antarmuka kita
Kesungkanan pun mengembun
Di antaranya, berapa dalam cinta dan rasa
Yang kutempuh. Kita santunkan
Pada iba masing-masing cerita sebab tak ada cinta di sana
Itu adalah kama tak berdosa
Pada hamparan neraka yang bisa biasa amat berbisa
Dan betapa dalam tereja kata-kata

Yang sampai pada telinga dan hatimu bukan kicauan
Itu bukan rajukan si manja pada emaknya
Tapi, genderang tangis dan rasa berkepanjangan
Sisa dari kepedihan yang lara. Betapa kau terus terjaga

Ia pun heran. Tercenung. Kehilangan kata. Hanya geram atau gumam tak beda
Jua gerangan kau kenangkan. Rasa dan karsa berkecamuk
Akan dibawa kemana rasa itu
Begitu lara seperti kalimat putus cinta
Akan berakhir di sana. Perjalanan pungkasan
Sementara resah menjamah sedang hati terbakar matahari
Senja celaka kala itu
Terban, GK V/455, Juni 2007
Kepulangan

Sengaja aku pulang, sejenak istirah
Ke rumahku yang dulu di timbunan usia mata
Melihat jelaga di langit-langit
Hitam berkerak seperti hatiku yang keram
Menyeret langit tua ke dalam sini

Langit belingsatan kehujanan gelisah
Dan seperti biasanya
Aku rajut lagi sejarah sarang laba-laba
Yang belum selesai. Cita yang terbakar
Di tungku sengketa itu
Sejarah yang belum tertuju atas sana
Ketika kerlip bintang tak ada gelora
Ketika angin akan pergi membawa cerita ke serambi;
Ruang tamu; kamar pengantin kita; kini
Tinggal sisa gaung saja di kejauhan cahaya

Aku datang sengaja
Kembali belajar mengeja batu-bata
Menghitung luas rumah kata-kata
Membaca sasmita daun jendela
Terbukalah belantara. Aku akan ke sana
Panorama kehidupan hina raya
Dengan segera jemput angin. Bawa cakrawala
Diantarkan pada penawar siapa suka
Lewat huruf, kata, dan frasa sebelum senjakala

Metro, 27 Juni 2007
Obituari Anggrek Bulan

Angin mengundang kepulangan. Ketika langit bangun
Tanah lama tak terjamah oleh impian
Taman masih sepi. Hanya sisa tetesan embun
Yang bercerita bahwa jagad raya sedang berduka
Ketika bunga itu layu sebelum masa
Pesonamu terbang ke langit itu
Kejar mimpiku bersama ribuan kumbang kinantan
Yang dulu mungkin pernah ziarah di kelopakmu
Aku pun pasrah. Sayapku patah sudah
Ketika salah satu lebih dulu menggapaimu
Kuikhlaskan keindahan. Aku terpuruk
Terkubur sejarah

Tak ada lagi panorama itu; bunga anggrek
Bulan gugur tanpa pesan
Hikmat oleh peradaban suatu masa
Di atas batu-batu
Awal derita kumbang jantan
Terkapar di sudut taman pekuburan

townpark, Juli 2007






Tiga Rupa Bunga

Kembang setaman di lekuk batu nisan
Mengumbar sesaji dan pedupaan
Untuk mereka yang dahulu pergi
Ada kenanga, mawar merah jambu, dan irisan pandan
Juga rencana sederhana yang lama tertunda
Penggusuran itu. Kau curi lelah lelap mereka
Dari pertama bermula tertanam
Sebab mereka hanya kenangan
Tak akan protes ataupun demonstrasi
Di hadapan barikade pohon kamboja

Di tebaran bunga, kau bakar berkas rencana
Sebagai kemenyan dan dupa. Kau pun lupa
Tulang belulang, sisa jasad mereka
Terpasung menikmati jelaga. Rinci dan terpuji
Dari pembaringan yang membenamkan sengketa
Terhadap siapa petak tipe sangat sempit sangat sederhana
Ini diwariskan

Mereka adalah sisa tragedi bunga tiga rupa
Mereka adalah pondasi dari megah tata kota

Metro, 2007
Bocah Penggembala 2

Bocah penggembala menjaring mendung
Sebab mentari sembunyi rupa padanya
Dengan bercaping gerimis dan pelangi senja hari
Berkaki bulir padi dan kecipak irigasi
(imajinasi)
Mendung itu tak hendak beranjak
Ia turun ke bumi menulis puisi
Cakrawala senja kala. Penggembala pulang kandang
Menjemput cinta yang hilang

Semburat sulih warna cahaya dunia berkejaran
Dengan hitam malam dan kokoh Bulan
Bulan buta binar
Bumi manusia telah ubah rupa
Jalan kehilangan persimpangan
Tinggi bukit kehilangan lanskap keindahan
Mata air menjadi air mata mereka
Sebab rumput tak sempat tumbuh di dataran ini
Mereka pun beranjak dengan kekosongan

Barangkali perlu dibangun pabrik rumput instan
Untuk robot herbivora

Metro, 2007
Puisi Bunga Kamboja

Gugur bunga kamboja tak sempat kering dan layu
Di sini
Malam itu, kulihat bulan mencipta bayang
Dari balik dahan. Bayangmu sendiri
Seperti puisi yang tercuri
Kutulis di atas batu nisan untukmu saja
Lalu kukirim lewat kerlip bintang dan angin malam
Sebagai sisa harum bunga di tanah berdarah

Aku bisa merasa
Jika segala impian kita
Lebih mencekam dari malam di kuburan

Metro, September 2007
Puisiku

Puisi mini
Sudah pasti
Dan tentu

Aku orang kecil
Tak tinggi hati
Tak meniti tangga obsesi
Sumarah pada sejarah

2007
Kembara Rasa

Dan aku tersadar akan puisi
Syair yang tak sempat berarti
Meski sebagai kiasan basi
Purnama tagih janji
Dan perkara lelah mencari
Setelah beberapa saat berjelajah
Kembara. Lalu, rasa itu singgah
Membujuk langkah
Menuntun hati goyah

Telah lama aku pasrah
Dari kembara kata dan polah lidah
Sampai kini belum merasa kalah
Masih ada rasa di sana. Hentak detak jantung
Berpacu kencang
Terusir pulang

Oktober, 2007
Kebebasan Bulan

Tulis saja bulan dalam malamku
Gapai kasih kerlip antara bintang
Simpan rahasia malam
Dengan dingin angin akhir musim
Awan-awan pergi beringsut
Kelelawar membentangkan sayap
Hitam, di tengah lintasan bulan
Bulan pun pucat tak menjawab reruntuhan cahaya
Tak seperti dulu
Senantiasa ia tak enggan berbagi
Serupa panah pasopati ,melesat tepat di jantung kelelawar itu
Hingga bercahaya wajah pertiwi

Jika bulan enggan membuka jalan kelana
Bintang pun tak tahu arah
Tersesat di balik mega. Memetik rerintik
Hujan berkali turun. Dengan seksama lepas jerat
Bulan punah sudah, menyembunyikan kebebasan
Di antara angin dan bintang
Berpelukan kencang

Oktober 2007
Kesendirian Rumah Cahaya; bulan

Kesendirian rumah cahaya inilah yang kau pilih
Sebagai pengembara dan pemimpi
Diam di rumah gulita
Tafakur dan bersujud dalam senyap
Dan pintu rumah ini
Telah menjelma bibir bungkam
Dan bingkai jendela sepasang berukir bangkai
Tertutu rapat, lapar binar

Ia lebih suka sendiri
Sunyi tanpa cinta
Berdikari pada punyanya
Tak membakar gelora

Daun jendela berkasih
Pintu tetangga senggama
Pada rumah hampa tak berhati
Bukan untuk hidup
Tapi, yang di seberang sana
Orang-orang memanggang bulan dengan bintang bara
Ketika yang di sini tak hendak mengobar pula
Dengan darah yang kau cuci sendiri
Agar tetap tanpa ucap seumpama
Sebentuk sejarah sembunyi nama

23:16, 24092007
Senandung Putus Cinta 3
– wulan ristanti – (131007)

Angin perantara kita
Sebuah ucapan ditulis dengan sisa cinta
Sekedar saja. Kata berhembus sekenanya
Akan ke awan pula terbaca

Ia bangkit saat penat.Menyisa isak dan gema
Dalam satu tiupan tumpah ruah
Gelombang cinta menjelma air mata
Hempas beribu debu jadi suguhan ruang tamu
Dan embun di mana pun menguap santun

Jika gelap hati mewarnai bulan baru
Seorang perempuan berselendang ragu
Langkahnya goyah terjerat kesumat
Seperti noda di paruh tubuh
Suar-suara bingung. Ia pun memilih diam
Kata atau sejenisnya urung terhubung
Lepas sudah saat tahun berulang menjelang

Tinggal kawan tanggal kasihku
Subuh telah lebih separuh berlabuh
Sisa embun yang tadi menggigilkan hati ibu jari
Hanya tak tau rasa. Terbata di petak batu bata
Angin luruh angan runtuh
Sebuah hayalan tingkat tinggi diserang perang
Perang dingin, sangat dingin
Sampai tak ada desah gelisah, nafas jelas
Tak lari dari realitas. Hari jauh sedari
Bulan yang itu, terasa mencekam
Hampir saja. Tangis kehilangan air mata

Terima kasih. Kau ajari aku menangis
Dan maaf

06:01, 1 Syawal 1427 H



Penghantar lembaran puisi yang dibakar di tiap sisinya

Dan ini…
Hanya segulung dari deretan kata
Tak bermakna, mungkin saja
Kalau nggak suka
Boleh dibuang, disobek
Atau silakan teruskan membakarnya
Bukan Piala Bergilir

Di podium sebuah piala cantik dan berhasrat
Juarajuara mangkat saat singkat
Bertahan sebagai jawara. Giliran tiba
Telah berpeluh tubuh ini kelewat mangsa
Membangga cemas dan sangsi
Sedang kabar kepalang sabar
Pecinta ini pun sadar
Menunggu waktu haru
Dengan setia di bangku tak baru

Sunyi getar. Ia pindah tangan
Telah kumal, Sayang. Sesak kemudian
Hadiah pemimpi jadi pajang
Etalase dilarang dipandang
Apalagi dipegang. Aduh sayang…

Depan Pasar, November 2007
Memoar Mawar Plastik

Pada vas bunga mejameja hampir bundar
Bangkai mawar tak lagi berbinar
Andriani bantai puisi. Andri mati posisi
Warna pudar; mereka menolak sajak kami

Aroma di dalam dan di luar berirama
Sama jenis kelaminnya
Sekarang kurasa sapamu lantang
Dalam vas bunga yang tak pas
Menolak kala jumpa warna
Beda kita takkan mengaburkan semerbaknya
Sebuah kisah yang dimulai dari setangkai bunga
Harum tentu bukan diharap sebab
Ia tak bersekutu dengan baubau
Angin terlalu cepat beringsut
Tak berasa akar memegahkannya sebagai jelita

Seiring sarkasme begini menyisa duri
Dari tajam katakata. Hawa beda masa
Menjadikan sejati perempuan
Dan aku lelaki dengan bunga imitasi
Tak begitu dengan pijak bumi ini
Kehilangan bulan yang kau bilang tak perawan

Jauh darimu mestinya beribu jenis bunga merebak salam
Jadi pandangan dan pemandangan siang malam
Membuka cakrawala harihari. Harum pelataran
Di hadapan jalan penyuka kedamaian

Bagaimana cara merangkai mawar di mejameja
Terpisah sekian laksa
Menjauh dari genggaman, dan
Ruh ini belum pernah kuasa akan frasa
Adam tak berani hidup di bumi
Tanpa hawa yang berbunga dari iga

03112007
Semoga Teman Sebiduk

Aku akan ke seberang
Ini ceritera bermula dari sarang
Dari sana ke sini aku datang
Ada yang bilang ada pialang
Hitung punya hitung rembang sebayang-bayang

Mencari isi hati
Sebegini carik kertas dikoyak tiada terperi
Bunga gadis sesubur pertiwi
Dan jemari di seberang melambai
Dengan dayung tak berukir ini
Kuajak akan ia kembali
Tidak pada deras arus kali
Mengalir ke muara seperti
Bintang panjar hari menunjuk sepi
Segala hanya bisa seiring meniti
Selebihnya setelah bintang menghilang dari kami
Jelajah negeri mendayung tiada henti
Dan akan kita galang biduk ke tepi

Di sanakah tepi bagimu. Laut tak memuara garamnya
Yang suka bukan tanpa rasa masin airmata
Pasti ada gulir air juga
Tenang, riang, sarat frasa
Barangkali tajam karang tak berasa
Bahwa petualang di sana penyuka rahasia
Memecah buih; menuju dermaga dengan atas nama
Jika seorang diri lainnya tak kuasa
Yang itu masih jauh dari buta mata
Sepasukan burung camar sempat membuat sengketa
Berebut menjemput lambaian sang jelita
Sebelum di peluk kabut kelam karena apa

Tidak jauh tidak dekat
Batas kedalaman lebih rapat berjabat
Kerudung dan dagu kerucut
Bukan tempat tali pancang biduk bertaut
Tapi, hatinya yang harap-harap turut
Pelayaran pungkasan. Dan semoga dayung bersambut

Metro Selatan, 2007
Senyum Ganjil suatu Senja
: nerry

Yang tak baru bisa tersipu pandang antarmuka
Pandangan jauh lindasan aspal
Meneguk lelahnya senja musim bercinta
Baru saja kurasa cakrawala beda rupa
Jalanan aspal basah. Tangis siang kabur ke mendung
Bagi pengukuhan yang satu itu

Bincang tak bimbang. Pandang yang dalam jelang pulang
Sebelumnya. Saat gerimis tumbang di tebing curam
Aku terkunci kaki di pintu belakang
Menikmati cuaca dan berlindung dari kejam cuaca
Meraba frasa seadanya dari lembab titik kaca jendela
Terlukis kata sederhana di sana

Rentetan usia singkat hujan
Sempatkan engkau menyapa lembab udara
Dan kuhalang terjang kecipak segala tergenang
Pandang matamu jauh di utara
Entah pada siapa sapanya
Kala kata enggan terbaca
Entah di musim mana bisa bersapa. Hanya lirik
Puisi lusuh sisa titik air kaca jendela
Kenang saja dalam sajak kita

Orang berhambur. Lari dari cuaca rahasia
Yang terlukis lanskap perbukitan. Akan
Kujauhkan rentang usia singkat hujan dan tinggi hati
Kudekatkan arah pandang fatamorgana
Jarak sempurna. Tak jelas selalu saja
Nanar binar mentari senja
Dalam kerendahan senantiasa. Tereja kerjap mata
Isyarat atau tanda serupa tiada ada bedanya
Oleh kisah yang bergegas seumpama
Seutas berita buram. Lambaian tangan menyudutkan frasa
Melari olehnya waktu menua; menuai puisi sepuisinya

Bandarlampung, 19 Desember 2007

Jumatan Ketiduran

Siang telentang menjelang sembahyang
Hadang awang-awang tak berbayang
Imajinasi sepi lelaki mumi sepagi tadi
Berbalut mimpi terbujur ke tepi
Dan sobekan nurani menjadi sumbu
Yang membakar air mata sebagai abu
Dalam kamar berdebu, ruhku beranjak ragu
Di antara daun-daun waktu bergerak maju

Sebab panggilan masih fana, lama pula
Dan tidurku tak pejam menganggur
Dalam terik di kaca jendela
Dalam jaringan yang kabur
Kuletakkan rupa cahaya
Mentari kelam terkungkung syair getir

Kamar ini adalah arena persemaian
Mungkin iblis, malaikat tak malu mengadu pada tuannya
Mereka bertarung dalam dada sungguh siapa kira
Segala aduan serupa adzan masa perhitungan
Saat sujud mendekat terwujud. Sejenak sadar
Dosa membayang keranda diusung
Lelaki ini melucuti pagi pasi
Pergi ke sumur mencuci cemar. Mandi puisi
Sekali sepekan kembali berketuhanan

2007
Rupamu tak Kuasa Bercinta

Telah terbaca sajak tentang cinta dan sakit hati
Juga segelintir luka menganga. Sedang liku itu
Akan selalu begitu yang selalu pedih
Tiada duga kecewa mana berkisah tabah
Menutup jalan pertemuan
Temuan hati pada tubuh rubuh
Yang sering kau rawati
Agar selalu tegap menatap lelangit

Kita beda dimensi
Kurindukan masa yang dibangga
Dengan luka mana lagi
Ketika hunjam belati mencabik
Singgasana kita. Telah aku pesankan pada Hyang Wenang
Sebab tak sama semua tentang kita
Pengharapan hati satu. Kesatuan yang
Di bagi penyebut, datang menghalang jalan setapak
Telah pula aku lebarkan sekian depa
Sedang jejak langkah membentuk bidang
Adalah sebuah perhitungan ekonomis dalam drama
Percintaan Burisrawa yang berakhir nestapa

2007
Cinta Bersyarat

Pujawati pemuja mimpi purnamasidhi
Ada sajak terselip di balik tusuk konde
Di helai selendang dan sisa air matanya
Tentang kejatuhan. Sangat menyakitkan
Separuh tubuh . Antara malam hampir fajar

Pertapa pun melari. Hari mencari hati untukmu
Hanya bagimu ia mengangkasa bersama udara nestapa
Bumi bergelimang bingung, angkasa tak menjawab aksara

Kau tegakan tanah airmu mencuri mendung paling murung
Sebab terusir dari singgasana jagadraya
Berpulang pertanda mimpi padamu
Persembahan hari anggarakasih
Bagaskara berganti hati
Semadi dalam puji kematian

Bocah bajang diasuh dengan kasih
Melari sulih jiwa pada cintanya
Lalu gontai sebab raga tak kuasa
Pun mantera menjelma jantera seta ludira
Menghadang perang masa bersua di argasoka
Tunggu saja kobar api asmara
Menceburkanmu tak ragu
Dan kesetiaan terbang layang bersama jelaga

Tiada duka. Mereka binasa karena kesetiaan cinta

2007

Lirik pendek penghuni lapas dalam empat hari

Pagi lari
Siang salang tunjang
Malam tenggelam dalam kejam

Pagi kembali posisi
Siang merejang garang
Malam mencekam

Pagi di balik jeruji
Siang sidang
Malam bersajak kelam

Pagi puisi mati
Siang terbayang sarang
Malam dalam kalam kitab hitam dendam

2007
Ada Puisi di Segelas Teh

Ada sela di depa kedekatan kita
Segala tersudut menjadi segi tiga
Obrolan kemalaman yang singkat
Semenjana bergulir kata pada ruang seadanya
Sebelum sempat aku pamit

Di sana mendung datang menghadang
Sebelum aku—kamu berbagi cerita
Ijinkan aku menopang dagu
Agar pesonamu tak terjerambab ke lantai
Dengan angan sejuntai
Kupungut berpasang-pasang sebagai
Penghantar silang hati dan wajah sembunyi
Kala jumpa lain peristiwa yang tak kau harapi

Aku petutur, kamu penutur. Tak mengapa
Masih bisa kita simakkan
Roman picisan ia lafalkan
Sedang aku sibuk dengan kepul dan kepal
Juga sisa segelas teh yang kau suguhkan
Sebagai jeda di awal jumpa rupa
Baris percakapan dapat digarisbawahi
Sebab ada sela kata pada sublim titik didih

Aku memaling badan
Langkah mengarah. Aku enggan pulang
Dan ini. Segulung cerita masa lalu
Dalam album kata. Yang kelak kau
Kenang dalam sisa isi gelas kaca
Untukku saja. Jika tak terpaksa

Sukadamai, 2007
Serupa Abu
Bulan tak juga menyatukan malam dengan siang
Pada serangkaian bunga tak layu
Secercah pun takkan berpaling dari kobaran
Aku yang bagai kayu bakar
Terbakar ruang
Langit belum menyala lagi
Yang menenggelamkan bulan
Serupa abu, vas bunga itu
Haya menyimpan arang
Yang patah sudah

Meja sepi
Mungkin taplak, asbak, korek api, sebungkus rokok
Yang meributkan abu. Yang terduduk tersipu
Mengobarkan cahaya bulan juga
Kepul asap kemarin mengaburkan malam

Meja sepi, kapan lagi
Genggaman jemari beda warna
Menyatu dalam ujaran samar
Terlena malam bersapa bulan bintang
Yang datang dengan pesan
Tanpa balasan
Tanpa penantian

Natar, 2007


Sepertinya Pejam Malam

Seperti melukis puisi dengan sapuan hujan
Aku di atas kanvas
Yang mungkin kau kenali rupa-rupa
Serupa cakrawala wanita di hadapan
Membentang luas sepuisinya
Satu frasa tertulis sadar sebagai laki-laki
Dengan kuas di tangan Aku melukis; hanya satu gadis

Kulukiskan gadis sebelum senja
Setelah sekian panorama. Alam punah romansa
Keinginan pun punah oleh bidikan malam
Hari terlampaui dalam dingin dan gelap
Mata buta, jarak tuju tanpa alamat
Terarah sekenanya di pusat tata bahasa

Dan begitu dilukiskan angan
Sebuah gadis dalam kegelapan
Membakar kanvas sebagai dian
Malam diam, cahaya berhamburan
Tanpa langkah kaki. Jalan pikiran
Hilang terang rupa bulan
Sedang aku mati cahaya. Tak terlihat bayangan
Yang tersisa hanya hati tak ternyatakan

Metro, 2007


Pada Sebuah Jawaban

Pagi kuajakkan ia
Melangkahi hari. Menapak di pijak kaki
Pada seruas jalanan kota
Sedikit saja tak mengada
Ia yang sebagai sebatang pisang
Tumbang di sebelah pekarangan kosong
Diam tak merejang, bersemedi di perigi

Di tepian jalan
Segala awan terusik
Dan harap sempat menyapa
Mendung masih sempurna kelam
Hujan pun turun berhamburan

Sedikit pada kicau burung esok hari
Sebuah kabar riuh jalan
Dengan anggukan dan siul kecil
Akan kubimbing dalam gandengan
Tapi, ia telah menghilang dari sapa
Sebelum sempat menghalang cuaca

Metro, November 2007

Little Poetry in Tea Glass

There is interrupt our contiguity fathom
All angle;corner become the triangle
brief backtalk so night
word of patch up space
Before I have time to take leave
Overcast to over there come blocking
Before I-you share the story
Permit I sustain my chin
So that your glamor do not fall to floor
With the dream, I collect a couple of as
Crossed of liver and face hide the
Scorpion meet the other;
dissimilar event which you don’t hope

I see, you say. Never mind
Still we can correct reading the
In no use Romance her articulate
I am busy stir by
Also the rest of tea glass which your serve
As interval in early meeting aspect
Conversation line can be highlighted the
Cause there interrupt the word of sublimating dot boiled
I body thief
Step to instruct. I shy at to come back
And this. Furl the past story
In word album. What later you
Short memory in rest of content glass
Just for me. If don’t be perforced

Peaceable Area, 2007
Jembatan Menepi ke Jalan

Aku kembali akan pesona tunda pesan
Berbalik ke seberang
Ini kali mengabarkan kesangsian deras
Luapan air mata, kedukaan sajak serta puisi luka
Genangan air merabunkan pandang: sebuah jembatan
Baja dingin menghunjam tepian hati
Mungkin meredam erosi luap emosi

Di ujung jembatan, aku di antara dua jalan
Seberang atau arus tak biasanya
Terpana sekalipun embun berangsur turun
Hawa udara tetap menyala
Dalam batin sebagai bara. Engkau menyulut kesumat
Memanggang radang. Gelisah
Kali mati untuk kali ini dan kali ke berapa
Sendiri di atasnya. Ia bernama mendung
Seperti kamu terpuruk lunglai dihempas seberang sungai
Senja tadi. Jalan dan kata itu seakan
Dikelilingi padas keras juga tangis
Aku katakan, trotoar sempit ini mencari teman
Sebab tak pernah orang termenung di atasnya

Usai salam gerimis dan persinggahan itu, apa
Sajak sempat berkabar di atas jembatan. Tak ada pesan
Perempuan dengan kesakitan bulan
Yang tak enak badan menjejak ruang depan
Sisa petak-petak nafas, redup pilu. Ratap mengutup
Aku menggigil ganjil
Di hadap lanskap
Gerimis atis
Salang tunjang menerjang ke seberang
Malam menjelang. Tebaran isyarat
Udara di sana menulis puisi

Hanya aku
Tersisih merindu hisap nafas
Aku, arus kali
Menghempas inti batu
Untuk sekedar membaca, mendengar, melihat, dan
Yang paling sukar kau rasa
Bukan lantaran kegelapan dan cuaca hujan
Dengan alamat di penghabisan perjalanan
Sempat hilang di sepanjang jembatan
Yang ditelan demikian tabah sekian kali

Transfield Bengawan, 19:40 – 21:10, 171207
Rupa Euphorbia : R.W.
Demi bunga mekar patah tangkai. Terpuruk pada tanah
Sebab tak mengaduh ia jatuh lalu kau rengkuh
Beri padaku sebagai puisi ramah tamah
Sebelum kau murkai serangkai angan dan tangkai di tangan
Demikian, rintik gerimis di hadapan menghapus catatan
Usia yang ditulisi duri mengoyak kenangan
Ketika onak mencabik kuntum bunga ia yang punya
Betapa luka menganga; layu mimpinya
Juga lagu syahdu dalam kisaran air hujan
Yang tak juga hendak pergi digiring arah angin
Kembara kepiluan kelopak kembang
Kehancuran yang kau kehendaki. Bila saja
Bersama tetes rintisan gerimis memanjang jengah
Serupa wanita di halaman menyunggingkan rona serupa pula
Merasai saat usia memalingkan rupa cahaya
Seperti ratap lelangit menebar tangis seluruh tanah
Semua menjadi kelopak sari pernyataan atau pertanyaan

Malam telah jauh dari kepergian semula
Bulan terlihat lama tertimbun halimun yang sama
Bintang lupa binar, hitam oleh embun dan kuntum euphorbia
Dari malam segala malam si jelita
Dari bunga di genggaman berjelaga si jelata
Sebagai puisi yang tak kuberi arti
Berangsur layu ia kini
Tersisih di hamparan kursi dan samparan kaki

Jarum jam menyelam dalam sublim malam
Dari malam ini dengan malam berikut
Kuharap sesuatu luruh dari langit
Tapi, bukan hujan, sayang. Aku pulang

Metro, 100308
kubuatkan puisi jelek untukmu lagi**

Romansa binasa
Imajinasi sepi kelana wanita sebenarnya
Sebab ia terukir sepuisi kala luka senja
Nestapa juga lara siapa suka berpunya
Akan kuantarkan ke seberang. Alamat para pengembara

Wasiat dari riwayat yang tersurat di gurat hati
Ilusi secuil jejak kelopak berserak tiap pojok kota
Digenangi ratap, sajak-sajak dan roman revolusi
Impian pada curah cahaya bintang menepikan bulan bersarang
Yang kubidik dengan tangkai berduri. Lesat menguak
Ambang kematian rupa cahaya. Angin kering dan mendung runtuh
Tumpah bersimbah sejarah. Tumbuh pada kepasrahan tanah
Inilah rupa dunia bila Adam letih mengejar jejak pelarian Hawa

Bersekutu dengan waktu batu
Yang dingin rasa dunia kala senja melari bulan

Kehilangan frasa, kucari seribu kata, dan
Esok ketika matahari dalam hatimu kembali merenangi hari
Titipkan ini pada lubang sampah atau kobar api
Embun pun jangan sempat singgah membasah
Ke pelataran dipenuhi bunga, pepohonan, dan terang lampu jalan
___
Senyawa yang lama, yang bagiku sama melaju bilangan hari
Engkau bunga dan duri dari sepi taman kehabisan insan
Lebur di simpang musim antara mekar bunga dan ranggas daun jati
Akan kusajakkan ia dalam lipatan sejarah masa silam
Walau putik balik dipetik, kurawat akar pohonnya
Erat memeluk tanah, menulis puisi sampai tangkai pancang nisan

Berpaling mengubur pejuang malam kesekian, menancap dalam
Epilog bagi gugur bunga seroja dari serumpun peribahasa

Selawe, Maret 2008
Trmksh ya.. (Srikandi 21th reply)

Beradu waktu melaju serapah arah panah
yang siap nancap di pulung hati; yang rebah tanah
bersama sejarah dan abad antah-berantah
prahara lama reda. jika menyisa, rasa hanyalah rona
putri gendewa menyisir padang gersang
hadang perang menantang, tengadah di tengah
menghempas deru dan debu jadi abu

awan berpayung rindu padamu
terik menarik sukma seketika busur kau rentang
melesat cepat yang hanya satu itu
sampai sepi jiwa, sepasukan angin menepis selendang. dan
di atasnya langit berbelit tanpa fatamorgana
horison tak kasat mata
tanah resah bersimbah darah, hujan panah
tubuhnya roboh tanpa perih atau rintih
ratap sempat tak terucap. ia menatap diri di atas diri
lanskap darah di awan dan lipatan masa menjelajah jengah
waktu berhimpit di tubuh penuh luka punyanya
perempuan penyebabnya
sedang ruh masih sempat mencatat bahwa ia setia sekata
dengan aksara hembus udara
rentang usia yang terabai oleh kisah. bila saja
di bawah senja merenungi sangsi dalam rekah tanah

tak ada daun atau ranting kering yang bisa disarati
kepada penjaga hati. debu-debu menghantarmu ke haribaan
dan pergi membakar api kremasi. seperti sungkawa senja
sebab tak ada senjata yang bisa membelai sebelumya
cuma cahaya bulan. sisa cuaca tiada mencaci jasad beku
tanggal kabut meliput dan cakrawala sunyi tepian laga
bulan datang berulang. bertahun-tahun
aku pahami kisah itu. mengenangnya dalam puisi cinta
yang kekal dan fana; selalu gagal menulis kisah sesudahnya

Bulan hampir/lebih separuh, Metro, 19032008

Tidak ada komentar: